Di usia senja 70 tahun tubuh rentanya harus berbaring di dinginnya lantai penjara yang kotor, sempit, dan sesak. Bukan karena mencuri atau korupsi tapi karena sikap lurusnya yang setia pada kebenaran. Tawaran jabatan dan kekuasaan tidak menyilaukan dirinya, ia hanya mengabdi kepada ilmu pengetahuan dan kebenaran. Kompromi dengan penguasa lalim baginya adalah aib besar, dan lebih baik dibui daripada kompromi dengan penguasa durhaka.
Nu’man bin Tsabit lahir di Kufah pada 80 H, dan wafat di Baghdad pada 150 H. Beliau berkebangsaan Persia dan termasuk generasi tabi’in, karena pernah bertemu dan berguru ke Sahabat Nabi seperti Sayyidina Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, dan Sahal bin Sa’d r.a., Ayahnya, Tsabit, ketika kecil bertemu dengan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. dan didoakan agar mendapat keberkahan ilmu beserta anak cucunya.
Nu’man bin Tsabit lebih dikenal dengan nama Al-Imam Al-A’dzam Abu Hanifah, pendiri mazhab fikih terbesar di dunia, Mazhab Hanafi. Ia diyakini sebagai penyusun pertama sistematika kitab fikih yang diawali bab thaharah (bersuci), wudhu, shalat, dan seterusnya, yang menjadi standar sistematika kitab fikih sampai saat ini. Ia seorang fakih yang terkenal cerdas, kuat pikiran, dermawan, dan juga disiplin. Ia juga pebisnis tekstil yang kaya raya. Imam Abu Hanifah hidup dalam lingkungan intelektual yang sangat mendukung karier akademiknya. Sejak kecil sudah belajar agama kepada guru terbaik di Kufah. Ia berguru kepada Imam Hammad bin Abi Sulaiman sejak usia 22 sampai 40 tahun, yaitu ketika sang guru wafat. Ia sering berziarah ke Makkah dan Madinah untuk melaksanakan haji dan belajar di sana. Para ulama meyakini, pandangan fikih Imam Abu Hanifah sejalan dengan pandangan fikih para Sahabat Nabi seperti Sayyidina Umar bin Khatab, Sayyidina Abdullah bin Mas’ud, dan Sayyidina Ibnu Abbas. Ia juga belajar kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah ketika ziarah ke Baitullah. Di usia 40 ia menggantikan gurunya, Hammad bin Abi Sulaiman mengajar di masjid agung Kufah.
Dalam biografi Imam Abu Hanifah yang diterbitkan Syirkah Al-Quds Kairo, Mesir, dikatakan bahwa kepribadian Abu Hanifah tegas sikap keagamaannya, abid yang taat, sangat saleh, puasa di siang hari, tahajud di malam hari, dan tidak lepas dari membaca al-Qur’an. Beliau sering menangis dalam setiap doanya. Ia diberi julukan oleh para kerabat dan muridnya, Al-Imam Al-A’dzham, yang berarti pemimpin agung. Imam Abu Hanifah dikenal sangat setia menggunakan ra’yu (akal) dalam memformulasikan hukum fikih. Sayangnya, terkadang rasionalitasnya disalahartikan oleh banyak orang sebagai orang yang anti Sunnah Nabi Muhammad Saw., tuduhan tak berdasar dan penuh kebencian, karena ia belajar dari ahli bait juga. Bagaimana mungkin menyalahi dan menolak Hadis Nabi Muhammad Saw., Rasul yang sangat dicintai dan dihormatinya dan ia menimba ilmu dari para cucunya.
Dua murid utama beliau adalah Qadi Abu Yusuf dan Imam Muhammad Asy-Syaibani keduanya adalah juru bicara Imam Abu Hanifah yang paling berpengaruh, dan menjadi guru pendiri mazhab fikih Syafi’i yaitu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Imam Abu Hanifah dikenal bersahabat dekat dengan mujtahid fikih Imam Sufyan Ats-Tsauri.
