Oleh: Nur Hayati Aida
Sekira duduk di kelas empat sekolah dasar, buku pertama yang saya baca selain buku belajaran adalah sebuah buku biografi seorang pahlawan, namanya Pattimura. Buku itu adalah buku pertama yang saya lahap setelah hampir tiga tahun lamanya duduk di bangku sekolah, namun tak mampu dengan baik mengeja huruf. Pattimura adalah buku pertama yang membuat saya jatuh cinta, sebuah biografi pendek yang berserak di tumpukan buku milik tetangga samping rumah.
Pada saat itu saya mulai sadar bahwa membaca dapat membawa saya berkelana pada waktu, tempat atau masa yang secara nyata mungkin tak dapat saya kunjungi. Sewaktu itu, buku adalah kemewahan bagi saya atau anak-anak seusia saya di kampung. Bahkan perpustakaan milik sekolah yang seharusnya dapat dikunjungi dan menjadi salah satu tempat paling asyik untuk bermain hanya diisi onggokan kayu-kayu lapuk yang berdebu tebal. Kami tak mengenal majalah anak yang legendaris itu, Bobo. Majalah itu menjadi barang amat berharga yang tak mungkin kami miliki karena harus beradu dengan kebutuhan perut dan lainnya. Buku pertama yang saya miliki sendiri adalah Juz Amma, itupun bekas dari kakak saya.
Lima tahun kemudian, di salah satu kamar pesantren, saya menemukan sebuah majalah yang menyebut dirinya dengan majalah Islam. Sebuah majalah yang banyak berisi cerpen, cerbung dan beberapa rubrik lainnya, Annida namanya. Waktu itu hari Jumat selepas Ashar, saya duduk bersandar almari dengan membaca salah satu cerpen yang berjudul Mawar-Mawar Adzkia ditulis oleh Afifah Afra. Adzkia, tokoh utama yang ditulis Afifah, adalah seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun yang mengidap penyakit leukimia stadium akhir. Perempuan kecil itu suka menanam mawar dan mengirimkannya pada tokoh-tokoh bangsa. Ia bermimpi tak ada lagi pertikaian, pertengkaran, dan peperangan. Adzkia berharap sekali orang-orang yang dianggap tokoh tak lagi bermusuhan dan bisa membawa pesan damai. Oleh karenanya, Adzkia menanam mawar dan meminta pamannya untuk mengirimkan pada tokoh-tokoh bangsa. Dengan waktu yang terbatas, perempuan kecil itu tak lantas hilang semangat dan harapan. Tiap pagi, Adzkia menanam dan menyirami mawar di kebunnya, lalu setelahnya ia akan tenggelam dalam lautan ilmu dari buku dan koran.
Adzkia mampu ‘menampar’ saya dengan tamparan yang menghentakkan. Saya, yang waktu waktu itu, berumur lima belas tahun, tidak sedang sakit, tapi tidak melakukan apa-apa. Selepas itu, saya berjanji untuk menyisihkan uang jajan bulanan untuk membeli buku dan serius untuk membacanya. Tekad itu saya jalani sampai saat ini, saat saya tak lagi meminta uang bulanan pada ibu.
Akhir tahun dua ribu lima di toko buku depan sarean (makam) Mbah Mutamakkin, saya meminta pada pemilik toko mencarikan buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam. Tanpa dinyana, ternyata buku itu ada di meja kasir, tepat di mana saya sedang berdiri. Karena tak memiliki uang, saya bilang pada pemilik toko:
Pak, tolong simpen dulu, ya, sampai saya dapet kiriman uang dari ibu.
Dan jawaban pemilik toko membuat saya girang bukan kepalang:
Wis bawa dulu, kamu iso mbayar nanti kalau wis dapet kiriman
Buku atau lebih tepatnya catatan harian milik Ahmad Wahib itu saya cari setelah membaca buku (catatan harian) Soe Hok Gie, Catatan Seoarang Demonstran.
Dua buku ini mengawali perubahan cara pandang saya tentang menulis dan membaca. Mereka berdua, Wahib dan Gie, yang hidup pada masa enam puluhan dengan segala akses yang masih sangat terbatas melakukan, yang bagi saya, sesuatu yang luar biasa, yaitu membaca dan menulis. Setelah membaca dua buku dari dua orang yang mati muda itu, saya berjanji untuk lebih banyak membaca dan mengimbanginya dengan menulis.
Gie dan Wahib berpengaruh dalam membentuk cara berpikir. Tentang bagaimana cara menghargai perbedaan, cara berpikir kritis, cara untuk meragukan Tuhan dan cara untuk menemukan-Nya kembali, cara untuk protes dan cara untuk melawan ketidakadilan.
Pada empat buku itulah saya menaruh utang. Saya tidak pernah tahu bagaimana jadinya jika tak menemukan buku-buku tersebut dalam perjalanan hidup saya. Setelah tidak lagi tinggal di Kajen dan harus berpindah ke Ciputat, Tuhan membuat kejutan-kejutan untuk saya tentang rezeki, di mana itu semua memungkinkan saya untuk bisa membeli buku-buku yang saya cintai.
4 comments
inspiratif sekali kak, yg q tau dari kawan, mb aida ini orangnya kutu buku dan wawasannya luas, salut…
Alhamdulillah.
Terima kasih banyak Kak Lutfy Najwa, nantikan tulisan Ustadzah Aida berikutnya.
Assalamualaikum tim redaksi.
Izin share tulisan yang ada di web ini
Terimakasih….
Waalaikumsalam Wr. Wb.
Silakan