Diksi mulih mengandaikan adanya tempat asal yang dulunya pernah dihuni, lalu ditinggal pergi. Objek mulih bisa berupa benda empirik: rumah, seseorang, atau laku perbuatan; dan non-empirik: misal Tuhan.
Terkhusus konsep yang kedua ini, banyak terjadi perdebatan. Sebagian besar umat manusia, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim yang memercayai adanya konsep Tuhan, berpendapat bahwa objek mulih (kalau bisa dikatakan objek) adalah Tuhan, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun atau sangkan paraning dumadi.
Dua kalimat di atas sepakat bahwa Tuhan adalah asal dan tujuan dari segala sesuatu. Yang menjadi perbedaan adalah, sejauh mana ke-mulih-an (dan sekaligus ke-sangkan-an) pada Tuhan? Dalam redaksi lain, dalam posisi yang bagaimanakah seseorang kembali (dan berasal) dari Tuhan?
Sebagian meyakini bahwa manusia hanya bisa bersanding dengan Yang Maha Agung (‘inda Allah). Allah adalah Dzat, dan manusia adalah dzat yang berbeda. Pemaknaan irji’ii ilaa rabbiki (mulih-lah pada Tuhanmu) dimaknai sebagaimana perintah “pulang pada orang tuamu”. Dua unsur yang terkandung dalam kalimat perintah tersebut: mutakallim dan mukhatab, adalah entitas yang berbeda.
Berbeda dengan pemahaman seperti itu, saya sendiri lebih condong pada pemaknaan lain. Yaitu wahdatul wujud: penyatuan antara Khalik dan makhluk. Ini didasarkan pada tafsir “Dan aku tiupkan ke dalamnya Ruh-Ku” (Al-Hijr: 29, Shad: 72).
Ruh, yang menjadi unsur pembentuk manusia, adalah berasal dari Allah, dan akan kembali pada Allah. Pemaknaan ini berbeda dengan pendapat ruh adalah ciptaan Allah, yang kemudian memunculkan konsekuensi berupa pemisahan antara Khalik dan makhluk. Dan memang, dua pendapat tadi juga berimplikasi serius dalam tataran syariat.
Jika seseorang meyakini bahwa ia adalah makhluk yang berpotensi untuk kembali menyatu dengan Khalik, maka ibadah yang pada awalnya di-taklif-kan kepadanya, akan luntur begitu saja. Sebab, ia tak lagi hanya ingat pada-Nya (Aqim as-shalah li dzikri), namun ia melampaui itu. Ia adalah Dia.
Sedangkan bagi makhluk yang berada dalam makna kedua, ia akan selalu berjarak dengan-Nya. Ia akan selalu terhijab dan menghijab diri dari-Nya. Mungkin saja ibadahnya sampai, namun ia tidak. Baginya, Tuhan adalah “Engkau” (Laa ilaaha illaa Anta), atau bahkan “Dia” (Laa ilaaha illaa Huwa), bukan “Saya” (Laa ilaaha illaa Ana).
Keabadian ruh, yang juga menjadi sifat Allah, telah jelas tertuang dalam firman-Nya. Dikisahkan, apabila selama hidup di dunia, seorang hamba berbuat kebajikan, dan ia mendapat ridla-Nya, maka ia akan mendiami surga selamanya. Sebaliknya pula, bagi para pendosa yang tak mendapat ampunan-Nya, maka akan menempati neraka, dan ia kekal di dalamnya.
Memang benar, bahwa penyifatan yang ditujukan kepada makhluk dan Khalik berbeda, meskipun artinya sama, yaitu kekal. Allah, dalam ‘aqa’id seket (50 akidah dalam kitab ‘Aqidatul Awam), bersifat baqa’ yang dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah bermakna ad-dawam (tetap). Adapun ruh manusia, meskipun mempunyai potensi ilahi, ia hanya bersifat khulud.
Dua kata itu, meskipun secara umum memiliki makna “keabadian” dan “kekekalan”, sejatinya berbeda. Sifat baqa’ Allah tidak mengenal permulaan waktu. Ia telah ada bahkan sejak (konsep) waktu belum ada. Sedangkan sifat khulud yang melekat pada manusia, memiliki titik pijak permulaan. Apakah ia dimulai sejak Allah meniupkan ruh-Nya pada Adam, atau ketika Dia mengambil sumpah Anak Adam, wallahu a’lam.
Kendati memiliki makna yang berbeda, akan tetapi antara makhluk dan Khalik terdapat satu ikatan abadi yang akan langgeng entah sampai kapan. Ikatan itu berupa ruh yang ditiupkan dari-Nya kepada Anak Adam. Ikatan itulah yang nantinya akan memanggil kita untuk mulih pada-Nya secara suka cita.
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ، ٱرۡجِعِيٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةٗ مَّرۡضِيَّةٗ