Imam Abu Hasan As-Syadzili (w. 1258 M) ketika memasuki puncak karier intelektualnya, suatu hari ingin menepi dari hiruk-pikuk duniawi. Ia memulai pengembaraan spiritualnya. Tujuannya adalah mengaji lagi kepada seorang guru agung, Syaikh Abdus Salam ibn Masyisy (w. 1227 M), seorang sufi asketik yang tinggal dalam kesunyian di atas puncak gunung Jabal Alam, Maroko.
Imam As-Syadzili saat itu sudah menjadi bagian elite intelektual. Ia berjalan kaki menuju Jabal Alam, dengan maksud ingin lebih mendalami ilmu agama. Sesampainya di puncak, beliau mengetuk pintu rumah calon gurunya. Perjumpaan yang sudah lama dinantikan akhirnya terjadi, beliau menyampaikan keinginannya untuk belajar di bawah asuhan Syaikh Abdus Salam ibn Masyisy. Tanpa diduga sang (calon) guru mengatakan, “Pergilah dan ghasala!” Ghasala dalam bahasa Arab secara harfiah berarti mencuci, membilas, membersihkan, mandi.
Dengan perasaan sedikit kecewa tapi dengan penuh kecintaan, Imam As-Syadzili mengikuti titah calon gurunya. Padahal waktu itu Imam As-Syadzili sudah menjadi ulama besar, karyanya sudah viral, tetapi “ditolak” secara halus ketika ingin belajar. Akhirnya Imam As-Syadzili turun lagi ke kaki gunung untuk mandi di sana. Usai mandi, Imam As-Syadzili naik lagi ke puncak menemui Syaikh Abdus Salam ibn Masyisy. Pintu diketuk lagi, respons sang guru masih sama seperti perjumpaan awal, “Pergi dan mandilah!” Imam As-Syadzili kaget bukan kepalang, dia sudah mandi di bawah gunung. Padahal perjalanan dari sumber mata air di kaki gunung ke puncak memakan waktu seharian.
Untuk kali kedua Imam As-Syadzili turun gunung untuk mandi. Usai mandi ia kembali ke atas gunung, mengetuk pintu rumah untuk ketiga kalinya. Di luar dugaan, ternyata jawabannya masih seperti yang pertama. Dengan kondisi badan yang masih bersih karena sudah dua kali mandi, ternyata ia masih disuruh mandi lagi oleh calon gurunya. Setelah tiga kali turun gunung dan mandi sesuai permintaan Syaikh Abdus Salam ibn Masyisy, Imam As-Syadzili kembali ke puncak dan mengetuk pintu rumah calon gurunya tersebut untuk ketiga kalinya. Lalu Syaikh Abdus Salam ibn Masyisy berkata, “Pergilah ghasal, pergilah mandi, bersihkan dirimu, bersihkan rasa tahumu, bersihkan rasa bahwa kau mengetahui segalanya, bersihkan rasa sombong dari ilmu yang sudah dimiliki, bersihkan dari selubung ilmu yang membuatmu merasa lebih tau dari orang lain, karena wadah yang sudah terisi penuh tidak akan bisa diisi apa pun.”
Singkat cerita Imam As-Syadzili pun diterima menjadi murid Syaikh Abdus Salam ibn Masyisy. Lewat tempaan sang guru, Imam Abu Hasan As-Syadzili menjadi salah satu ulama sufi agung yang dicatat sejarah. Ia kemudian mendirikan Thariqah Syadziliah, yang menjadi salah satu thariqah mu’tabarah di dunia.
Imam As-Syadzili tidak hanya memiliki keluhuran intelektualitas, tapi juga kedalaman spiritualitas. Didikan seperti inilah yang kelak membuatnya melahirkan ulama kelas dunia. Muridnya yang terkenal adalah Abul Abbas Al-Mursi (w. 1287) guru dari Syaikh Ibn Athaillah As-Sakandari (w. 1309 M), penulis Al-Hikam. Tanpa wasilah didikan dari Syaikh Abdus Salam ibn Masyisy, barangkali nama Imam As-Syadzili tidak akan sebesar dan seharum hari ini.
Di sini pentingnya rendah hati dan tawaduk. Seorang murid harus selalu andap asor terhadap gurunya. Apa pun statusnya, setinggi apa pun capaiannya, seelite apa pun jabatan intelektualnya, murid adalah murid, yang harus takzim kepada gurunya.
Kisah ini disampaikan oleh guru penulis, Dr. Syaikh Muhammad bin Yahya al-Ninowy al-Husaini, seorang muhaddis murid dari Syaikh Muhammad Yasin bin Isa Alfadani Rahimahumullah.
Editor: Irawan Fuadi
3 comments
Good Story, But I Just Hold And Keep Al-Qir’an, Hadist Qudsi And Al- Sunnah
I
Terima kasih