Pada abad ke-18, ulama besar dari Kesultanan Tidore, Tuan Guru Abdullah bin Qadi Abdussalam ditangkap oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Kesultanan Tidore merupakan salah satu kerajaan yang pernah berjaya dalam sejarah Indonesia Timur, tepatnya di Maluku Utara. Sejarah Kesultanan Tidore sering dikaitkan dengan saudara kembarnya, Kesultanan Ternate. Kejayaan Kesultanan Tidore berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-18 Masehi. Masa ini ditandai dengan luasnya wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore, mulai dari sebagian besar pulau-pulau di Halmahera Selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, hingga pulau-pulau di sekitar Papua Barat. (Hidayat, 2006: 335).
Raja pertama Tidore adalah Sahajati yang merupakan saudara dari Mayshur Malamo, raja pertama Kesultanan Ternate. Pada saat itu, mayoritas masyarakat Maluku menganut kepercayaan Syamman, yang menyembah arwah nenek moyang mereka. Penguasa Tidore pertama yang memeluk agama Islam adalah Ciriliyati yang bergelar Sultan Jamaluddin (1495-1512). Sejak saat itu, Kerajaan Tidore berubah menjadi kesultanan Islam. Sepeninggal Sultan Jamaluddin, Kesultanan Tidore dipimpin oleh Sultan Al-Mansur (1512-1526). Pada masa itu, pengaruh asing mulai masuk ke Maluku Utara, termasuk ke Kesultanan Tidore. Di Tidore kedatangan bangsa Spanyol diterima dengan baik. (Hamka, 1981: 14)
Kejayaan Kesultanan Tidore terjadi pada masa Sultan Saifuddin (1657-1689 M) yang berhasil membawa kemajuan hingga Tidore disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di Kepulauan Maluku. Masa keemasan Kesultanan Tidore juga dirasakan pada era kepemimpinan Sultan Nuku di awal abad ke-19. Sultan Nuku memperluas wilayah kekuasaan Tidore hingga ke bagian barat Papua, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, bahkan sampai ke Kepulauan Pasifik. Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dan Tidore untuk menghadapi penjajah Belanda yang dibantu oleh Inggris. Kejayaan mengusir bangsa asing membuat Kesultanan Tidore mengalami kemajuan pesat. (Darmawijaya, 2010: 135)
Pada 1602 Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Companie (VOC) sebagai simbol kekuasaan untuk menguasai perdagangan. Kedatangan bangsa penjajah ini tidak hanya melakukan monopoli perdagangan tetapi juga mencampuri urusan pemerintahan dalam negeri. (Darmawijaya, 2010: 136)
Kolonialisasi pada akhirnya menimbulkan perlawanan dari masyarakat setempat. Kekejaman kolonialisme dan imperialisme yang berlangsung lama membuat penderitaan rakyat semakin parah. Terlebih lagi, rakyat dijadikan seperti budak di rumahnya sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip Tuan Guru sebagai keluarga bangsawan Kesultanan Tidore. Bagi Tuan Guru praktik penjajahan merupakan kejahatan yang tidak boleh dibiarkan dan harus dilawan. Karena manusia adalah khalīfah fī al-arḍ yang harkat dan martabatnya harus dihormati. (Marasabessy, 2005: 89)
Pada 1770, sebuah insiden terjadi di Semenanjung Ngolopopo yang dikenal dengan nama Pero atau Potong Tali. Insiden ini kemudian membuat banyak tentara Belanda terjebak dan tewas tertimbun batu. Tuan Guru bergerilya dari Semenanjung Patani, Pulau Gebe (Halmahera Tengah), dan Kepulauan Raja Ampat. Di sana, ia bertemu dengan sepupunya Raja Salamati (Arfaan) dan Raja Waigeo (Amir Tajuddin) untuk menyampaikan niatnya melawan Belanda.
Setelah peristiwa Pero, ceramah dan khutbah menentang penjajah diserukan dengan lantang oleh Tuan Guru. Hal ini pun menyulut api semangat rakyat Tidore. Sayangnya, gerakan Tuan Guru diketahui oleh penjajah Belanda. Tuan Guru akhirnya ditangkap pada tahun 1763. (Marasabessy, 2005: 89) Dia dituduh sebagai penjahat dan dituduh bersekongkol dengan Inggris untuk melawan Belanda. Menurut arsip Belanda, Tuan Guru kemudian dijuluki Baditen Rollen yang berarti bandit. Tuan Guru dan ketiga saudaranya: Abdurrauf, Badaruddin, dan Nurul Imam kemudian dibawa ke Ternate, Ambon, dan Batavia (Jakarta). Dari Batavia, beliau diasingkan ke Cape Town, Afrika Selatan.
