Menyelami Samudera dan Menyiapkan Hati

oleh Nur Hayati Aida
54 views
Menyelami Samudera Dan Menyiapkan Hati

Ia terlahir dengan nama Muhammad, namun lebih dikenal dengan Mulla Sadra. “Sadra” sendiri adalah gelar yang diberikan oleh murid-murid dan para sahabatnya atas kejeniusan dan penguasaannya atas ilmu pengetahuan, yaitu Sadru ad-Din. Ia terlahir dari keluarga dan lingkungan yang memungkinkannya mendapatkan pendidikan dan pengajaran dari guru-guru terbaik pada masanya. Ayahnya adalah seorang gubernur, dan itu memudahkannya untuk bertemu dengan guru-guru terbaik.

Setidaknya ada lima puluh karya yang ditulisnya. Lima di antaranya berbicara tentang tafsir, sedikit tentang hadis, dan selebihnya yang banyak membahas filsafat. Konon, teman-teman Mulla Sadra cemburu atas kepintarannya karena begitu cepat dan dahsyat ia menyerap ilmu. Bahkan, gurunya, Mir Damad, dikatakan juga merasa tersaingi atas karunia yang dimiliki oleh Mulla Sadra.

Untuk melihat luasnya samudra ilmu yang dimiliki oleh Mulla Sadra, bolehlah kita tengok tafsirnya tentang Ayat Kursi. Tidak kurang dari tiga ratus halaman hasil tafsir Mulla Sadra untuk tiga ayat tersebut. Tiga ayat ditafsirkan dalam penafsiran yang tebalnya mencapai tiga ratus halaman. Maka tak heran, M. Rustom, peneliti Sadra, mengatakan bahwa tafsir Mulla Sadra yang banyak halamannya itu sepenuhnya berisi tafsir. Ini agak berbeda dengan Mafatihul Ghaib yang ditulis oleh Fakhr al-Din al-Razi, yang disebut oleh Walid Saleh, intelektual Islam, lebih bersifat ensiklopedis—semua bahasan ada di dalamnya. Sementara, tafsir yang ditulis oleh Mulla Sadra benar-benar berisi tafsir.

Mulla Sadra menulis tentang tafsir dan filsafat setelah ia berkontemplasi atau beruzlah selama belasan tahun, saat ia merasa sudah “futuh” (terbuka) dan tersingkap dari tabir. Tafsir dan filsafat yang ditulisnya dilakukan hampir bersamaan. Jika diandaikan pada masa sekarang, barangkali dalam satu komputer terbuka beberapa file. Jika lelah atau bosan dengan satu kajian, ia akan berpindah pada file lainnya. Oleh karena itu, tampak sekali dalam tafsir-tafsir yang ditulisnya kental dengan aroma filsafat dan tasawuf.

Sadra bukan hanya seorang filsuf atau pengkaji tasawuf nadhari (teoritis), tetapi juga seorang salik (pengembara spiritual). Ia tekun melakukan ritual dan riyadlah (latihan spiritual) yang tidak putus. Dalam perjalanan haji ketujuhnya, ia meninggal dunia. Mulla Sadra menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki dan tidak mengendarai kuda—sebuah pengorbanan khas seorang salik dalam suluk yang dijalaninya untuk bertemu dengan Sang Maha Cinta.

Selama ini, Mulla Sadra lebih dikenal sebagai filsuf, dan hanya sedikit yang tahu bahwa ia juga seorang mufassir (penafsir). Lima dari lima puluh karyanya membahas tafsir. Mulla Sadra percaya bahwa Al-Qur’an memiliki makna lahir dan batin, sebagaimana riwayat yang berbunyi:
لكل أية ظهر وبطن ولكل أية حد ولكل حد مطلع
(Setiap ayat memiliki aspek lahir dan batin, setiap ayat memiliki batas, dan setiap batas memiliki puncaknya).

