Seorang lelaki, karena satu dan lain hal, tak lagi bisa bekerja dan memberikan penghidupan pada keluarganya. Dengan perasaan kalah yang disembunyikan, ia bilang ke istrinya: Aku memang tak lagi bisa bekerja, tetapi aku tetaplah kepala rumah tangga.
Tetapi, dalam relung batinnya yang dalam ia ingin berkata: menjadi laki-laki tak harus “sesempurna” itu.
Bahkan, untuk sekadar meluapkan emosi saja laki-laki tak diperkenankan. Betapa sering kita mendengar ucapan seperti ini: laki-laki kok nangis. Laki-laki gak boleh cengeng. Padahal sebagai manusia menangis adalah sesuatu yang alamiah.
Laki-laki meski dibuai dengan manja oleh patriarki dengan segala bentuk kemewahan dalam masyarakat, sesungguhnya laki-laki juga terjerat dalam belenggu patriariki.
Patriarki tak hanya melahirkan “harmonisasi” pembagian peran yang sampai saat ini kita nikmati sehari-hari bahkan lewat lagu dangdut yang samar-samar kita dendangkan “aku maca koran, sarungan//kowe blanja, dasteran”. Tetapi, patriarki juga melahirkan serumpun ketidakadilan pembagian peran sosial yang seharusnya dapat dipertukarkan, tetapi dianggap ajeg dan tak dapat berubah.
Patriarki dengan dua kaki penyangganya maskulinitas hegemonik dan heteronormativitas juga mendehumanisasi laki-laki dan orang dengan orientasi seksual nonbiner.
Konsep ideal laki-laki dalam kandungan patriarki melahirkan apa yang disebut kemudian maskulinitas dengan wajah garang: kekuatan fisik, dominanasi, kontrol, dan kekerasan. Laki-laki, dalam konsep maskulinitas hegemonik, haram hukumnya untuk menjadi manusia yang merasakan luapan emosi bernama air mata, atau bersikap lembut, dan lemah secara fisik.
Seberat apapun masalah yang diemban, sebanyak apapun persoalan yang dipikul, laki-laki tak boleh (tampak) lelah atau sekadar sambat.
Oleh karenanya, ketika berbicara tentang patriarki sebenarnya kita tidak sedang berbicara laki-laki, tetapi sedang bicara sistem yang atas kreatifitas akal manusia diciptakan beribu-ribu tahun lalu. Sayangnya, sistem itu kemudian membelenggu pembuatnya, laki-laki dan perempuan. Meski kita tahu, korban paling parah dari patriarki adalah perempuan.
Untuk membangun sistem yang lebih humanis, yang memanusiakan manusia, baik laki-laki atau perempuan, kita perlu untuk saling kerja sama. Sebab, kerak-kerak patriarki terlalu membandel, laki-laki dan perempuan harus saling membahu menciptakan budaya dan sistem baru yang lebih setara dan adil.
Sebuah catatan kecil selepas membaca buku Good Boys Doing Feminism.