Tanjung Harapan Tanah Penuh Harapan
Tuan Guru diasingkan ke kandang kuda dan kemudian dipindahkan ke penjara Robben Island di Cape Town, Afrika Selatan selama 14 tahun. Pemerintah Hindia-Belanda menuduh Tuan Guru melanggar peraturan Status of India (1770) di Batavia yang juga diberlakukan di Cape Town. Isi dari peraturan tersebut adalah melarang aktivitas dakwah dan atau beribadah di mana pun kecuali di Gereja Protestan Belanda. Hukuman bagi para pelanggarnya seperti disetrika, diasingkan ke luar negeri, dan dihukum mati.
Selama di penjara Robben Island—penjara yang sama dengan Nelson Mandela—Tuan Guru menyelesaikan sebuah mushaf Al-Qur’an yang ditulis tangan. Menulis mushaf dari hafalan tanpa melihat mushaf merupakan kemampuan yang istimewa. Menyalin naskah-naskah Al-Qur’an telah menjadi tradisi di Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate. Orang-orang di lingkungan istana biasanya terlibat dalam penulisan manuskrip. Hal ini dapat ditelusuri, penulisan naskah tertua di Nusantara ditemukan di Ternate. (Akbar, 2010: 258) Tuan Guru juga menyelesaikan kitab Ma’rifat al-Islām wa al-Tauḥid. Ketika dibebaskan dari penjara pada 1793, beliau memutuskan untuk tidak kembali ke kampung halamannya, Tidore. Dia memilih untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat Afrika Selatan.
Pada saat itu di kota Cape Town, tidak ada masjid sehingga Tuan Guru dan para jamaah membangun masjid pertama di Jalan Dorp. Masjid tersebut dinamakan Auwal Masjid yang berarti masjid pertama. Tuan Guru menjadi imam pertama di masjid tersebut. Islam mengalami perkembangan pesat dari tahun 1770 hingga 1800. Auwal Masjid juga menjadi pusat kebudayaan Islam di Cape Town. Karya-karya Tuan Guru juga memiliki pengaruh besar terhadap pendidikan Islam di Afrika Selatan. Ajaran dan jejak Tuan Guru sebagai ulama Indonesia yang mendakwahkan Islam di Afrika Selatan masih dikenang hingga kini. (Morton, 2018: 149)
Komunitas keturunan Indonesia di Afrika Selatan menganggapnya sebagai Tuan Guru, karena karya mushaf (salinan al-Qur’an yang ditulis tangan), kitab-kitab yang ditulisnya, madrasah dan masjid yang dibangunnya, serta aktivitas anti-VOC yang dilakukannya. Dari peninggalannya ini, banyak umat Islam yang meyakini bahwa beliau adalah bapak pendiri komunitas Cape Malay. Cape Malay merujuk pada Muslim dari kepulauan Indonesia yang dibawa ke Western Cape, Afrika Selatan pada awal 1658 oleh pemerintahan kolonial Belanda sebagai tahanan politik. Istilah Melayu juga merujuk pada Muslim dari India dan Afrika Timur. (Davids 1997:).
Selama masa penjajahan, komunitas Muslim secara sistematis diisolasi dari orang-orang terpelajar, isolasi terjadi sejak masa Syekh Yusuf al-Makassari—eksil generasi pertama dari Nusantara di Afrika Selatan. Pembebasan Tuan Guru dari Robben Island pada 1793 memungkinkannya memimpin salat Jumat pertama secara terbuka, yang dianggap oleh penjajah sebagai pembangkangan. Saat itu di Afrika Selatan melakukan ritual ibadah secara terbuka merupakan pelanggaran hukum pemerintah kolonial.
Perjuangan Tuan Guru di Afrika Selatan
Islam masuk ke Cape Town pada paruh kedua abad ke-17 sebagai produk sampingan dari penjajahan Belanda di Timur Jauh. Keterlibatan Tuan Guru dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda membuat beliau ditangkap di Tanjung Harapan dan dipenjara selama bertahun-tahun di Robben Island pada 1780. Tuan Guru dua kali dipenjara oleh Kolonial Belanda di Robben Island. (Haron, 2003: 35).