Oleh karena itu, seperti dalam konsep wujud yang digagasnya, Mulla Sadra membagi makna Al-Qur’an menjadi tiga bagian: makna eksternal, imajinal, dan spiritual. Setiap makna hanya bisa dipahami sesuai dengan kualitas wujud seseorang. Makna spiritual Al-Qur’an akan sulit dijangkau oleh seseorang yang kualitas wujudnya masih pada tahap eksternal. Al-Qur’an yang ada pada kita saat ini adalah Al-Qur’an pada level eksternal yang “dijemput” oleh Nabi Muhammad dari level spiritual.

Yang menarik dari tafsir Mulla Sadra adalah bahwa ia memulai penafsirannya dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan Tuhan. Hal ini bukan tanpa alasan, karena menurutnya tujuan utama Al-Qur’an diturunkan adalah untuk mengenal Tuhan. Oleh karena itu, ia memulai tafsirnya dengan Ayat Kursi, lalu Ayat Nur, Surat Thariq, dan ayat-ayat lain yang berhubungan dengan Tuhan. Ayat Kursi oleh kalangan mufassir disebut sebagai سيد الآيات (bendorone ayat – Jawa). Dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang pertama kali harus diselesaikan adalah pemahaman tentang Tuhan, karena itu merupakan tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an.

Corak tafsir Mulla Sadra sangat dekat dengan tafsir Ibn Arabi. Keduanya mencoba memaknai ayat dengan mengembalikan kata pada realitas maknanya, pada akar katanya, pada sumber asalnya. Ibn Arabi dan Mulla Sadra dikenal sebagai ulama yang “lentur” memainkan ambiguitas bahasa. Mereka sering kali mengecoh pembaca yang tidak jeli. Ibn Arabi sengaja memilih diksi yang jarang digunakan atau agak aneh dalam tulisannya, karena ia ingin menempatkan pembaca sesuai dengan kualitas mereka masing-masing. Pendekatan yang digunakan Mulla Sadra dalam tafsirnya pun mirip dengan Ibn Arabi, yaitu tafsir sufi filosofis.

Marilah kita lihat bagaimana Mulla Sadra menafsirkan sebuah ayat:
الرحمن على العرش استوى

Lafal عرش yang oleh sebagian mufassir diartikan sebagai “singgasana” atau “kekuasaan”, diartikan berbeda oleh Mulla Sadra. Ia mengartikan عرش sebagai “hati”, bukan singgasana atau kekuasaan. Untuk menjelaskan makna عرش yang diartikan sebagai hati, ia mengutip sebuah hadis:
يا عبدي قلبك بستاني وجنتي بستانك فلما لم تبخل علي بستانك بل انزلت معرفتي فيه فكيف ابخل بستاني عليك او كيف أمنعك منه
(Wahai hamba-Ku, hatimu adalah taman-Ku dan surga-Ku adalah tamanmu. Maka selama engkau tidak menghalangi-Ku dari tamanmu, bahkan menempatkan ma’rifat-Ku di dalamnya, bagaimana mungkin Aku akan mencegahmu dari taman-Ku?).

Hati adalah tempat bersemayam Tuhan, di mana seharusnya tidak boleh ada apa pun kecuali Tuhan. Jika seseorang tidak berkehendak untuk menolak atau mengisi hatinya dengan selain Tuhan, maka Tuhan selalu dekat dan siap untuk didekati, karena pada hati-lah Tuhan bersemayam.

Pernyataan selanjutnya adalah: Apakah dirimu siap dan rela jika hatimu menjadi tempat bersemayam bagi Tuhan?


Post scriptum: Tulisan di atas adalah hasil ngangsu kaweruh dari Hanik Rosyida dalam kajian di KMF Jakarta dengan tema “Metode Takwil Mulla Sadra”.

Nur Hayati Aida

Nur Hayati Aida

Santri yang tak kunjung khatam membaca al-Quran

You may also like

Leave a Comment