Imam Thahawi: Muhaddis dan Teolog Islam Awal

oleh Achmad Fathurrohman
2.2K views

Oleh: Achmad Fathurrohman

Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah Al-Azdi At-Thahawi lahir pada 237 H. Imam Ahlussunnah Wal Jamaah yang hidup abad ketiga hijriah ini hidup sezaman dengan Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Abu Dawud, Imam Tirmidzi, dan Ibn Majah; juga satu masa dengan pendiri Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah yaitu Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Maturidi. Yaitu era ketika Hadis Nabi Muhammad Saw. mulai dibukukan ke dalam Kutub as-Sittah. Salah satu karya terbesarnya adalah ‘Aqidah Thahawiyah dalam bidang teologi, yang menjadi rujukan utama mazhab Sunni. Kitab yang ditulis sekitar seribu tahun lalu ini masih menjadi pegangan Ahlussunnah wal Jamaah sampai hari ini. Hal ini dibuktikan dari puluhan syarh (komentar) telah ditulis oleh para ulama dari berbagai generasi.

Tak hanya alim di bidang teologi, Imam Thahawi juga dikenal memiliki pengetahuan ilmu hadis yang luas. Para ulama hadis mengakui kepakaran Imam Thahawi. Merekamengatakan, jika ingin masuk dan merasakan sensasi “industri” ilmu hadis, maka harus memiliki dua alat utamanya, yaitu kitab Musykil al-Ātsar dan kitab Ma’āni al-Ātsar. Jika tidak memiliki dua kitab karangan Imam Thahawi ini, maka kita tidak akan pernah dianggap sebagai bagian dari “industri” ilmu hadis. Seperti orang yang ingin masuk ke industri e-commerce minimal harus memiliki alat pendukungnya seperti HP dan sinyal internet. Jika tidak memiliki kedua alat ini, maka kita tidak akan merasakan industri e-commerce. Karya Imam Thahawi lainnya yaitu Syarh Al-Jāmi’ Al-Kabīr, Syarh Al-Jāmi’ Al-Shagīr, Al-Nawādir al-Fiqhiyah, Al-Radd ‘alā Abī ‘Abīd, dan Ahkām al-Qur’ān.

Imam Thahawi lahir di daerah Thoha, suatu kawasan padang pasir di Mesir. Proses pencarian ilmu Imam Thahawi sangat unik. Beliau lahir dari keluarga bermazhab Syafi’i, ayah dan ibunya bermazhab Syafi’i, paman dari jalur ibu, sekaligus guru pertamanya adalah Imam Muzani, salah seorang sahabat dan murid utama Imam Syafi’i. Namun, ketika beranjak dewasa Imam Thahawi berubah haluan. Ia mengganti mazhab fikihnya menjadi Hanafiah. Banyak cerita tentang perubahan mazhab ini, namun semuanya tidak memiliki sanad yang autentik yang bisa dipercaya. Perubahan mazhab saat itu—ketika mazhab fikih baru berkembang—merupakan peristiwa yang menarik perhatian publik.

Dalam masalah teologi, Imam Thahawi dekat dengan Hanafiah atau Maturidiyah. Bahkan dalam mukaddimah kitab ‘Aqidah Thahawiyah beliau mengatakan, menulis kitab tersebut karena terinspirasi oleh kitab Fiqh Al-Akbar karya Imam An-Nu’man Abu Hanifah. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa Hanafiah dekat dengan Maturidiyah, dan Syafi’iyah dekat dengan Asy’ariyah. Keduanya—Asy’ariah dan Maturidiyah—mendapatkan kehormatan ijmak ulama sebagai Ahlussunnah wal Jamaah atau yang kita kenal sebagai Mazhab Sunni.

Banyak kitab akidah yang ditulis para ulama, namun tidak ada yang sepopuler kitab ‘Aqidah Thahawiyyah karya Imam Thahawi, seperti halnya banyak kitab nahwu yang ditulis ulama, namun tidak ada yang sepopuler kitab Jurumiah dan Alfiyah Ibn Mālik. Keistimewaan ini merupakan keberkahan yang diberikan Allah Swt. Syaikh Abdullah Bin Bayyah dari Mauritania mengatakan, membaca kitab ‘Aqidah Thahawiyyah tidak memerlukan syarh (kitab komentar), karena redaksi teks (matan)nya sudah sangat jelas.

Tiga abad pertama hijriah, umat Islam mulai mengkristal menjadi beberapa aliran, baik dalam hal furu’ (fikih) maupun ushul (akidah). Salah satu alasan Imam Thahawi menulis kitab akidah karena ingin menjawab kebingungan umat. Ada Khawarij yang awal mulanya hanya sebagai gerakan politik penentang kebijakan Khalifah yang sah saat itu, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, berubah menjadi gerakan teologi keagamaan. Di sisi lain ada Syiah, loyalis Imam Ali bin Abi Thalib. Di sudut lain, ada gerakan teologi baru yaitu Muktazilah yang menemukan momentumnya, karena diskursus filsafat saat itu sangat digandrungi masyarakat seperti sains saat ini, gerakan ini mendapatkan atensi publik yang cukup besar karena menawarkan kebebasan dan kepanglimaan akal. Pada akhirnya gerakan ini, yang awalnya adalah ideologi keagamaan, berubah menjadi gerakan politik.

Imam Thahawi berguru kepada Imam Harun bin Said Al-Ayli, Imam Abdul Ghani bin Rifa’ah, Yunus bin Abdul A’la, Nisfu bin Matsrud, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakim, Bahr bin Nasr, dan para ulama lainnya yang hidup sezaman dengan para Salaf as-Shalihpara ulama pendahulu yang salih.

Imam Thahawi memiliki banyak murid berpengaruh, di antaranya: Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasab, Abu Hasan Muhammad bin Ahmad Al-Akhmimi, Yusuf Al-Mayanji, Ath-Thabrani, Ahmad bin Abdul Waris Al-Juzaj, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Jauhari Qadi Shaid, dan Muhammad bin Bakar bin Mathruh. Menurut Ibn Yunus, Imam Thahawi wafat pada bulan Dzulqa’dah tahun 321 H pada usia sekitar 80 tahun di Mesir, dan dimakamkan di sana.

Achmad Fathurrohman

Achmad Fathurrohman

Pemimpin Redaksi Afkaruna.id

You may also like

Leave a Comment