Imam an-Nasafi, Ulama Besar yang Tak Banyak Dikenal

oleh Achmad Fathurrohman
6.2K views

Oleh: Achmad Fathurrohman

Ilmu kalam pada abad kedua hijriah memiliki pengaruh yang sangat kuat, mungkin seperti sains saat ini. Ilmu ini dikenalkan oleh Muktazilah yang dikomandoi oleh Washil ibn ʿAtha (w. 131H/748M). Dari dinamika Islam awal ini, akhirnya melahirkan beberapa mazhab teologi yang eksis hingga saat ini, yaitu Sunni, Syiah, Muktazilah, Khawarij, dan Jabariyah. Pada abad kedua hijriah inilah mulai dilakukan kodifikasi kitab-kitab dalam bidang akidah, beberapa masih bisa kita akses hingga saat ini, seperti kitab Fiqh al-Akbar karya  Imam  Abu Hanifah (80–148H)  dan  al-ʿAqīdah  al-Thahawiyyah karya Imam Thahawi (239-321H). Adapula ‘Aqidah Nasafiyāh karya Imam an-Nasafi, buku ini dimaksudkan untuk mengelaborasi dan menjawab golongan yang menentang ilmu kalam, seperti para filosof dan ateis.

Mazhab fikih Hanafi dengan penyebaran utamanya di India, Pakistan, Afganistan, dan Turki, memiliki kedekatan dengan mazhab teologi Maturidi, yang dinisbatkan kepada Muhammad Abu Mansur al-Maturidi (853–944 M). Sedangkan mazhab fikih Syafi’i dan Maliki dekat dengan mazhab teologi Asy’ari. Indonesia yang mayoritas bermazhab fikih Syafi’i, atau Muslim di Maroko dan Mauritania yang bermazhab Maliki wajar jika tidak mengenal ulama dari mazhab Hanafi. Untuk itu, sebagai tamasya ilmiah, penulis ingin mengulas sedikit biografi singkat ulama besar dari mazhab Maturidi, yaitu Imam an-Nasafi.

Imam an-Nasafi, nama lengkapnya Umar ibn Muhammad ibn Ismail ibn Muhammad ibn Ali ibn Luqman an-Nasafī (461-537 H / 1068-1142 M), dikenal dengan Nazmuddīn an-Nasafī. Seorang ulama abad pertengahan yang berasal dari daerah Nasaf, Turkistan, sekarang masuk wilayah Samarkand, Uzbekistan. Beliau seorang mufasir, fakih, muhaddits, sejarawan, sastrawan, dan teolog. Imam Jalaluddin as-Suyuti (1445-1505 M) menyebut Imam an-Nasafī seorang imam yang unggul dalam berbagai bidang, yang menelurkan banyak karya dari berbagai cabang ilmu. Karyanya mencapai seratus kitab, dalam bidang tafsir dan hadis adalah: Taysīr fi al-Tafsīr al-Muwaqīt, wa al-Is’ār bi al-Mukhtār min al-Asy’ār, Manzumah al-Khilafiyāt, Tarīkh Bukhorī, Kitab An- Najāh fi Syarh Kitab Akhbār As-Sihāh—Syarah Shahīh Bukhori. Dalam bidang fikih: Nazm Az-Zami As-Shogīr Fi Fiqh al-Hanafiyah. Dalam bidang teologi ada‘Aqidah Nasafiyāh,kitab inilah yang menjadi salah satu rujukan utama mazhab Hanafi dalam bidang akidah.

Pemikiran Imam an-Nasafi sangat berpengaruh dalam peradaban Islam, karena dalam ilmu kalam banyak pembahasan, perdebatan, dan pertentangan. Terminologi ilmu kalam sendiri merupakan istilah baru dalam agama Islam. Sebelumnya tidak pernah digunakan pada masa Nabi Muhammad Saw. sampai sahabat. Pada masa itu belum dibutuhkan kodifikasi ilmu pengetahuan, referensi langsung kepada al-Qur’an dan hadis. Karena mayoritas sahabat memiliki pengetahuan dan Shuhbah secara langsung dengan Nabi Muhammad Saw. Segala persoalan bisa ditanyakan langsung kepada Sang Nabi. Perbedaan tidak menjadi masalah saat itu, karena jumlah sahabat pada masa Nabi hanya sekitar 135000 orang yang memiliki loyalitas dan pengetahuan yang tinggi. Ketika itu tidak  dibutuhkan ilmu akidah, ushul fikih, tafsir, hadis, dan nahwu.

Akidah Islam berbeda dengan agama apa pun di dunia, bahkan dengan serumpun agama ibrahimi. Mazhab teologi Maturidi, yang menjadi konsensus ulama salafus shalih—sampai abad ketiga hijriah—sebagai standar Ahlussunnah wal Jamaah, memiliki kedekatan dengan mazhab Asy’ari. Tidak ada perbedaan signifikan dalam masalah qath’iyyah dalam dua mazhab ini.

Mari kita menengok sedikit pemikiran Imam an-Nasafi dalam ilmu kalam. Jika kita membaca kitab ‘Aqidah Nasafiyāh, Imam an-Nasafi memulainya dengan konsep kebenaran dan ilmu pengetahuan. Sekaligus menegasikan pendapat filosof tentang kebenaran relatif, relativitas, dan postmodernisme. Menurut Imam an-Nasafi, pengetahuan sejati berasal dari tiga sumber utama; pertama adalah pancaindra manusia. Kedua berita autentik baik mutawatir sebagai sumber ilmu dharūrī (dapat mengetahui tanpa proses berpikir), maupun berita autentik dari Rasul yang diberi mukjizat, yang bersifat istidlālī (berdasarkan pencarian dalil). Sumber pengetahuan ketiga adalah akal; baik dharūrī maupun iktisābī. Ilham tidak termasuk sumber pengetahuan, walau dimungkinkan didapatkan oleh sebagian orang, tetapi ilham tidak dapat dijadikan standar.

Imam an-Nasafi adalah putra zamannya, pendapatnya dijadikan rujukan utama dalam mazhab fikih Hanafi dan mazhab teologi Maturidi. Mengenal ulama pendahulu sejatinya seperti meminjam kacamata kearifan mereka untuk melihat masa kini. Karena kualitas diri kita ditentukan dengan seberapa luas kita mampu melihat, bukan seberapa sering terlihat. Mampu melihat alam, melihat masa lampau, dan masa depan. Untuk menjadi alim kita harus mengetahui luasnya alam.

Wallahu A’lam.

Achmad Fathurrohman

Achmad Fathurrohman

Pemimpin Redaksi Afkaruna.id

You may also like

Leave a Comment