• Beranda
  • Belajar Islam
  • Hukum Islam
  • Kisah Islam
    • Hikmatus Salaf
  • Tokoh Islam
    • Tadarus Pemikiran Iqbal
  • Kolom
  • Buku & Kitab
    • Kimiya-yi Saadat
  • Penerbitan
  • Privat
    • Al-Qur’an
    • Bahasa Arab
    • Video Kajian
  • Tentang
    • Kirim Tulisan
    • Kontak
    • Portofolio
    • Redaksi
Afkaruna.id
Beragama dengan Akhlak
Kolom

Menyingkap Makna Arasy dalam Tafsir Mulla Sadra

oleh Nur Hayati Aida November 23, 2019
ditulis oleh Nur Hayati Aida November 23, 2019 1.276 views

Ia terlahir dengan nama Muhammad, tetapi lebih dikenal dengan Mulla Sadra. Sadra sendiri adalah “gelar” yang diberikan oleh para murid dan sahabat atas kejeniusan dan kepakarannya, Sadru ad-Din. Ia terlahir dari keluarga dan lingkungan yang memungkinkannya untuk mendapatkan pendidikan dari guru-guru terbaik di masanya. Ayahnya seorang gubernur, memudahkan dirinya bertemu dengan guru-guru terbaik.

Setidaknya ada lima puluh karya yang ditulisnya, lima karya tafsir, beberapa hadis, dan selebihnya tentang filsafat. Konon, teman-teman Mulla Sadra cemburu atas kepintarannya, begitu cepat dan dahsyatnya menyerap ilmu. Bahkan, gurunya, Mir Damad, dikatakan juga merasa tersaingi atas karunia yang dimiliki Mulla Sadra.

Untuk melihat dalamnya samudra ilmu yang dimiliki Mulla Sadra tengoklah tafsir beliau tentang ayat kursi, tak kurang dari tiga ratus halaman untuk tiga ayat kursi. Maka tak heran, M. Rustom—peneliti Sadra—mengatakan bahwa tafsir Mulla Sadra yang banyak (halaman) itu kesemunaya berisi tafsir. Dan ini agak berbeda dengan tafsir Mafatih al-Ghaib yang ditulis oleh Imam Fakhruddin Razi, Walid Saleh menyebut Tafsir Razi ini tafsir ensiklopedis. Sedangkan, tafsir Mulla Sadra yang tebal merupakan tafsir yang benar-benar berisi tafsir.

Mulla Sadra menulis tentang tafsir dan filsafat ketika ia merasa sudah futuh dan tersingkap dari tabir, setelah berkontemplasi dan uzlah belasan tahun lamanya. Tafsir dan filsafat ditulis bersamaan, seperti dalam satu komputer terbuka beberapa file. Jika lelah atau bosan dengan satu kajian, lalu berpindah pada file lain. Jadi, tampak sekali dalam tafsirnya kental dengan aroma filsafat dan tasawuf.

Sadra bukan hanya seorang filsuf dan pengkaji tasawuf nadhari, ia adalah salik. Ritual dan riyadlah yang dilakukannya tak pernah putus. Dalam perjalanan haji ketujuh ia meninggal dunia, Mulla Sadra menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki. Sebuah pengorbanan khas salik dalam suluk yang dijalani untuk bertemu Sang Maha Cinta.

Selama ini Mulla Sadra hanya dikenal sebagai filsuf, sedikit orang tahu bahwa ia juga mufasir. Lima dari lima puluh karyanya membahas tafsir. Ia percaya bahwa al-Qur’an memiliki makna lahir dan batin, ini didasarkan pada sebuah hadis:

لكل آية ظهر وبطن، ولكل حرف حد، ولكل حد مطلع

Oleh karenanya, seperti dalam konsep wujud yang digagasnya, Mulla Sadra membagi makna al-Qur’an menjadi tiga bagian, yaitu: makna eksternal, imajinal, dan spiritual. Masing-masing makna hanya bisa dipahami dari kualitas wujud setiap orang. Makna spiritual al-Qur’an sulit dijangkau oleh seseorang yang kualitas wujudnya masih sebatas kualitas eksternal.

Menarik dari tafsir Mulla Sadra adalah ia memulai tafsirnya pada ayat-ayat yang berhubungan dengan Tuhan. Hal ini bukan tanpa sebab, karena menurutnya tujuan diturunkannya al-Qur’an untuk mengenal Tuhan. Oleh karenanya, ia memulai tafsirnya dengan Ayat Kursi, Ayat Nur, Surat Thariq, dan selanjutnya yang berhubungan dengan Tuhan. Ayat kursi oleh kalangan mufasir disebut سيد الآيات (penghulunya ayat). Dalam menafsirkan al-Qur’an, yang pertama harus dilakukan adalah menyelesaikan terlebih dahulu pemahaman tentang Tuhan, karena itu tujuan utama diturunkannya al-Qur’an.

Corak tafsir Mulla Sadra dekat sekali dengan tafsir Ibn Arabi, mereka mencoba memaknai ayat dengan mengembalikan kata pada realitas maknanya, pada akar katanya, pada sumber asalnya. Ibn Arabi dan Mulla Sadra dikenal dengan ulama yang “lentur” memainkan ambiguitas bahasa, mereka sering mengecoh para pembacanya jika tak jeli. Hal itu bukanlah tanpa maksud, Ibn Arabi sengaja memilih diksi yang jarang dipakai atau agak aneh dalam tulisan-tulisannya karena ia ingin menempatkan pembaca sesuai dengan kualitasnya masing-masing. Pendekatan yang dipakai oleh Mulla Sadra dalam tafsirnya pun mirip dengan Ibn Arabi, yaitu tafsir sufi filosofis.

