“Al-Quran adalah (kitab) sastra Arab terbesar (al-Arabiyah al-Akbar)”, begitu ungkapan Amin al-Khuli, seorang guru besar studi Al-Quran dan Arab di Universitas Kairo. Ungkapan tersebut tentu tidak asing bagi pengkaji Al-Quran.
Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-Khuli, atau yang lebih dikenal dengan Amin al-Khuli, lahir dan besar di Kairo dalam keluarga yang taat beragama dan kental nilai-nilai ke-Arab-an. Bahkan, kakek beliau dari garis ibu, yaitu Syekh Ali Amir al-Khuli, merupakan alumnus al-Azhar dengan spesialisasi qira’at.
Sejak kecil Amin al-Khuli telah dikenalkan dengan nilai-nilai agama, mengaji dan menghafal Al-Quran, membaca kitab-kitab dalam berbagai disiplin ilmu, sehingga keilmuannya cepat berkembang. Ia sempat belajar ilmu umum dan menghabiskan waktunya dalam dunia hukum. Sempat pula terjun dalam aktifitas politik selama Revolusi Mesir.
Amin al-Khuli kemudian menghabiskan sisa umurnya untuk mengajar dan mengabdi di almamaternya, Universitas Kairo. Pada saat itulah ia mulai mencurahkan perhatian pada ilmu Al-Quran dan sastra Arab hingga memperoleh gelar guru besar, dan menawarkan konsep baru dalam memahami Al-Quran sebagai karya sastra Arab terbesar.
Mengapa Amin al-Khuli menawarkan konsep pemahaman Al-Quran sebagai karya sastra Arab terbesar? Al-Quran berbahasa Arab, dan untuk memahami Al-Quran membutuhkan penguasaan dan pemahaman bahasa Arab. Tetapi, lebih dari hal tersebut, Amin al-Khuli mencoba memahami Al-Quran tidak hanya berangkat dari pemahaman teologis tertentu, tetapi meyakini bahwa Al-Quran mengandung keagungan sastra Arab yang tinggi. Hal itulah yang mendasari Amin al-Khuli menawarkan gagasan Al-Quran sebagai karya sastra Arab terbesar.
Amin al-Khuli berpendapat bahwa selama ini kitab tafsir berangkat dari asumsi pemahaman keagamaan tertentu atau keahlian akademik tertentu, sehingga tafsir menjadi parsial dan atomistik. Misalnya, seorang ahli fikih akan memahami Al-Quran hanya berdasarkan perspektif hukum semata. Di sisi lain, seorang teolog akan memahami Al-Quran berdasarkan mazhab teologis yang dianutnya.
Oleh karena itu, Amin al-Khuli menawarkan konsep dalam memahami Al-Quran harus berangkat dari keyakinan bahwa Al-Quran merupakan kitab sastra Arab terbesar. Dalam kitabnya, Manahij Tajdid, Al-Khuli menghadirkan beberapa gagasan metodologis dalam memahami Al-Quran.
Pertama, seorang pembaca Al-Quran seharusnya berusaha memahami Al-Quran secara obyektif dimulai dari mengumpulkan semua surah atau ayat mengenai tema yang ingin dikaji. Gagasan ini menjadi cikal bakal metode penafsiran baru, yaitu tafsir maudhu’i (tematik). Melalui poin pertama ini, Al-Khuli mengkritik para penafsir yang hanya memahami satu ayat tanpa melihat konteks dan hubungannya dengan ayat-ayat lainnya.
Kedua, untuk memahami satu gagasan tertentu yang terkandung dalam Al-Quran, maka ayat-ayat yang berbicara tentang hal tersebut harus disusun menurut urutan kronologis pewahyuan (tartib nuzuli), bukan urutan dalam mushaf yang ada saat ini (tartib mushafi). Dalam hal ini, Al-Khuli mengajak pembaca Al-Quran untuk menyelami kesejarahan Al-Quran.
Ketiga, karena Al-Quran berbahasa Arab, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mencari makna dasar linguistik dari kata tersebut dan bagaimana penggunaannya saat ayat tersebut turun. Sebab, boleh jadi kata yang sama, memiliki makna yang berbeda antara masa dulu dan masa kini. Contoh sederhananya adalah kata al-sayyarah yang dalam bahasa Arab modern diartikan mobil. Lantas, apakah kata tersebut yang muncul dalam Al-Quran juga hendak dipahami dengan makna mobil?
Berdasarkan penjelasan tersebut, setidaknya ada dua kata kunci yang dikenalkan oleh Amin Al-Khuli, yaitu studi eksternal Al-Quran (Dirasah ma haul Al-Quran) dan studi internal Al-Quran (Dirasah fi Al-Quran).
Patut diakui, apa yang ditawarkan oleh Amin al-Khuli merupakan sebuah terobosan baru dari apa yang telah dikembangkan oleh ulama terdahulu. Jika menelisik karya generasi salaf, studi eksternal dan internal Al-Quran tersebut telah dibahas, hanya saja dalam intensitas yang terbatas dan terpisah-pisah.
Ada kitab tafsir yang konsen dengan studi historisitas ayat yang banyak mengutip riwayat-riwayat asbab al-nuzul. Ini merupakan spirit dari studi eksternal Al-Quran. Ada juga yang menitikberatkan pada aspek gramatikal kebahasaan. Ini merupakan salah satu bagian dari studi internal Al-Quran.
Oleh karena itu, setidaknya ada dua terobosan utama yang digagas oleh Amin al-Khuli. Pertama, ia mencoba mengubah asumsi dasar penafsir dari landasan teologis kitab suci menuju landasan karya sastra agung. Dalam hal ini, Al-Khuli mencoba menawarkan pembacaan Al-Quran yang obyektif. Kedua, ia menghimpun aspek-aspek yang ‘berserakan’ dalam tafsir-tafsir terdahulu serta merekonstruksi kembali sehingga menghasilkan pemahaman studi eksternal dan internal Al-Quran.
Lebih dari itu, pemahaman terhadap Al-Quran sebagai al-Arabiyah al-Akbar atau kitab sastra Arab terbesar patut diapresiasi dan dikembangkan. Sebab, konteks historis turunnya Al-Quran di tengah masyarakat yang memiliki keahlian bahasa dan sastra. Bahkan pada saat itu banyak perlombaan membuat syair, puisi, khutbah, dll. Tetapi, semuanya tidak berkutik melawan kekuatan sastra Al-Quran.
Apresiasi dan pengembangan tersebut dapat memberikan warna baru dalam penafsiran Al-Quran. Terbukti dalam karya tafsir bayani yang diteruskan oleh murid sekaligus istri beliau, Bint al-Syathi’ banyak memberikan penawaran-penawaran baru dalam memahami Al-Quran. Hanya saja karya tersebut memang belum maksimal. Sebab, baru mengkaji surah-surah pendek dalam juz 30.
Selain Bint al-Syathi’, Al-Khuli juga berhasil melahirkan cendekiawan Muslim kontemporer yang ‘cukup kontroversial’ di Mesir, seperti Nashr Hamid Abu Zayd dan Muhammad Khalafullah. Karenanya, gagasan Al-Khuli penting untuk diteruskan, dikembangkan dan dikritisi. Alhasil, wacana Al-Quran tak akan lekang oleh waktu. Wallahu A’lam bish Showwab.
Editor: Nur Hayati Aida