Nama lengkapnya adalah Ali bin Muhammad bin Al-Abbas At-Tauhidi Al-Baghdadi, tetapi ia lebih dikenal dengan sebutan Abu Hayyan At-Tauhidi. Abu Hayyan At-Tauhidi adalah seorang pemikir, sastrawan, seorang cendekia yang dikenal pada zamannya sebagai seorang ahli nahwu, ahli fikih, filsuf, ahli kalam, ahli falak, ahli matematika, astronom, insinyur, dan politisi, yang hidup pada abad keempat Hijriyah. Abad keempat Hijriyah adalah masa-masa yang sulit dalam sejarah peradaban Islam. Perebutan kekuasaan antar-bangsawan Muslim terjadi di mana-mana, pertarungan politik semakin mengerucut dan terjadi secara terang-terangan. Pun, mazhab fikih dan teologi mulai mengkristal menjadi banyak faksi pada era ini.
Ada perbedaan pendapat tentang kelahiran Abu Hayyan At-Tauhidi. Satu pendapat menyebut bahwa ia lahir di Baghdad sekitar 310 atau 311 H/922 M, tetapi menurut Tarikh-i Sistan, ia lahir 923 M di sekitar Baghdad atau Fars. Masih dalam dalam catatan Tarikh-i Sistan, Abu Hayyan At-Tauhidi disebut meninggal 1023 M di Shiraz. Dan tak ada perbedaan mengenai tahun kematiannya.
Sebagian sejarawan meyakini bahwa Abu Hayyan At-Tauhidi adalah orang Persia yang berasal dari Sairozi atau Naisaburi. Sebagian lagi meyakini ia adalah orang Arab yang migrasi ke Baghdad.
Masa hidup Abu Hayyan At-Tauhidi lebih banyak diselimuti kesengsaraan dan kesulitan. Ia mengalami masa kecil yang sulit dengan menghabiskan masa kecilnya sebagai anak yatim dalam asuhan paman yang merawatnya dengan kurang baik. Ia lahir di keluarga miskin penjual kurma jenis tauhid. Oleh karena itu, ia menerima julukan At-Tauhidi. Namun, ada yang berpendapat bahwa sebutan At-Tauhidi merujuk kepada tauhid bukan pada jenis kurma. Sebab, ia adalah seorang ulama Muktazilah, suporter utama ahl adli wa tauhid. Pendapat ini diamini oleh Imam Jalaluddin As-Suyuti menukil dari gurunya, Ibn Hajar al-Asqalani. Menurut Imam az-Zahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala’, gelar At-Tauhidi dinisbatkan kepada tauhid, sebagaimana seorang sufi filsuf diberi julukan al-Wahdah al-Ittihadiyah.
Abu Hayyan At-Tauhidi tidak menikah, tidak punya murid kinasih, atau kekasih hati. Ia memilih menghabiskan hidupnya dalam kesendirian untuk bermunajat kepada Tuhan dan untuk ilmu pengetahuan.
Ia termasuk ulama yang sempat diacuhkan oleh sejarawan. Nama Abu Hayyan At-Tauhidi tak pernah ditemukan oleh sejarawan dalam berbagai ensiklopedia sampai muncullah buku Mu’jam al-Udabâ yang memuat biografi Abu Hayyan At-Tauhidi yang ditulis oleh Yaqut Al-Hamawi. Boleh jadi Yaqut Al-Hamawi-lah yang mempopulerkan nama Abu Hayyan At-Tauhidi.
Abu Hayyan At-Tauhidi belajar filsafat dan mantiq kepada Yahya ibn Adi (w. 364) dan Abu Sulaiman Al-Mantiqi (w. 391). Yahya ibn Adi adalah seorang Nasrani, konon adalah ahli mantiq terbaik di zamannya, ia yang menerjemahkan karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab dan men-syarahi pemikiran filsafat Al-Farabi. Pengaruh Yahya kepada Abu Hayyan At-Tauhidi bisa dilihat dalam kitab Al-Muqobasat di mana aroma mantiq begitu kuat.
Melihat proses pencarian ilmu ini, Abu Hayyan At-Tauhidi begitu humanis. Ia tidak melihat agama dan suku dari gurunya. Ia hanya berguru kepada guru-guru terbaik di bidangnya, meritokrasi diutamakan daripada mendahulukan persamaan primordial.
Abu Hayyan At-Tauhidi mempelajari fikih Syafi’i dan tafsir kepada Qadi Abi Hamid Al-Marudzi (w. 362 H). Belajar sastra kepada Qadi Abil Faraj An-Nahrawani (w. 390 H). Juga belajar kepada Ali bin Isa Az-zamani (w. 384 H), seorang ulama bahasa dan sastra juga begawan dalam ilmu kalam.
Abu Hayyan At-Tauhidi belajar tasawuf kepada Abi Muhammad Jafar Al-Khalidi seorang sufi zahid dan belajar kepada Abi Husein bin Sam’un (w. 387 H). Yaqut Al-Hamawi meyakini bahwa Abu Hayyan At-Tauhidi sebagai seorang syaikh sufi, filsuf sastrawi juga sastrawan falsafi.
