Belajar Memahami Ibn ‘Arabi

oleh Nur Hayati Aida
86 views
Belajar Memahami Ibn ‘arabi

Siapa yang tak kenal Ibn ‘Arabi? Mistikus besar yang mendapat julukan al-Syaikh al-Akbar ini mungkin adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perkembangan tasawuf, termasuk di Nusantara pada abad ke-17 hingga 18. Banyak tokoh seperti Hamzah al-Fansuri, Syams al-Din al-Sumatrani, ‘Abd al-Rauf as-Sinkili, Yusuf al-Makassari, dan ‘Abd Shamad al-Palimbani yang disinyalir terpengaruh oleh gagasan Ibn ‘Arabi. Bahkan, konon, Ronggowarsito yang terkenal dengan Ramalan Joyoboyo juga terinspirasi oleh pemikirannya.

Salah satu pengkaji Ibn ‘Arabi di Indonesia adalah Prof. Kautsar Azhari Noer, Guru Besar Perbandingan Agama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini, beliau adalah seorang Honorary Fellow di Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society, sebuah organisasi yang berfokus pada upaya mempromosikan pemikiran Ibn ‘Arabi. Di dalam organisasi ini, beliau mengikuti jejak sarjana-sarjana lain yang lebih dahulu diangkat menjadi Honorary Fellows, seperti Sayyed Hossein Nasr, William W. Chittick, Ralph Austin, Pablo Beneito, James Morris, Michel Chodkiewicz, dan Claude Addas.

Sebelum menjadi Honorary Fellow di Ibn ‘Arabi Society, pada 2004 beliau diundang untuk mengikuti Six-Month Course oleh Beshara School, sebuah lembaga pendidikan esoterik yang menjadikan ajaran Ibn ‘Arabi sebagai pegangan utama. Kegiatan tersebut diadakan di sebuah desa dekat Hawick, Skotlandia.

“Karena saya menulis disertasi tentang Ibn ‘Arabi, saya diundang oleh Beshara pada tahun 2000 untuk mengikuti Nine-Day Course yang diadakan di Jakarta. Pada tahun 2004, saya kembali diundang ke Skotlandia untuk mengikuti Six-Month Course. Dalam kursus tersebut, kami mengkaji Fushush al-Hikam serta bagian-bagian pilihan dari karya-karya Rumi dan Bhagavad Gita (kitab suci Hindu),” jelas Kautsar.

Penghargaan sebagai Honorary Fellow

Kautsar diangkat menjadi Honorary Fellow di Ibn ‘Arabi Society setelah mempresentasikan makalahnya yang berjudul “The Encompassing Heart: Unified Vision for a Unified World” pada Twenty-fourth Annual Symposium of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society, dengan tema “Unified Vision – Unified World?”, yang diadakan di Oxford pada 28–29 April 2007.

“Konsep-konsep Ibn ‘Arabi hingga kini masih menjadi panutan dan rujukan. (Hampir) tidak ada konsep baru tentang tasawuf setelahnya,” ujar Kautsar, mengomentari betapa besarnya pengaruh pemikiran ulama sufi ini.

Sebagai contoh, konsep-konsep seperti wahdat al-wujud, insan kamil, tajalli, hakikat Muhammad, dan a’yan tsabitah, semuanya dibangun oleh Ibn ‘Arabi. Kalaupun ada yang baru, menurut Kautsar yang dinukil dari Chittick, adalah pemikiran ‘Abd al-Karim al-Jilli, yang pada dasarnya hanya modifikasi dari gagasan-gagasan Ibn ‘Arabi.

Ibn ‘Arabi: Tokoh Kontroversial

Ibn ‘Arabi, yang memiliki nama lengkap Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Arabi al-Tha’i al-Hatimi, adalah tokoh yang memancing banyak kontroversi. Ia serupa dengan samudera yang bisa direnangi oleh siapa saja, baik mereka yang menuduhnya kafir, maupun yang mengaguminya karena keluasan ilmunya. Diberi gelar Muhyi ad-Din (Penghidup Agama), ia lebih sering dipanggil Muhyiddin Ibn ‘Arabi dan dijuluki Al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus), sebuah sebutan yang masih digunakan hingga saat ini.

Menembus Batas Ruang dan Waktu

Dalam dunia tasawuf, menembus batas ruang dan waktu bukanlah hal yang mustahil. Para salik percaya pada kemampuan luar biasa yang dimiliki oleh para wali, yang dipilih oleh Tuhan. Ibn ‘Arabi dikisahkan sering berkomunikasi dengan para nabi yang hidup pada masa yang berbeda darinya.