Mengenal Al-Fiqh Al-Akbar
Al-Fiqh Al-Akbar adalah kitab akidah pertama yang ditulis oleh umat manusia. Sebagaimana telaah kritis yang dilakukan guru penulis, Syaikh Dr. Muhammad Al-Ninowy, setidaknya ada dua sanad kitab ini yang sampai kepada kita. Jalur pertama dari Syaikh Abu Bakar Al-Kasani dari Imam Al-Ala’ As-Samarkandi dari Imam Abu Muin An-Nasafi dari Syaikh Husain bin Al-Khatali dari Ali bin Ahmad Al-Farisi dari Nusayr bin Yahya dari Abu Muti Albalakhi dari Imam Abu Hanifah. Abu Muti adalah seorang fakih tetapi oleh ulama Jarh wa Ta’dil dianggap lemah (dhaif) ingatannya dan tidak akurat dalam merawikan hadis, dan tidak disahihkan dalam periwayatan hadis, dianggap lemah oleh mayoritas ulama, dan dianggan kadzab (pendusta) oleh Imam Ar-Razi, meskipun di dalam teks kitab ini berisi kebenaran, jika menggunakan standar ilmu Hadis yang ketat, teks ini belum memenuhi standar kesahihan untuk dinyatakan ditulis oleh Imam Abu Hanifah. Perlu diingat bahwa standar Hadis yang sangat tinggi ini untuk menjaga keautentikan naskah, sanad yang dianggap dhaif oleh ulama Hadis bukan berarti menegasikan keautentikan keseluruhan teks kitab ini bahwa ditulis oleh Imam Abu Hanifah.
Jalur kedua, melalui Imam Muhammad bin Muqatil melalui Isam bin Yusuf melalui Hammad bin Abu Hanifah melalui ayahnya, Imam Abu Hanifah. Rantai sanad ini juga cukup problematik, karena Muhammad bin Muqatil itu lemah (dhaif), sekali lagi, jika menggunakan standar ilmu hadis yang begitu ketat. Sedangkan seluruh ulama besar dalam mazhab Hanafi menerima dan mengakui keautentikan kitab ini, mereka meyakini bahwa Abu Mu’thi Al-Balakhi adalah Hanafi dan mendapatkan sanad langsung dari Imam Abu Hanifah. Banyak ulama Hanafi yang memberikan penilaian tsiqah (dapat dipercaya) kepada Abu Mu’thi. Abu Mu’thi juga yang menarasikan kitab lainnya dari Imam Abu Hanifah yaitu Al-Fiqh Al-Absath. Juga banyak ulama non-Hanafi yang menerima teks ini. Salah satu argumentasi yang menguatkan klaim ini adalah, Kitab Al-‘Aqidah Al-Thahawiyah yang ditulis oleh Imam Thahawi yang bermazhab Hanafi isinya memiliki banyak kesamaan dengan kitab ini, ada kemungkinan Imam Thahawi terinspirasi dari pendahulunya, punggawa mazhabnya, yaitu Imam Abu Hanifah.
Urgensi Mengkaji Al-Fiqh Al-Akbar
Kenapa penting membaca kitab ini? karena kitab akidah yang disusun pada masa tabi’in ini akan memberikan penjelasan paling dekat dengan masa Nabi Muhammad Saw. Akidah tabi’in diajarkan langsung oleh para Sahabat yang mendapat ilmu dari Nabi Muhammad Saw. Kitab ini menjadi kitab standar akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Dan segala doktrin akidah yang bertolak belakang dari kitab akidah generasi awal umat Islam ini bisa dikatakan adalah akidah bid’ah. Konsep akidah Uluhiyah, Rububiyah, Asma wa Sifat yang diklaim Salafi Wahabi, ternyata tidak ada dalam kitab salaf. Penggunaan terminologi Fiqh Akbar sebagai lawan dari Fiqh Asghar menarik perhatian para ulama, Abu Hanifah lebih memilih terminologi ini daripada akidah atau tauhid. Dua terminologi terakhir baru populer pada generasi setelahnya. Risalah singkat ini sudah menjadi kitab rujukan utama akidah, tauhid, dan keberagamaan Muslim selama lebih dari 1300 tahun.
Pada masa hidup Imam Abu Hanifah gerakah Khawariz populer di kalangan umat Islam, para golongan penentang Sayyidina Ali bin Abi Thalib ini sering menyerang Imam Abu Hanifah karena sering menggunakan akal ketimbang al-Qur’an dan Sunnah, padahal apa yang dipahami dan dirumuskan Imam Abu Hanifah seluruhnya diambil dari al-Qur’an dan Sunnah. Akhirul kalam, di tengah merebaknya pemikiran Neo Khawarij saat ini, penting sekali mempelajari kitab klasik yang ditulis oleh seorang tabi’in besar dan imam pendiri mazhab terbesar di dunia, Imam Abu Hanifah. Wallahu A’lam
Penyunting: Irawan Fuadi