Menjadi hamba ternyata tidak mudah. Tidak banyak orang di sekitar kita yang menyadari dirinya sebagai hamba. Juga tidak sedikit orang yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Banyak pula yang tidak mengerti perbedaan tegas antara Tuhan dan hamba.
Mengenal Tuhan tidak harus dengan cara yang rumit dan teoretis. Mengenal Tuhan bisa dengan mengenal diri sebagai hamba. Betapa banyak orang yang sudah melanglang buana dari satu benua ke benua lain, tetapi tidak kunjung menemukan dirinya atau menyadari posisinya di mata Tuhannya. Betapa banyak orang yang sudah menelaah ratusan bahkan ribuan buku, tetapi petualangan ilmiahnya justru membuatnya melaju kencang meninggalkan Tuhannya.
Ilmu kadang menyesatkan. Untuk kenyataan yang satu ini kita harus berduka. Baik tidaknya ilmu, tergantung cahayanya. Semakin redup cahaya ilmu, ia akan semakin kusut dan tidak berguna. Artinya, tidak semua ilmu dapat disebut ilmu.
Apa yang oleh Kanjeng Nabi Saw. sebut sebagai “cahaya ilmu” ternyata tidak dimiliki oleh semua jenis ilmu. Ada segelintir pengetahuan yang jamak disebut ilmu tapi tidak menyinari. Contohnya adalah filsafat positifistik, yang mendasari segala asumsinya pada realitas empiris. Ilmu semacam ini menolak keberadaan Tuhan dan tidak percaya kepada segala hal yang bersifat gaib. Padahal virus Corona juga gaib tapi semua orang meyakini keberadaannya.
Apakah itu berarti sabda Kanjeng Nabi tentang cahaya ilmu itu salah? Jelas tidak, sebab yang dimaksud Nabi sebagai ilmu adalah yang mengarahkan pemiliknya kepada kebenaran dan kebahagiaan. Yang patut disayangkan adalah pemahaman kita tentang ilmu kini sudah tidak terarah. Sedikit di antara kita yang dapat membedakan antara ilmu yang bercahaya dan kegelapan.
Imam Al-Ghazali (w. 1111 M) mengajarkan, bahwa ilmu yang paling bercahaya adalah ilmu yang membawa pemiliknya mendekat kepada Tuhannya. Jika pendapat ini dianggap benar, bolehlah kita menambahkan bahwa ilmu paling mulia tingkat berikutnya adalah ilmu yang membawa kita mengenal lebih dekat kepada kekasih Tuhan, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Lalu, ilmu mulia berikutnya adalah yang menyadarkan kita untuk peduli kepada sekeliling kita, siapa mereka, apa hak mereka, dan bagaimana seyogyanya kita bersikap kepada mereka. Terakhir, ilmu yang membuat kita terbangun dari mimpi panjang dan menyadarkan siapa diri kita sesungguhnya.
Kita adalah hamba. Dan kehambaan itu semakin nyata jika menyadari betapa agung Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada. Kita juga akan semakin sadar kehambaan kita jika berkaca kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw. dengan segala ketundukan dan ketaatannya. Ia adalah manusia biasa, tetapi juga seorang Nabi pilihan Tuhan yang Mahasegalanya. Surga adalah jaminannya, dan kenikmatan ukhrawi adalah janji sang Pencipta kepadanya. Walau demikian, kepada sesama manusia ia rendah hati, bahkan kepada seorang pengemis sekalipun. Di hadapan Tuhan, ia terus menghamba.
Kalau kita sadar betapa jauh perbandingan antara kita dan sang Nabi pada aspek kemuliaan, niscaya kita akan tunduk dan malu atas kelakuan kita selama ini. Bukankah kita cenderung sombong, congkak, angkuh, dan merasa tinggi terutama ketika merasa sedikit memiliki kelebihan atau kebaikan.
Benar sekali kata Kanjeng Nabi, “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya”. Jika seorang mukmin saja dapat menjadi cermin bagi yang lain untuk mengukur kebaikan dan keburukannya, bagaimana dengan Kanjeng Nabi? Ia adalah makhluk utama yang patut kita jadikan cermin.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, manusia adalah cermin yang paling indah bagi kita. Bagaimana kita menemukan kehambaan, dapat kita tempuh dengan mengaca kepada makhluk bernama manusia. Apa yang ada di jagad raya ini, ada dalam diri manusia. Ia dapat berbicara, berpikir, dan bergerak. Ia bisa sedih, senang, tertawa dan menangis. Dan ia juga punya jiwa. Jiwa adalah hakikat, sedang raga adalah bungkusnya. Mata adalah raga, sedang penglihatan adalah jiwanya; telinga adalah raga sedang pendengaran adalah jiwanya; hidung adalah raga sedang penciuman adalah jiwanya; kulit adalah raga sedang merasakan adalah jiwanya; otak adalah raga sedang berpikir adalah jiwanya; dan hati adalah raga sedang zikir adalah jiwanya. Jiwa adalah esensi, tanpanya manusia pantas dicela. Untuk apa punya telinga jika tidak bisa mendengar? Dan untuk apa pula punya mata tapi tidak bisa melihat? Demikian seterusnya.
