Muhammad Iqbal memberikan kritik pada argumen filsafat Skolastik yang menyatakan eksistensi Tuhan. Iqbal menilai bahwa kosmologi, teleologi, dan ontologi merupakan argumen rentan terhadap kritik serta menunjukkan kedangkalan pengalaman. Lebih jauh, Iqbal menguraikan bahwa argumen kosmologi tidak cukup kuat untuk menjadi argumen adanya Tuhan, pasalnya argumen yang diajukan pada dasarnya mencoba mencapai sesuatu yang terbatas justru dengan menolak yang terbatas. Sesuatu yang tak terbatas dicapai dengan mengoposisikan yang terbatas adalah ketakterbatasan palsu. Tidak menerangkan dirinya sendiri atau menerangkan sesuatu yang terbatas sebagai lawan dari sesuatu yang tak terbatas. Ketakterbatasan sebenarnya, bagi Iqbal, tidak perlu menyisihkan sesuatu yang terbatas untuk mengesahkan yang tak terbatas.
Sama halnya dengan argumen teleologi, bagi Iqbal tidak lebih baik dari argumen kosmologi. Argumen teleologi dibantah Iqbal dengan mengatakan bahwa analogi yang digunakan dalam teleologi sama sekali tidak tepat. Analogi kerja antara tukang dengan fenomena alam, tukang tak dapat mengerjakan rencananya tanpa terlebih dahulu memilih serta memisahkan bahannya dan situasi-situasi alamiah bahan-bahan tersebut, sedangkan alam membentuk suatu sistem dari bagian-bagian yang seluruhnya interdependen. Bagi Iqbal, proses alam tidak analog dengan kerja seorang arsitek.
Argumen ontologi yang disandarkan pada argumen Descartes, yang menyatakan bahwa untuk menyatakan suatu atribut (sifat) terletak dalam kodrat atau dalam konsep tentang suatu benda, adalah sama dengan mengatakan atribut tersebut benar bagi benda itu, dan bahwa atribut itu memang benar-benar ada padanya. Sifat wujud yang merupakan keharusan, bisa jadi ada di dalam kodrat atau konsep tentang Tuhan, karena itu ada benarnya untuk menegaskan bahwa sifat wujud yang merupakan keharusan itu memang benar-benar ada pada Tuhan, Tuhan itu ada. Iqbal menyanggah argumen itu dengan mengatakan bahwa gagasan tentang adanya sesuatu bukan satu-satunya bukti bahwa sesuatu itu ada secara objektif.
Menggugat Supremasi Akal
Iqbal sendiri memberikan alternatif lain untuk menyatakan eksistensi Tuhan. Iqbal menunjukkan bukti eksistensi Tuhan dengan argumen pengalaman religius atau intuisi, dengan metode ini pula Iqbal sedang melakukan perlawanan pada pemikir modern yang terlalu membesar-besarkan peranan akal, dan mengabaikan peranan intuisi atau dalam hal yang lebih dalam, peranan agama. Dalam pembuktian Tuhan, para pemikir saat itu amat dipengaruhi oleh kemajuan alam materialis, hasil kemajuan ilmu pengetahuan modern, sehingga mengingkari nilai-nilai intuisi (cinta) serta pengalaman religius (Sayyidin:1981). Hal ini juga yang diungkapkan oleh Bergson bahwa hanya manusialah makhluk satu-satunya yang memilki akal untuk menghadapi kehidupannya; bahwa kecerdasan, komunitas (masyarakat) dan bahasa membuat manusia berbeda dengan hewan. Akan tetapi, gambaran dunia yang diterima oleh manusia lewat inteleknya belum lengkap, karena hanya menunjukkan lapisan luarnya saja.
Iqbal tidak pernah mengingkari kesahihan akal dalam mencapai kebenaran, Iqbal ingin menekankan kebenaran intuisi juga dalam perjalanan mencapai kebenaran. Selain itu, Iqbal juga ingin menegaskan bahwa realitas yang diketahui melalui pengetahuan indrawi memiliki makna lebih dalam dari yang terlihat dan yang terpikirkan, dan cara untuk mengetahui itu lewat metode intuisi.
Intuisi yang ditawarkan oleh Iqbal adalah penawar dari kegelisahan Immanuel Kant dan Imam Al-Ghazali. Kant, menurut Iqbal, sesuai dengan prinsip-prinsipnya sendiri, tak dapat menguatkan mungkinnya pengetahuan Tuhan. Lalu, masih menurut Iqbal, Al-Ghazali sesudah tak mendapat harapan mengurai dengan pikiran, ia pindah ke tasawuf, dan di situlah ia mendapatkan kepuasan terhadap agama. Kant tidak puas dengan agama dan menggantinya dengan filsafat, serta menganggap Tuhan bukanlah termasuk pengetahuan, karena pengetahuan hanya bisa ditemui dengan jalan indrawi. Sedangan Al-Ghazali kecewa dengan filsafat dan menawarkan tasawuf, di mana Tuhan bisa ditemui dengan jalan mistis. Bagi Al-Ghazali, sulit rasanya bagi pikiran yang terbatas untuk dapat memahami yang tak terbatas. Bagi Iqbal, persoalan yang dihadapi kedua tokoh tersebut bisa dijembatani, yaitu meyakini bahwa pengalaman religius sebagai sebuah pengetahuan kebenaran, meskipun tanpa campur tangan indrawi.
Intuisi atau pengalaman religius, menurut Iqbal, sama sahihnya dengan pengalaman indrawi sebagai alat untuk mencapai kebenaran. Bagi Iqbal, alat untuk memperoleh kebenaran tidaklah tunggal dan hanya monopoli indrawi saja. (Pengalaman) Intuisi bagi Iqbal sama konkretnya dengan pengalaman indrawi, keduanya sama-sama memiliki kebenaran, meskipun intuisi tidak dapat diikuti kembali jejaknya melalui cerapan indra.
Penyunting: Achmad Fathurrohman
Selama Ramadhan, Afkaruna.id akan menerbitkan serial Tadarus Pemikiran Iqbal ditulis oleh Nur Hayati Aida yang tayang tiap hari Ahad.