Tuan Guru wafat pada 1221 H/ 1807 M di Cape Town, Afrika Selatan. 95 tahun hidupnya digunakan untuk melayani umat manusia. Pada tahun antara wafatnya Tuan Guru dan emansipasi budak pada tahun 1834, komunitas Muslim berkembang pesat. Selama tahun-tahun tersebut karena warisan dari Tuan Guru, pemimpin komunitas Muslim menjadi lebih terlihat, vokal, dan berlipat ganda.
Komunitas Muslim berkembang pesat sejak 1770 di Provinsi Western Cape, peningkatan ini terjadi karena kepemimpinan Tuan Guru yang memimpin salat Jumat dan mendirikan madrasah dan masjid. Ketiga kombinasi antara ritual ibadah, masjid, dan madrasah ini menjadi pondasi yang kuat bagi gerakan dakwah. Ketiga kombinasi ini membuat dakwah Islam semakin diterima oleh masyarakat setempat. Gerakan ini dimulai dari ibadah ritual, pendidikan, ketika masyarakat bisa berkumpul dan membentuk perkumpulan, masyarakat bisa dengan mudah menggalang kekuatan ekonomi dan politik. Akhirnya, dukungan untuk komunitas Muslim semakin kuat. (Palombo, 2014: 32)
Faktor lain yang memengaruhi pesatnya perkembangan Islam adalah banyaknya mualaf karena penduduk bersimpati pada perjuangan umat Islam melawan penjajah (Shell, 1993: 76). Semakin banyak mualaf akhirnya umat Islam dibolehkan beribadah secara terbuka. Mendapatkan izin untuk membangun sekolah, madrasah, dan masjid. (Davids, 1997). Faktor lain yang memengaruhi perkembangan Islam adalah sulitnya memiliki properti di Afrika Selatan. Juga emansipasi budak pada 1834. (Palombo, 2014: 31)
Tuan Guru dianggap sebagai kekuatan konsolidasi Islam di Cape Town dan seluruh Afrika Selatan. Perjuangannya sebagai seorang teolog, pemimpin spiritual dan politik, guru, imam, dan dermawan layak mendapat pengakuan dari masyarakat Afrika Selatan dan Indonesia, tempat ia berasal. Penelitian ini menggunakan fenomenologi dan kerangka teori filologi untuk mendapatkan gambaran besar, mengumpulkan, serta menganalisis data.
Kodikologi Mushaf
Sumber: Arsip pribadi Achmad Fathurrohman Rustandi, 2014.
Gambar Mushaf Tulisan Tangan Tuan Guru
Provinsi : Western Cape
Kota : Cape Town
Jenis Naskah : Mushaf
Media Naskah : Kertas
Koleksi : Museum Afrika Selatan dan Masjid Auwal
Jenis/sumber Kertas : Eropa
Rasm : Imla’i
Khat : Naskhi
Qirā’t : ‘Āṣim riwayat Ḥafṣ
Penulis beruntung memiliki copy mushaf ini. Tahun penyalinannya sekitar 1794, tertulis di halaman sampul naskah. Namun, penulis tidak mengetahui secara pasti, apakah ini merupakan tahun penulisan secara keseluruhan atau awal penulisan.
Mushaf ini masih lengkap, beberapa bagiannya telah rusak. Ukuran naskah adalah 30 x 19 x 5 cm dengan ukuran bidang teks 25 x 15 cm. Jumlah baris naskah ini untuk setiap halamannya adalah 15 baris sehingga setiap juz terdiri dari sekitar 10 lembar atau lebih dari 20 halaman. Rasm yang digunakan adalah Imla’i, tetapi tidak seluruhnya. Tinta yang digunakan berwarna hitam dan merah; hitam untuk tulisan utama manuskrip, sedangkan warna merah untuk selain manuskrip seperti: waqaf (tanda berhenti), maqra’ (bagian bacaan), tanda-tanda bacaan, tajwid, mad (bacaan panjang) wajib, dan jaiz (tidak wajib), lafaz Allah (Lafz al-Jalālah), penamaan surah di setiap awal surah, lingkaran ayat, dan awal juz. Untuk penomoran ayat hanya menggunakan tiga titik, bukan dengan angka seperti muṣḥaf modern.
Mushaf ini digunakan oleh umat Islam sebagai media pembelajaran untuk memahami Al-Qur’an, dalam jangka waktu yang lama. Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa tahun muṣḥaf ini digunakan di Cape Town. Namun, para peneliti meyakini, mushaf Tuan Guru masih digunakan dan menjadi standar sampai mushaf cetakan mesin masuk Afrika Selatan.