Kemahiran seseorang dalam menggunakan dan memaksimalkan jiwanya sangatlah tergantung pada kebiasaannya. Mendengar dan melihat sesuatu yang salah dapat menjerumuskannya kepada dunia yang salah pula. Melakukan kesalahan dalam keseharian akan menjadikan seseorang terbiasa pada kesalahan dan akhirnya akan melihatnya sebagai hal lumrah. Dalam keadaan seperti ini, hati dan jiwa akan bebal, mata akan buta, dan telinga akan tuli tidak dapat mendengar kebenaran. Suara sumbang baginya akan terdengar merdu, dan suara indah akan terasa mengganggu. Karena itu al-Qur’an berkata,
لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ
“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf [7]: 179)
Sesungguhnya binatang juga punya mata dan telinga yang bisa melihat dan mendengar. Lalu mengapa oleh al-Qur’an, binatang disebut tidak bisa melihat dan mendegar? Jawabannya jelas. Melihat dan mendengar yang dimaksud di sini adalah yang bersifat maknawi bukan inderawi. Yang tidak tampak dan tidak dapat didengar oleh binatang adalah suara kebenaran. Bagi manusia? Tentu tidak demikian, karena semua yang ada di depan matanya adalah bahan renungan yang akan mengantarkannya kepada kesadaran kebesaran Tuhannya.
Kesadaran kebesaran Tuhan haruslah muncul bersamaan dengan kesadaran kehambaan diri. Keagungan Tuhan mestinya seiring dengan kehambaan manusia. Ini diisyaratkan dalam ibadah yang disyariatkan Islam, terutama sholat, saat kita merendahkan diri dalam sujud, pada saat yang sama kita mengangungkan Tuhan yang Mahatinggi dalam doa kita.
Ibadah tidak sekadar penyembahan, ibadah lebih tepat diterjemahkan penghambaan. Perbedaan keduanya sangatlah jauh. Penyembahan bisa saja dilakukan dalam keadaan hati tidak tulus atau bahkan marah dan kecewa terhadap yang disembah. Namun, tidak dalam penghambaan, ia menyerahkan diri kepada Yang Mahakuasa dalam kepasrahan dan ketundukan total. Penghambaan adalah keadaan jiwa seorang hamba yang merasa dirinya adalah milik Zat yang menguasainya. Ia siap melakukan apa saja demi Tuhannya bukan karena keterpaksaan, tetapi karena sikap cinta dan rasa syukur kepada-Nya. Ia berfirman,
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al-Zariyat [51]: 56)
Terdapat perbedaan jauh antara penghambaan dan penyembahan. Seseorang yang melaksanakan sholat dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya sudah dapat dikatakan menyembah. Tetapi belum tentu ia menghamba dalam sholatnya, jika sholatnya bukan dengan jiwa yang tulus, ikhlas, dan sabar. Kemudian, penyembahan tidak selamanya menghasilkan jiwa dan perilaku yang positif. Berbeda dengan penghambaan yang hampir pasti dapat menghasilkan perilaku yang baik dan mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Demikianlah al-Qur’an mengatakan bahwa:
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut [29]: 45)
Persoalan yang sering kita jumpai adalah, masih banyak orang yang melakukan perbuatan keji dan mungkar padahal mereka rajin sholat dan mungkin puasa. Itulah masalahnya. Sholat dan ibadah yang mereka lakukan masih sebatas sebagai penyembahan dan bukan penghambaan. Sholat sebagai penyembahan tidak memiliki nilai apa-apa selain untuk menggugurkan kewajiban. Selama tujuan “mencegah kekejian dan kemungkaran” tidak tercapai, maka ada yang tidak beres dalam sholat yang kita lakukan.
Tuhan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang menjalankan sholat sebagai penghambaan dengan mengatakan melalui sebuah Hadis Qudsi, “Wahai anak Adam! Tunduklah kepada-Ku dengan cara menghamba, niscaya akan Aku penuhi hatimu dengan perasaan kaya, dan akan Aku penuhi pula kebutuhan duniawimu. Jika tidak, maka akan Aku jadikan hatimu sibuk (dengan urusan duniawi) dan kebutuhanmu tidak akan Aku penuhi.”[1]
Secara logika, seseorang yang masih disibukkan dengan urusan duniawi cenderung nekat dan berani melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya walau menghalalkan segala cara. Dari sinilah kekejian dan kemungkaran bermula, dan dari sini pula kehancuran akan terjadi.
Jika ditarik sebuah kesimpulan, maka tidak salah mengatakan bahwa kebahagiaan seseorang dan keselamatan lingkungan yang kita diami, sangat tergantung pada kesadaran individu akan status kehambaannya. Jika ia menyadari diri sebagai hamba, maka selamatlah ia, dan selamat pula lingkungan sekitarnya. Jika tidak, maka kekacauan dan kehancuran yang akan kita lihat dan temui. Pada sisi lain, manusia tidak hanya butuh keselamatan, ia juga butuh kemajuan. Jika keselamatan dapat terwujud melalui kehambaan, maka kemajuan dapat tercapai melalui fungsi manusia sebagai khalifah. Inilah dua aspek manusia yang harus berjalan beriringan. Kehambaan tumbuh melalui ibadah, sedang ke-khalifahan muncul dengan ilmu pengetahuan. Manusia yang paripurna adalah yang mau beribadah untuk menasbihkan diri sebagai hamba, dan berilmu untuk memastikan diri sebagai khalifah. Ibadah itu nutrisi, sedang ilmu adalah cahaya.
Penyunting: Achmad Fathurrohman
[1] Dikutip dari Muhammad al-Ghazali. 1996. Fan al-Zikr wa al-Du’a ‘Inda Khatam al-Anbiya (Beirut: Dar al-Syuruq), 6
1 komentar
Terimakasih atas pencerahannya pak prof. Sgt bermanfaat