Saat dalam pengasuhan Halimatus Sa’diyah, Nabi Muhammad pernah hilang. Anak-anak Halimah, yang juga teman sepermainan Nabi Muhammad, mencari-mencari dengan sangat gusar. Mereka mencari Nabi di segala penjuru arah, hingga akhirnya mereka tak sanggup lagi mencari. Datang dan berceritalah anak-anak Halimah itu pada ibunya, jika Muhammad tak ada, Muhammad hilang. Mendapati kenyataan bahwa Nabi Muhammad hilang, dengan panik Halimah langsung mencari, ia mengelilingi setiap sudut kampung seraya menyebut, “Muhammad, Muhammad, Muhammad”, dan pada setiap orang yang ia temui, ia bertanya, “Apakah melihat Muhammad?”. Tapi nihil. Muhammad kecil tak ditemukan. Dengan rasa penuh putus asa Halimah berkata pada dirinya sendiri, “Harus berkata apakah aku pada Sayyidatina Aminah jika anaknya, Muhammad, hilang?”. Belum juga selesai Halimah berkata, muncul suara yang entah dari mana asalnya, “Tidak, tidak sekali-kali Muhammad akan hilang di dunia, dunia-lah yang akan hilang dalam Muhammad.”
“Kisah di atas dikutip oleh Muhammad Iqbal dari Jalaluddin Rumi saat menjelaskan manusia sempurna (insan kamil), yaitu orang yang membentuk dunia, bukan dibentuk oleh dunia”, papar Haidar Bagir saat menjelaskan bagaimana Iqbal membuat konsepsi manusia sempurna. Haidar lalu melanjutkan bahwa menjadi manusia sempurna, bagi Iqbal, artinya adalah menjalani hidup autentik, yaitu saat kita sadar diri dan melakukan apa yang kita lakukan dalam hidup sebagai pribadi yang autentik, bukan karena didikte oleh lingkungan. Atau dengan kata lain, manusia sempurna adalah orang yang membentuk dunia, bukan yang dibentuk dunia. Karena setiap manusia diciptakan dengan keadaan unik dan spesial. Manusia sempurna tidak boleh tenggelam dan hilang dalam dunia. Ia tidak boleh hanya menjadi buih yang tak berprinsip dan sekadar mengikuti gelombang.
Haidar kemudian memberikan catatan mengenai konsep manusia sempurna milik Iqbal. Konsep manusia sempurna milik Iqbal berbeda dengan konsep manusia sempurna milik Nietzsche; Nietzsche harus membunuh Tuhan saat membentuk konsep manusia sempurna. Meskipun Tuhan yang dibunuh oleh Nietzsche adalah Tuhan yang dipahami oleh masyarakat di sekitarnya sebagai Tuhan yang justru menjadikan mereka masyarakat budak atau memiliki mentalitas binatang ternak—yang mau dibawa ke mana-mana. Manusia sempurna, bagi Iqbal, bukanlah manusia yang membunuh Tuhan sebagaimana Nietzsche menggambarkan ubermensch. Bagi Iqbal, manusia yang bisa menggenggam dunia adalah manusia yang dalam dirinya bersemayam Tuhan. Tuhan menjadi hasratnya untuk terus melakukan ijtihad dengan autentik. Karena Tuhan adalah hasrat purba manusia itu sendiri. Tuhan menghendaki manusia untuk berkehendak. Kodrat manusia adalah kehendak untuk terus melangkah dan berjalan atau dalam ungkapan Iqbal adalah ijtihad.
Boleh jadi kritik Sayyed Hosen Nasr pada Iqbal yang mengagumi Nietzsche hanyalah bentuk kekhawatiran belaka. Toh, Iqbal mampu meramu dengan baik konsep manusia sempurna miliknya. Manusia yang yang tidak hilang dalam dunia, tetapi mampu menggenggam dunia di tangannya bersama Tuhan. Iqbal salah satu di antara pemikir brilian Islam yang mampu mengawinkan gagasan Islam dan Barat. Tidak berhenti hanya mengawinkan, Iqbal bahkan mampu melahirkan gagasan yang sifatnya tidak hanya akademik, tetapi juga dapat mentransformasi masyarakat ke arah yang lebih baik.
Alam Semesta Selalu Baru
Dunia atau alam semesta bagi Iqbal bukanlah sebentuk block universe, di mana penciptanya menciptakan atau membuatnya dalam tempo sekali jadi lalu ditinggalkan begitu saja, bagi Iqbal alam semesta ini setiap saat selalu bertaburan dengan hal-hal baru. Haidar berpendapat bahwa gagasan Iqbal tentang alam semesta itu terpengaruh oleh Ibn Arabi, “Di sana pengaruh Ibn Arabi sangat kuat, Ibn Arabi punya konsep la tikrar fi tajalli—tidak ada pengulangan dalam tajalli. Hal itu dibahas di halaman awal bukunya Iqbal (Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam).”
Oleh karena alam semesta ini tak diciptakan dalam proses sekali jadi lalu ditinggalkan oleh penciptanya. Maka prinsip gerakan dalam Islam adalah ijtihad, yang selalu melakukan eksperimen dan usaha-usaha. Menjelaskan soal ijtihad yang dimaksudkan oleh Iqbal itu, Haidar mengatakan; ijtihad karena Tuhan tidak pernah berhenti membubuhkan hal-hal baru dalam alam semesta. Kalau mau menjadi manusia yang lebih baik dan masyarakat yang lebih baik, kita harus merespons, karena Tuhan memberikan sesuatu yang baru supaya kita terus merespons. Jika kita terus merespons, maka kita akan naik tingkat dan berkembang. Pemikiran Iqbal ini menekankan pada umat Islam pentingnya berijtihad.
Manusia harus terus bergerak, berusaha, dan merespons segala yang dibubuhkan Tuhan secara menerus di alam semesta ini. Tuhan tidak pernah berhenti untuk menaburkan sesuatu yang baru di alam semesta ini. Dengan terus berusaha dan melakukan kreatifitas, manusia sedang merespons bubuhan Tuhan. Ijtihad adalah usaha di mana manusia seolah sedang berada di area dua anak tangga, ruang hampa yang mesti dilewati untuk bisa menapaki tangga selanjutnya. Tanpa melakukan ijtihad, eksperimen dan usaha, manusia tidak pernah sampai pada sesuatu yang luhur dan mulia.
Tulisan ini disusun dari naskah wawancara bersama Dr. Haidar Bagir
Penyunting: Achmad Fathurrohman