Mengapa Kita Harus Membaca Ibnu Khaldun?

oleh Nur Hayati Aida
44 views
Mengapa Kita Harus Membaca Ibnu Khaldun

Apa alasan Anda datang kepada Khaldun? Pertanyaan ini sangat krusial ketika akan membaca buku yang ditulis oleh seorang ahli yang tak ada bandingannya dalam berkomitmen untuk melawan kolonisasi pengetahuan, yaitu Syed Farid Alatas. Apakah karena Anda seorang Muslim? Atau dosen yang menemukan kolom kecil bertuliskan Khaldun dalam buku teori sosiologi klasik dan terpaksa mengajarkannya? Atau mungkin Anda seorang pembeli buku yang tak sengaja menemukan Muqaddimah berdebu di toko buku yang tidak terlalu populer?

Mungkin karya Alatas akan membuat Anda kecewa jika hanya memiliki tiga alasan tersebut. Syarat pertama untuk membaca Khaldun adalah Anda harus meneladani dia dalam mengawali karyanya, Ibar: tuliskan secara jujur alasan Anda di halaman pertama buku ini dan ragukanlah sebagaimana Khaldun meragukan silsilah keluarganya.

Membuka lembar demi lembar karya Alatas, kita dapat menemukan bahwa buku ini lebih layak disebut labirin dibandingkan panduan hidup dan karya Khaldun. Labirin ini akan mengantar Anda pada ide-ide menarik dan juga nyentrik. Bayangkan, apa yang akan dilakukan oleh masyarakat kita pada seseorang yang meragukan kisah tentara Musa hingga mengkritik metode para perawi hadits? Khaldun telah melakukan itu! Jika perasaan Anda masih belum terusik, Khaldun telah menunjukkan bahwa lahir dan runtuhnya kerajaan-kerajaan dalam sejarah Yahudi memiliki pola yang sama dengan lahir dan runtuhnya kerajaan-kerajaan dalam sejarah Islam.

Di luar dugaan, ide nyentrik ini justru telah memancing begitu banyak pembaca, pendengar, dan kritikus lintas zaman.

Diskusi ini akan mengambil jalan lain dalam membahas karya Alatas mengenai Khaldun. Diskusi ini juga tidak akan menunjukkan kritik sistematis namun terbatas sebagaimana telah dilakukan banyak ahli terhadap Khaldun. “Menyeret Khaldun secara paksa melalui renungan Alatas ke dalam penjara kehidupan kita hari ini.”

Mungkin kita terbiasa membaca beragam pesan berantai dalam WhatsApp; hingar-bingar panggung politik tanah air dan ibu kota hari ini, dan tak jarang kita menemukan berita-berita hoaks mengenai silsilah ataupun sepak terjang seorang tokoh. Apa hubungannya Khaldun dengan ini semua? Khaldun dapat menawarkan analisis yang mencengangkan melalui tujuh kesalahan penulisan sejarah (h. 62). Kritiknya atas metode perawi hadits, misalnya, masih relevan untuk menjelaskan kebiasaan buruk kita dalam menulis, menyebarkan, dan merespon pesan dalam WhatsApp.

Khaldun juga begitu relevan dalam diskusi baru-baru ini dalam perdebatan teori ilmu sosial hari ini. Di satu sisi, Khaldun menunjukkan kontradiksi antara aktualisasi kapasitas akal manusia dan, di sisi lain, tentang kebutuhan akan otoritas. Aktualisasi kapasitas akal manusia itu seperti membangun rumah (h. 74).

Alatas menunjukkan tujuh gagasan menarik mengenai pendidikan dalam pemikiran Khaldun. Dua di antaranya yaitu penjejalan terlalu banyak materi pelajaran dan penyebaran buku ringkasan yang merusak pendidikan (h. 128).

Ide imajinatif lain dari Khaldun yang menarik adalah ‘prediksi’nya atas lahir dan matinya sebuah kerajaan. Prediksi ini dikaitkan dengan konsep terkenalnya, yaitu assabiyyah. Ide ini dapat menjadi agenda penelitian yang menarik. Bahkan, bila dibantu dengan metodenya, Burhan (h. 99), benar-benar mendorong kita untuk berinovasi.

Bagi Khaldun, tidaklah tepat jika kita hanya sekadar menguji asli atau tidaknya sebuah sumber, bukan juga karena kualitas karakter pembuat inovasi tersebut, tapi ditentukan oleh kemampuan kita untuk ‘mendemonstrasikan’ kembali sebuah ide guna menguji kebenarannya. Dengan metode ini, setiap tahapan berpikir juga berarti niscaya mencipta inovasi.

Dengan dua ide ini, Khaldun menantang kita: Bisakah kita membayangkan runtuhnya sebuah rezim dalam hitungan satu, dua, tiga, empat?

Menulis kembali mengenai pemikiran Khaldun sebagaimana dituangkan Alatas dalam buku tersebut belumlah cukup. Penting dilakukan kajian mengenai motif-motif penerjemahan karya Khaldun yang dilakukan di luar tembok universitas, dan motif para pembuat artikel dalam blog mengenai Khaldun. Ini diringkas dalam satu istilah, Khaldun against Khaldun, sebagai ungkapan untuk menunjukkan adanya motif berbeda dalam memanggil kembali si raksasa ini.

Pertanyaan buat kita semua: bagaimana Khaldun bicara pada zaman kita?

Nur Hayati Aida

Nur Hayati Aida

Santri yang tak kunjung khatam membaca al-Quran

You may also like

Leave a Comment