Menurut Franz Rosenthal, dalam Jurnal Ars Islamica, Abu Hayyan At-Tauhidi memiliki tulisan tangan yang begitu memukau, ia seperti dianugeragi Tuhan bakat ini. Tak kurang dari tiga belas karya ditulis oleh Abu Hayyan At-Tauhidi, yaitu: 1) Risalah Al-Shidiq wa Al-Shadaqah; 2) Al-Imta’ wa al-Mu’anasah; 3) Al-Isyarat Al-Ilahiyat; 4) Tsalatsa Rasa’il (Al-Ulum, Al-Saqifah, ‘Ilm al-Kitabah); 5) Al-Basha’ir wa Al-Dzakha’ir; 6) Hikayah Abi al-Qasim Al-Baghdadi; 7) Al-Muqabasat; 8) Al-Hawamil wa Al-Syawamil; 9) Dzam Al-Wazirain; 10) Risalah Qadi Abi Sahl; 11) Risalah Al-Hayah; 12) Risalah Al-Saqifah; 13) Risalah fi ‘Ilm al-Kitabah.
Al-Imta’ wa al-Mu’anasah
Al-Imta’ wa al-Mu’anasah merupakan karya Abu Hayyan At-Tauhidi yang paling tebal, dan paling berpengaruh. Prof. Ahmad Amin dan Prof. Ahmad Zain menyunting karya Al-Imta’ wa al-Mu’anasah dengan begitu serius. Versi naskah yang diterbitkan oleh Maktabah Al-Ashriyah, Beirut, diyakini sebagai versi terbaik dari naskah Al-Imta’ wa al-Mu’anasah dengan kesalahan minimal, baik dari segi salah tulis, cetak, atau penyuntingan.
Kitab Al-Imta’ wa al-Mu’anasah berisi tentang diskusi antara Abu Hayyan At-Tauhidi dan seorang wazir pada dinasti Buwaihi, Abu Abdullah Al-Aridhi. Kedua orang ini pernah berdiskusi selama 37 malam. Mula-mula Abu Hayyan At-Tauhidi berteman dengan Abu Abdullah Al-Aridhi karena dikenalkan oleh Abu Al-Wafa Al-Muhandis. Abu Al-Wafa Al-Muhandis sendiri adalah teman dekat Abu Hayyan At-Tauhidi yang memiliki kedekatan dengan penguasa saat itu.
Di antara isi diskusi antara Abu Hayyan At-Tauhidi dan Abu Abdullah Al-Aridhi yang tertuang dalam Al-Imta’ wa al-Mu’anasah adalah manusia bisa mencapai hakikat zauharnya. Mencapai makrifat yang membantu tersingkapnya hakikat. Bagi Al-Tauhidi, kesempurnaan manusia adalah ketika sampai kepada derajat hakikat.
Dalam Al-Imta’ wa al-Mu’anasah, Abu Hayyan At-Tauhidi juga menjelaskan tentang kekuatan akal pikiran. Baginya, kekuatan intelejensi akal tidak bisa kukuh berdiri sendiri tanpa dibantu dan ditopang oleh kekuatan panca indera yang memengaruhinya. Panca indera, menurut Abu Hayyan At-Tauhidi, akan mencapai kesempurnaan apabila terus menerus dilatih. Dan panca indra akan menjadi pendukung utama yang melahirkan akal utama. Beliau menulis:
القوة العاقلة لاتقوى بذتها على اثبات إنّياتها المركبات إلا من جهة القوة الحساسة , ولو قويت عليه لصار الحسٌّ فضلا للعاقلة
Pendapat Abu Hayyan At-Tauhidi di atas mendapatkan respons yang baik dari Wazir Abu Abdullah Al-Aridhi dengan berucap, “Ucapan mengagumkan ini hanya bisa keluar dari seorang yang memiliki dada yang lapang.” Ucapan tersebut sebagai bentuk kekaguman Wazir Abu Abdullah Al-Aridhi pada Abu Hayyan At-Tauhidi. Di mana Abu Hayyan At-Tauhidi tidak hanya memiliki bakat menulis khat dengan indah, tetapi juga memiliki kemampuan artikulasi kata yang sangat memukau.
Konsep akal pikiran yang menjadi panglima panca indera ini kelak menjadi landasan epistemologis bagi Imam Al-Ghazali dan Ibnu Miskawayh, kedua ulama besar ini mengelaborasikan pandangan Abu Hayyan At-Tauhidi mengenai konsep hati, akal, dan panca indra.
Menurut Imam Al-Ghazali, perangkat jiwa ada tiga. Pertama, kalbu (hati) yang menjadi raja, yang menentukan segalanya dan pembuat kebijakan. Kedua, adalah akal yang berperan sebagai panglima yang melaksanakan tugas dan keputusan yang telah ditentukan oleh hati. Akal berperan dalam menjustifikasi keputusan. Dan yang ketiga adalah panca indra yang bertugas sebagai prajurit dan hanya bisa mengikuti kehendak hati. Jika dilihat konsep yang diajukan oleh Imam Al-Ghazali, kita bisa berpendapat bahwa hati memiliki kekuasaan yang penuh. Hati yang terbimbing cahaya ilahi akan melahirkan perilaku rabbani.
Editor: Nur Hayati Aida