Pengetahuan dan Ibadah, Mana yang Lebih Penting?

oleh Achmad Fathurrohman
961 views

Oleh: Nurul Khair

ٱللَّهُ وَلِيُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِۖ

Artinya: “Allah Pelindung otang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya….” QS. Al-Baqarah[2]: 257

Dalam Dastān Rastān, Murtadha Muthahhari bercerita kisah tentang Nabi Muhammad dan dua kelompok Muslim di Masjid Madinah. Suatu ketika Nabi Muhammad Saw. memasuki Masjid Madinah dan melihat dua kelompok Muslim. Kelompok pertama sedang khusyuk beribadah dan berzikir kepada Allah Swt. Sedangkan kelompok kedua, yang merupakan perkumpulan pelajar, sedang asyik menuntut ilmu. Sebagaimana diketahui bahwa pada masa Rasulullah Saw, masjid tidak hanya dijadikan sebagai tempat shalat, tetapi juga sebagai tempat belajar. Melihat perbedaan aktivitas tersebut, Rasulullah Saw. mendekati dan menyatukan kedua kelompok tersebut seraya berkata:

“Sungguh, aku menyukai dua aktivitas yang berbeda ini, sebab tujuan dari tindakan ini hanya diniatkan kepada Allah Swt. Tapi, aku sangat senang melihat kelompok yang melakukan belajar dan mengajar. Aku diutus untuk memberikan pengetahuan kepada umat manusia, sehingga mereka keluar dari gelapnya kejahilan menuju terangnya kebenaran di dunia dan akhirat. Maka libatkanlah dirimu untuk mencari ilmu dan duduklah kalian di antara mereka (para pencari ilmu).” (Dastān Rastān, hal. 27-28).” 

Berdasarkan cerita di atas, dapat diketahui bahwa Rasulullah Saw. diutus oleh Allah Swt. untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada umat manusia sebagai proses membimbing manusia yang semula berada pada kejahilan atau kebodohan menuju kebenaran untuk  menghindari yang salah dalam perjalanan hidup di dunia.

Sampai di sini, kita mengetahui bahwa pengetahuan atau ilmu merupakan salah satu indikasi diutusnya Rasulullah Saw di tengah manusia. Di satu sisi, kita juga memahami bahwa pengetahuan memiliki kedudukan yang tinggi, sehingga Allah Swt. harus mengutus seorang Nabi atau Rasul yang memiliki pengetahuan-Nya untuk disampaikan dan diajarkan kepada manusia.

Dalam al-Qur’an, Allah Swt. menjelaskan kedudukan ilmu (علم) dalam beberapa surah, seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]:247;

قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰهُ عَلَيۡكُمۡ وَزَادَهُۥ بَسۡطَةٗ فِي ٱلۡعِلۡمِ وَٱلۡجِسۡمِۖ

Artinya: “…Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa…”

Dari ayat di atas, kita dapat mengetahui bahwa Allah Swt. menisbahkan ilmu kepada orang-orang yang luar biasa sebagai anugerah, seperti para pemimpin untuk membimbing individu atau masyarakat menuju sebuah kebenaran. Dalam ayat lain, juga dijelaskan kedudukan dan keistimewaan ilmu, seperti QS. An-Naml [27]: 15;

وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا دَاوُۥدَ وَسُلَيۡمَٰنَ عِلۡمٗاۖ وَقَالَا ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي فَضَّلَنَا عَلَىٰ كَثِيرٖ مِّنۡ عِبَادِهِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ 

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah memberikan ilmu kepada Daud dan Sulaiman, dan keduanya mengucapkan: Segala puji bagi Allah yang telah melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba yang beriman.”

Pada QS. An-Naml [27]: 15, kita tidak sekadar mengetahui bahwa ilmu pengetahuan dinisbahkan kepada para pemimpin dan nabi, melainkan kedudukan ilmu pada surah ini menjelaskan ilmu pengetahuan juga mengangkat derajat individu, yang memiliki ilmu pengetahuan, dari orang-orang yang sekadar beribadah semata. Dari sini, kita dapat memahami bersama kedudukan ilmu dalam al-Qur’an.

Jika kita mengaitkan antara penjelasan al-Qur’an  dan cerita Rasulullah Saw. dengan dua kelompok Muslim mengenai ilmu, sebagaimana dimuat oleh Murtadha Mutahhari dalam “Dastān Rastān”, maka kita akan mengetahui bahwa ilmu pengetahuan memiliki kedudukan yang istimewa yang dinisbahkan kepada para Nabi dan diajarkan kepada umat manusia untuk mengangkat derajat mereka di dunia dan akhirat.       

Dalam filsafat, ilmu pengetahuan dikaji melalui pendekatan epistemologi, sebuah cabang filsafat yang membahas ilmu sebagai objek kajiannya. Epistemologi sebagai ruang kajian ilmu menekankan kesadaran sebagai sebuah prinsip berpengetahuan dalam diri manusia.

Kesadaran sebagai prinsip berpengetahuan ialah seseorang tidak meragukan suatu keberadaan dalam pengetahuannya. Mulla Sadra dalam al-Hikmah al-Mutāliyah fī al- Asfār al-Aqliyyah al-Arba’ah menjelaskan kesadaran dalam ilmu pengetahuan adalah mengetahui secara jelas suatu di luar dirinya. Jika kita berusaha menarik pandangan filosofis Mulla Sadra pada kisah di atas, maka kita akan sampai pada pengetahuan yang dasarnya mengarahkan manusia untuk menyadari secara jelas keberadaan Allah Swt.

Sadar terhadap keberadaan Allah Swt. mengkonfirmasi secara jelas, tanpa ragu terhadap-Nya, bukan sekadar menyembah tanpa adanya sebuah kesadaran dan pengetahuan dalam diri kita. Dengan demikian, jelaslah bahwa pengetahuan merupakan pondasi utama terhadap kesadaran kita kepada Allah Swt. sebelum kita melakukan aktivitas beribadah kepada-Nya.

Karena mustahil seseorang yang melakukan aktivitas ibadah tanpa dilandasi oleh sebuah pengetahuan terhadap siapa yang disembah. Di sinilah, maksud keutamaan ilmu pengetahuan dalam cerita Rasulullah Saw. dan dua kelompok Muslim yang berusaha menyadarkan manusia di setiap aktivitas ibadahnya.

Editor: Nur Hayati Aida

Achmad Fathurrohman

Achmad Fathurrohman

Pemimpin Redaksi Afkaruna.id

You may also like

Leave a Comment