Menurut Kautsar, Ibn ‘Arabi pernah bertemu dengan Nabi Muhammad dalam suatu penglihatan. Hal ini ia narasikan dalam mukadimah kitab Fushush al-Hikam:

“Aku melihat Rasulullah dalam suatu kunjungan kepadaku pada akhir Muharram 627, di kota Damaskus. Dia memegang sebuah kitab dan berkata kepadaku: ‘Ini adalah kitab Fushush al-Hikam; ambil dan sampaikan kepada manusia agar mereka bisa mengambil manfaat darinya.’ Aku menjawab, ‘Segenap ketundukan selayaknya dipersembahkan ke hadirat Allah dan rasul-Nya; ketundukan ini seharusnya dilaksanakan sebagaimana kita diperintahkan.’ Oleh karena itu, aku melaksanakan keinginanku, memurnikan niat, dan mencurahkan maksudku untuk menerbitkan kitab ini seperti diperintahkan sang Rasul, tidak ada tambahan ataupun pengurangan di dalamnya.”

Paradoks dalam Pernyataan

Ibn ‘Arabi menulis lebih dari tiga ratus karya, termasuk Fushush al-Hikam, Futuhat al-Makkiyyah, dan Tarjuman al-Asywaq. Karya-karyanya terkenal sulit dipahami karena sering kali menggunakan pernyataan-pernyataan paradoks dan kosa kata yang memiliki makna berlapis.

Misalnya, kalimat ya‘buduni wa a‘buduhu. Menurut Kautsar, pernyataan tersebut sering disalahpahami, karena bagaimana mungkin Tuhan menyembah manusia? Padahal, makna kata ya‘budu di sini adalah mengabdi atau melayani, sehingga kalimat itu berarti, “Dia mengabdi padaku dan aku mengabdi pada-Nya.” Makna ini dapat dijelaskan dengan sebuah pertanyaan: “Mengapa manusia harus melayani Tuhan?” Jawabannya, karena Tuhan terlebih dahulu telah melayani manusia dengan segala nikmat-Nya, bahkan sebelum manusia bisa melayani Tuhan.

Doktrin Wahdat al-Wujud: Sering Disalahpahami

Banyak orang yang salah paham terhadap doktrin wahdat al-wujud (kesatuan wujud) Ibn ‘Arabi karena menekankan hanya pada sifat tanzih (transenden) Tuhan dan mengabaikan sifat tasybih (imanen). Menurut Kautsar, memandang Tuhan hanya dari sisi tanzih merupakan kesalahpahaman tentang wahdat al-wujud, karena Tuhan bukan hanya munazzah (terbebas dari segala sifat makhluk), tetapi juga musyabbah (ada keserupaan dengan makhluk).

Tuhan dapat diketahui dari segi nama-nama-Nya, bukan dari segi zat-Nya. Tuhan adalah satu-satunya wujud hakiki, sedangkan segala sesuatu selain-Nya tidak memiliki wujud kecuali sebagai bayangan dari wujud Tuhan itu sendiri. Inilah yang dimaksud oleh Kautsar sebagai semurni-murninya Tauhid.

Manusia sebagai Cermin Tuhan

Alam dan semua yang terjadi di dalamnya adalah manifestasi (tajalli) Tuhan. Tajalli Tuhan yang paling sempurna terlihat pada manusia, yang merupakan cermin Tuhan paling sempurna. Namun, tajalli ini hanya bisa terwujud pada manusia yang memiliki kesiapan sempurna. Dalam hal ini, Nabi Muhammad adalah manusia sempurna (insan kamil) yang mencerminkan nama-nama Tuhan secara penuh dan seimbang.

Memahami Ibn ‘Arabi

Memahami teks-teks Ibn ‘Arabi tidaklah mudah. Kautsar sendiri dibantu oleh dua karya besar dalam memahami Ibn ‘Arabi: Sufism and Taoism oleh Toshihiko Izutsu dan The Sufi Path of Knowledge oleh William C. Chittick. Memahami teks Ibn ‘Arabi memerlukan waktu panjang dan kejernihan hati untuk memahami setiap kata yang tertuang dalam teks-teks tersebut.

Sebagai penutup, Kautsar menyampaikan bahwa perjalanannya mengkaji Ibn ‘Arabi bukan sekadar pilihan pribadi, melainkan mungkin Tuhan yang memilihkannya untuk menulis tentang doktrin wahdat al-wujud.

Post Scriptum: Tulisan di atas diolah dari transkrip wawancara penulis dengan Prof. Kautsar Azhari Noer.

Nur Hayati Aida

Nur Hayati Aida

Santri yang tak kunjung khatam membaca al-Quran

You may also like

Leave a Comment