Yang menarik dari pemikiran Iqbal bukan karena kebaruannya, tapi upaya dia dengan sangat brilian melakukan sintesis antara pemikiran Islam dengan filsafat Barat.
Begitu jawab Haidar Bagir saat ditanya apa gagasan paling orisinal dari Muhammad Iqbal. Iqbal boleh jadi memang tidak menawarkan kebaruan, karena yang ia lakukan adalah memadukan dua pemikiran Barat dan Islam yang telah lama dipertentangkan. Sebuah usaha yang bagi Haidar tidak dilakukan oleh banyak ulama pemikir Islam pada zaman itu atau sesudah Iqbal. Meski Islam punya raksasa pemikir, seperti Fazlur Rahman, Arkoun, Murtadha Murthahari, tapi mereka tidak seperti Iqbal.
Seolah-olah Iqbal ingin mengatakan: kita bisa saling belajar atau saling memperkaya pemikiran Islam dan Barat. Dan hasil dari mendialogkan pemikiran Islam dan Barat (bisa) digunakan untuk menyelesaikan persoalan riil umat manusia sekarang.
Haidar menjelaskan keunikan pemikiran Iqbal. Iqbal tidak hanya masuk pada wilayah akademis belaka, ada sebuah upaya yang dilakukan oleh Iqbal untuk mentransformasi masyarakat Islam pada arah gerakan yang lebih baik.
Usaha untuk menyintesiskan pemikiran Barat dan Islam juga pernah dilakukan oleh Haidar, ia membuat penelitian dengan membandingkan epistemologi ontologis Heidegger dan Mulla Sadra. Kajian serupa juga pernah dilakukan oleh seorang pemikir Turki bernama Arpasalan Acikgenc. Tapi apa yang Haidar Bagir dan Arpasalan Acikgenc lakukan masih sebatas tahapan akademis.
“Apa yang saya atau Arpasalan Acikgenc lakukan masih sepenuhnya bersifat akademik murni. Sedangkan yang dilakukan Iqbal memiliki semangat untuk mentransformasi masyarakat Islam,” tutur Haidar.
Selain itu, menurut Haidar, gagasan manusia sempurna yang diformulasikan Iqbal adalah sebuah sintetis yang mengagumkan. Meski gagasan itu dipengaruhi oleh ubermensch-nya Nietzche, namun sekali lagi, kecemerlangan Iqbal terlihat saat ia membuat konsep tentang manusia sempurna. Jika Nietzche harus membunuh Tuhan untuk menjadikan manusia sempurna, maka, menurut Iqbal, justru dengan kembali pada sumbernya manusia bisa menjadi manusia sempurna, menjadi superman. Kembali pada penciptanya dengan menyerap segala energi Tuhan. Haidar memaklumi saja saat Seyyed Hossein Nasr mengkritik keras saat Iqbal mengagumi Nietzche, boleh jadi kritik Nasr hanyalah kekhawatiran belaka. Nasr, menurut Haidar, khawatir jika ingin menjadi manusia sempurna harus dengan membunuh Tuhan. Dan, pada akhirnya, Iqbal dengan terampil memadukan gagasan manusia sempurna ala Barat dan Islam; manusia sempurna yang bersama Tuhan.
Berjumpa dengan Muhammad Iqbal
Tahun 1977, saat Haidar sedang menempuh pendidikan di Fakultas Teknik ITB, lewat buku yang dipinjam dari perpustakaan masjid Salman, Haidar mulai berkenalan dengan Iqbal dan gagasannya yang tertuang dalam buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam (selanjutnya disebut RRTI). Haidar membaca buku RRTI itu lewat buku yang diterjemahkan oleh Osman Raliby dan tiga penerjemah lainnya, yaitu Gunawan Mohammad, Ali Audah, dan Taufik Ismail. Haidar mengakui bahwa pemikirannya saat ini tidak bisa dilepaskan dari sosok Iqbal;
“Sejak membaca bukunya (Iqbal), tidak pernah pemikiran Iqbal tidak memberikan pengaruh pada saya. Bahkan sampai detik ini, saat saya bicara sekarang, pemikiran Iqbal membentuk cara berpikir saya.” Ujarnya.