Marilah kita tengok bagaimana Mulla Sadra menafsirkan QS. Ta Ha [20]: 5:

ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ 

lafal عرش yang oleh sebagian mufasir diartikan sebagai singgasana atau kekuasaan diartikan berbeda oleh Mulla Sadra. Mulla Sadra mengartikan عرش dengan hati. Untuk menjelaskan makna عرش yang dimaknai hati, ia mengutip sebuah Hadis Qudsi:

يا عبدي قلبك بستاني وجنتي بستانك فلما  لم تبخل علي بستانك بل انزلت معرفتي فيه فكيف ابخل بستاني عليك او كيف أمنعك منه 

“Wahai hamba-Ku, hatimu adalah taman-Ku dan surga-Ku adalah tamanmu. Maka selama engkau tak menghalangi-Ku dari tamanmu, bahkan menempatkan hati (makrifat)-Ku di dalamnya, bagaimana mungkin Aku akan mencegah-Mu dari tamanku.”

Seharusnya pada hati tidak boleh ada sesuatu pun kecuali Tuhan. Tuhan selalu dekat dan selalu ada untuk didekati, karena memang pada hatilah Tuhan bersemayam.

Maka pertanyaannya adalah, apakah dirimu rela jika hatimu menjadi tempat bersemayam Tuhan?

Editor: Achmad Fathurrohman

Mulla SadraTafsir ArasyTafsir Mulla Sadra
0 komentar
0
FacebookTwitterWhatsappEmail
Nur Hayati Aida

Santri yang tak kunjung khatam membaca al-Quran

sebelumnya
Para Perempuan Pertama Pendukung Rasulullah Saw.
sesudahnya
Doa Rasulullah Agar Bebas dari Utang dan Kesulitan Hidup

You may also like

Berebut Wacana Childfree, Childless, dan Childcare

Maret 24, 2023

Dilema Mualaf: Urgensi Madrasah Mualaf di Indonesia

April 24, 2022

Pengetahuan dan Ibadah, Mana yang Lebih Penting?

Juni 18, 2020

Memupuk Kehambaan, Meraih Kebahagiaan

Mei 15, 2020

Iman dan Ilmu, Kunci Menghadapi Corona

April 24, 2020

Corona dan Memudarnya Kesadaran Kemanusiaan Kita

April 11, 2020

Ruh: Kekal atau Fana?

Desember 30, 2019

Dari Nushrat al-Amin sampai Bint Syathi’: Inilah Para...

Oktober 16, 2019

Haji Par Excellence

Agustus 23, 2019

Adakah Agama Jika tanpa Cinta?

Juli 10, 2019

Leave a Comment Cancel Reply

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

Tulisan Terbaru

  • Angka: Tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja
  • Berebut Wacana Childfree, Childless, dan Childcare
  • Islam Mendukung Perempuan Berkarier di Ruang Publik
  • Imam Ali, Masjid, dan Fragmen Sejarah yang Belum Diketahui
  • Marāh Labīd: Kitab Tafsir dari Arab dengan Cita Rasa Nusantara

Tulisan Populer

  • 1

    Al-Fiqh Al-Akbar: Kitab Akidah Karya Imam Abu Hanifah

    April 29, 2020
  • 2

    Perjalanan Menuntut Ilmu Imam Asy-Syadzili: Diusir Guru Tiga Kali Hingga Lahirnya Thariqah Syadziliyah

    September 15, 2019
  • 3

    Faishal al-Tafriqah: Karya Imam al-Ghazali yang Mendedahkan Takfirisme

    Oktober 30, 2019
  • 4

    Imam an-Nasafi, Ulama Besar yang Tak Banyak Dikenal

    Agustus 14, 2019
  • 5

    Sayidina Ali dan Cara(nya) Membela Tuhan

    Juni 28, 2019

Kategori

  • Belajar Islam
  • Buku & Kitab
  • Hukum Islam
  • Kisah Islam
  • Kolom
  • Penerbitan
  • Tokoh Islam
  • Uncategorized

Afkaruna.id didirikan untuk menyediakan bacaan berkualitas yang diulas secara mendalam. Kami fokus mengulas konten akhlak dan kisah Islam, karena wilayah ini merupakan titik temu berbagai pemikiran. Dan kami selalu percaya, akhlak ada di atas ilmu dan melampaui sekat-sekat golongan, mazhab, dan kelas sosial.

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube
  • Email
Footer Logo

Villa Pasirwangi Blok C33, Bandung
@2019 Copyright Afkaruna.id. All Right Reserved. Redaksi.


Back To Top
Afkaruna.id
  • Beranda
  • Belajar Islam
  • Hukum Islam
  • Kisah Islam
    • Hikmatus Salaf
  • Tokoh Islam
    • Tadarus Pemikiran Iqbal
  • Kolom
  • Buku & Kitab
    • Kimiya-yi Saadat
  • Penerbitan
  • Privat
    • Al-Qur’an
    • Bahasa Arab
    • Video Kajian
  • Tentang
    • Kirim Tulisan
    • Kontak
    • Portofolio
    • Redaksi