Sesat Pikir Menuju Nafsul Mutmainnah: Perjalanan Spiritual Mencapai Manusia Bijaksana

oleh Maheng
200 views

Di antara karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah adanya akal budi dan hati nurani. Karena itu, memungkinkan manusia memiliki dimensi fisik dan dimensi intelektual serta spiritual.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan orang-orang yang ramah dan menyenangkan, penuh dengan wibawa. Di sisi lain, kita sering menemukan orang-orang yang begitu menyebalkan, terutama di media sosial. Mengapa demikian?

Saya meminta bantuan Rika Iffati Farihah, penulis buku Menyiasati Sesat Pikir, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Saya kutipkan beberapa pendapat Rika dalam acara Peluncuran & Diskusi Buku Menyiasati Sesat Pikir yang diselenggarakan oleh Aran Publishing, bekerja sama dengan Gusdurian Jogja dan Fatayat NU, di Griya Gusdurian, Jalan Sorowajan, RT.08/RW.RT 10, Jaranan, Banguntapan, pada hari Jumat, 28 Juli 2023 lalu.

Rika menceritakan bagaimana ia menulis buku ini. Awalnya, berangkat dari rasa penasaran dengan banyaknya orang yang ia lihat, terutama di media sosial. Ada orang-orang yang menurut kita tindakannya tidak masuk akal, tidak rasional, sesat pikir, dan sebagainya.

“Terus jadi kepikiran, aku mau belajar, ah, kenapa orang-orang ini, kenapa sih mereka kok bisa seperti itu. Bagaimana sih manusia yang berbeda-beda itu berpikir?” kata Rika.

Perjalanan Rika dalam menulis buku ini membawanya menemukan banyak pendapat ahli di berbagai literatur, di Amerika Serikat, misalnya, pertarungan politik antar kubu yang sebenarnya sama sengitnya dengan di Indonesia, sama seperti era “cebong” dan “kampret” menjelang Pilpres 2019 lalu.

Mula-mula, Rika membagikannya di lingkaran (circle) sendiri, tapi lama-lama, sepertinya menarik untuk diketahui lebih banyak orang, sehingga lahirlah buku ini.

Lantas, di manakah letak akal budi atau pikiran, di manakah letak hati nurani?

Otak adalah yang mengatur segala tindak-tanduk diri kita. Bahkan apa yang sering kita sebut sebagai perasaan atau emosi, dan bahkan hati nurani. Apa yang disebut emosi, baik emosi negatif (marah, sedih) maupun emosi positif (senang, bahagia), pusat kontrolnya ada di otak.

Rika ada benarnya, kita biasanya suka membedakan antara emosi dan logika, padahal semua pengambilan keputusan ada emosinya. Kita akan selalu melibatkan perasaan dalam setiap keputusan, setiap proses mental.

Karena hal ini, manusia memiliki kondisi sosialnya masing-masing, dan terkadang mereka mungkin tidak dapat memproses sesuatu sebagaimana mestinya, terutama di era media sosial yang penuh dengan disrupsi dan framing.

Informasi yang sama, jika disampaikan dengan cara yang berbeda, dapat diterima dengan cara yang berbeda pula.

“Itulah alasan mengapa saya lebih toleran (ketika melihat orang bertindak dan berpikir tidak rasional),” tambah Rika.

Nur Rofiah, salah satu panelis dalam diskusi ini, juga memberikan pandangannya mengenai hubungan antara teori-teori psikologi yang serius dengan kehidupan sehari-hari yang diangkat dalam buku ini.

Buku ini memberikan kita cara pandang (world view) untuk melihat sebuah pola berpikir, pola untuk menanggapi isu-isu, yang tidak hanya berlaku untuk kejadian-kejadian ringan yang dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari, namun juga untuk proses serius seperti menafsirkan Al-Quran.

Penulis buku Nalar Kritis Muslimah ini mencontohkan bagaimana sistem berpikir (mindset) dalam kajian studi Islam tersandera karena melihat laki-laki sebagai makhluk ekonomi.

Nantinya, hal itu dapat menyesatkan cara berpikir, sehingga laki-laki hanya dianggap berharga jika memiliki uang. Ada uang abang disayang, tidak ada uang abang ditendang.

Di sisi lain, perempuan sering dianggap hanya sebagai objek pemuas hasrat seksual dan mesin reproduksi semata. Jika dia cantik, maka dia dianggap berharga. Nilai mereka dinilai berdasarkan penampilan fisik mereka, dengan daya tarik sebagai faktor penentu.

Makanya, perempuan rela merogoh kocek hingga jutaan rupiah hanya untuk merias diri agar terlihat “cantik.”

“Itu berabad-abad sampai hari ini, cara berfikir seperti itu masih kental sekali,” kata Nur.