Muhammad Iqbal adalah seorang pemikir dan sastrawan asal India. Yang kemudian saat Pakistan memutuskan untuk menjadi merdeka, Iqbal juga turut andil dalam pembentukannya. Ia adalah bapak Pakistan bersama Muhammad Ali Jinnah. Gagasannya yang paling dikenal orang adalah tentang khudi atau ego, sebuah gagasan tentang pribadi yang memahami dirinya. Haidar kemudian menerjemahkan khudi sebagi jalan hidup yang autentik “Hidup autentik saat kita sadar diri dan melakukan sesuatu dalam hidup kita sebagai pribadi yang autentik, bukan karena didikte oleh lingkungan.”
Memang Tuhan seringkali membuat hambanya cemas dan tertawa, nyatanya Iqbal dan Haidar seperti ditakdirkan untuk terus bersama. Haidar bertemu kembali dengan Iqbal melalui studi lanjutannya. Karena dalam studi lanjutan Iqbal mengambil konsentrasi tasawuf dan filsafat. Dan untuk disertasi doktoral, Haidar melakukan penelitian tentang Heidegger dan Mulla Sadra. Sampai pada akhirnya diketahui bahwa pemikiran Mulla Sadra menjadi ramuan Iqbal saat membangun konsep filsafatnya. Corak filsafat Iqbal dekat sekali dengan filsafat isyraqiyyah, sebuah sistem filsafat yang menggabungkan antara nalar dan hati atau rasionalisme dan tasawuf. Isyraqiyyah pertama kali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtul, kemudian isyraqiyyah berpengaruh dalam konstruksi filsafat Hikmah Muta’aliyah yang dibangun oleh Mulla Sadra. Disertasi doktoral Iqbal yang berjudul Development of Metaphysics in Persia; A Contibution on The History of Muslim Philosopy pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Haidar menempatkan dirinya sebagai seorang murid di hadapan Iqbal, meski begitu, dalam perjalanannya bukan berarti Haidar tak memiliki kritik apa pun pada Iqbal. Menurut Haidar, Iqbal agak keliru saat mengatakan bahwa kemunduran Islam disebabkan banyak ulama pemikir yang mengasingkan diri dari kebisingan duniawi, sehingga tugas mereka yang harusnya mencerahkan umat menjadi kosong. Haidar menyangkal itu dengan mengatakan bahwa tidak semua ulama pemikir harus terjun dalam persoalan duniawi, karena dari mereka ada yang terpilih menjadi wali yang bertugas menjaga keberlangsungan ketenangan, dan mereka memang tidak berurusan secara langsung dengan masalah-masalah riil.
Hingga saat ini, delapan puluh dua tahun setelah Iqbal meninggal dunia, gagasan-gagasan Iqbal tetap relevan. Seperti gagasan tentang bagaimana Tuhan membentuk alam semesta ini, bagi Iqbal, Tuhan tidak menciptakannya dalam proses sekali jadi lalu meninggalkannya begitu saja. Akan tetapi, Tuhan dalam perjalanannya selalu membubuhkan hal baru pada alam semesta ini, dan manusia punya tugas untuk terus merespons bubuhan Tuhan. Merespons Tuhan itulah yang kemudian menjadi ciri gerakan dalam Islam, Ijtihad. Di mana setiap Muslim diwajibkan untuk terus berusaha, melakukan kreativitas dan membuat gerakan-gerakan. Kejumudan dan kemunduran yang pernah dialami Islam disebabkan oleh kemandekan kreativitas.
Haidar berharap apa yang telah dimulai Iqbal bisa diteruskan. Menyinergikan pemikiran Barat dan Islam untuk kepentingan peradaban dan ilmu pengetahuan. Dan hubungan Barat-Islam tidak lagi dipandang secara berhadap-hadapan, tidak lagi didefinisikan dalam kerangka konflik, Islam vs Barat, tetapi Islam dan Barat bisa berkoeksistensi secara damai dan saling memperkaya peradaban umat manusia secara keseluruhan.
Tulisan ini diolah dari hasil wawancara dengan Dr. Haidar Bagir
Penyunting: Achmad Fathurrohman