Perjuangan Tuan Guru untuk memerdekakan rakyatnya tidak tanggung-tanggung. Beliau telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk perjuangan tersebut. Beliau selalu menularkan semangat berjuang untuk mencintai tanah air. Gagasan kesetaraan yang dikumandangkan oleh Tuan Guru telah menggugah kesadaran rakyat. Beliau bukan hanya pahlawan bagi rakyat Afrika Selatan dan Indonesia, tetapi juga bagi semua orang yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Mushaf yang ditulisnya terbukti menjadi alat pemersatu umat, mencerdaskan masyarakat, dan mencerahkan kehidupan bangsa ke arah yang lebih baik.
Referensi Buku
Darmawijaya, (2010). Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hamka, (1981). Sejarah Umat Islam. Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang.
Hidayat, Komaruddin, DKK, (2006). Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Marasabessy, Bunyamin dan Moh Amin Faroek, (2005). Tuan Guru Imam Abdullah Bin Qadhi Abdussalam: Perlawanan Terhadap Imperialisme Belanda Dan Pengasingan Di Cape Town, Afrika Selatan. Yayasan Pendidikan Raudhatun Nasyi’in.
Morton, Shafiq, (2018). From the Spice Islands to Cape Town: The Life and Time of Tuan Guru. Cape Town: Awqaf SA.
Preface copy of the manuscript of Tuan Guru Abdullah ibn Qadi Abdussalam
Jurnal
Akbar, Ali. (2010). Mushaf Sultan Ternate Tertua di Nusantara? Menelaah ulang Kolofon, Jurnal Lektur Keagamaan, vol 8. No. 2, hal. 283-296.
Chidester, David. ( 2000). Mapping the Sacred in the Mother City: Religion and Urban Space in Cape Town, South Africa. Journal for the Study of Religion, Vol. 13, No. 1/2, Sacred Space in Southern Africa, p. 5-41
Davids, Achmat. (1995). Imams and Conflict Resolution Practices Among Cape Muslims in Thenineteenth Century. Kronos, No. 22, University of Western Cape, p. 54-72
Haron, Muhammad. (2003). A Portrait Of The Arabic Script At The Cape, Sudanic Africa, Vol. 14, Brill, p. 33-54
Jappie, Saarah. (2011), From the Madrasah to the Museum: The Social Life of the “Kietaabs” of Cape Town. History in Africa, Vol. 38, Cambridge University Press, p. 369-399
Jeppie, Shamil. (1996). Leadership and Loyalties: The Imams of Nineteenth-Century Colonial Cape Town, South Africa. Journal of Religion in Africa, Vol. 26, Fasc. 2, p. 139-162
Lubbe, Gerrie. (1986). Tuan Guru : Prince, Prisoner, Pioneer. Religion in Southern Africa, Vol. 7, No. 1, Association for the Study of Religion in Southern Africa (ASRSA), p. 25-35
Lubbe, Gerrie. (1987). Robben Island: the Early Years of Muslim Resistance, Kronos, Vol. 12 (1987), University of Western Cape, p. 49-56
Marasabessy, Bunyamin. (2004). Tuan Guru: The Cape Muslim Philosophy Education System. Makara: Sosial Humaniora, vol. 8, no. 3. p. 126-132
Palombo, Matthew. (2014). The Emergence of Islamic Liberation Theology in South Africa, Journal of Religion in Africa, Vol. 44, Fasc. 1. p. 28-61.
Worden, Nigel. (1999). Space And Identity In Voc Cape Town. Kronos, No. 25, Pre-millennium issue, University of Western Cape, p. 72-87
Worden, Nigel. (2009). The Changing Politics of Slave Heritage in the Western Cape, South Africa. The Journal of African History, Vol. 50, No. 1, p. 23-40
Rafudeen, Auwais. (2005). A Parallel Mode of Being: The Sanūsīyyah and Intellectual Subversion in Cape Town, 1800-1840. Journal for the Study of Religion, Vol. 18, No. 1, Association for the Study of Religion in Southern Africa (ASRSA), p. 77-95.
A Parallel Mode of Being: The Sanūsīyyah and Intellectual Subversion in Cape Town, 1800-1840 Part Two. Journal for the Study of Religion, Vol. 18, No. 2, Association for the Study of Religion in Southern Africa (ASRSA), p. 23-38.
Informan
Mr. Anver Nata, University of Western Cape, Cape Town, South Africa