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk fisik yang berakal budi, berhati nurani, sama saja baik laki-laki maupun perempuan. Akal budi inilah yang membedakan manusia dengan hewan.

Kekeliruan berpikir selanjutnya adalah memandang perempuan sebagai sumber fitnah. Tapi siapa yang menentukan apakah perempuan menimbulkan fitnah atau tidak? Siapa lagi kalau bukan laki-laki? Dari manakah persepsi ini berasal? Persepsi tersebut muncul dari potensi seksual mereka.

Karena itu, buku Menyiasati Sesat Pikir ini mengajak kita untuk mengkritisi cara berpikir kita, baik secara pribadi maupun kolektif sebagai umat Muslim.

“Saya menegaskan ya, Al-Quran itu dari Allah, enggak mungkin ada sesat pikir dalam Al-Quran, mahasuci Allah dari sesat berfikir atau mengajak kita untuk sesat berfikir,” tegas Nur.

“Tapi tafsir itu dari mana? Dari manusia. Dan manusia apakah mungkin sesat berfikir, ya mungkin sekali. Apalagi dalam isu perempuan,” lanjutnya.

Untuk memperkuat argumentasinya, Nur menyoroti dua teori yang dibahas dalam buku ini. Pertama adalah Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory/CDT) yang diperkenalkan oleh Leon Festinger.

Hal ini dapat dikaitkan dengan jebakan pemikiran yang sering terjadi dalam penafsiran Al-Quran yang bias gender. Ketika ada yang menafsirkan Al-Quran dari perspektif keadilan gender (keadilan bagi laki-laki dan perempuan), laki-laki mungkin mengalami disonansi kognitif dan takut bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran Allah.

Padahal, yang digugat adalah penafsiran yang selama ini lebih banyak disuarakan oleh laki-laki, yang membuat perempuan rentan terhadap stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena menjadi perempuan.

Teori kedua adalah teori Bias Blind Spot yang diperkenalkan oleh Emily Pronin. Teori ini menyatakan bahwa ketika kita mengkritik orang lain, kita juga harus mengkritik diri kita sendiri agar tidak terjerumus ke dalam kekeliruan logika.

Hal ini dilakukan dengan cara mengenali cara berpikir kita, mengenali jebakan-jebakan pemikiran yang keliru, dan kemudian mengembangkannya menjadi sesuatu yang produktif untuk maslahah (المصلحة).

Setiap orang diberi akal budi, sekali lagi, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, tidak semua orang menggunakan akal budi dengan baik sehingga tindakannya bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Selain akal budi, sebagai manusia, kita dikaruniai hati nurani. Hati nurani ini selalu berbicara tentang maslahah semua orang. Tidak hanya berbicara soal halal, tapi juga baik. Apakah sesuatu itu halal? Harus halal. Apakah sesuatu yang halal itu sudah pasti baik? Belum tentu.

Nanti dalam konteks perempuan lebih-lebih lagi. Ada banyak hal yang baik buat laki-laki tapi buat perempuan tidak. Halalan tayyiban itu berkaitan dengan nurani, berkaitan dengan simpati, berkaitan dengan roso (kepantasan), makrufan (urf) sesuatu yang pantas secara sosial, ada hal baik tapi tidak pantas secara sosial, banyak sekali.

Misalnya, kalau ada musala yang sempit di sebuah kafe, lalu kamu salat dan memperpanjang zikir itu tidak makruf, karena buat orang lain tidak bisa salat yang sifatnya wajib. Jadi halalan tayyiban wa makrufan  mengantarkan kita untuk menjadi manusia paripurna (insan kamil).

Begitu sadar kita harus menggunakan akal budi dan hati nurani (halalan tayyiban wa makrufan), kita lahir sebagai makhluk intelektual.

Jika sudah begitu, kita akan lahir sebagai makhluk spiritual menjadi khalifah fil ardh (فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً) yang tugasnya menunjukkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi.

Pada tahap tertinggi, inilah yang disebut dengan kebijaksanaan atau hikmah (حكمة), manusia bijaksana dapat hidup melampaui umur kita.

Ambil contoh Gus Dur; meski sudah wafat, kotak amalnya itu ratusan juta setiap bulan. Dimana kebanyakan manusia yang masih hidup belum tentu dapat melakukannya.

Ketika kita mencapai tahap itu, kita akan kembali kepada Allah sebagai jiwa yang tenang, an nafsul mutmainnah (النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُۙ). Semoga buku ini dapat menemani kita dalam perjalanan meraih semua itu [mhg].

Maheng

Maheng

Sedang belajar menulis dan memiliki ketertarikan lebih pada jurnalisme dan sastra. Filsafat juga mempengaruhi cara pandangnya.

You may also like

Leave a Comment