Tulisan ini berangkat dari kegelisahan penulis sekaligus ekspresi duka terhadap musibah yang menimpa hampir seluruh negara, termasuk Indonesia. Sudah tidak asing lagi kita dengar ganasnya Corona Covid-19 sebagai virus yang penyebarannya sangat cepat. Dalam tulisan ini saya akan memfokuskan pada aspek kesadaran humanis dan nalar transendental, mengingat berbagai respons masyarakat dengan beragam argumen menyikapi virus ini. Sehingga, tulisan ini bertujuan mengajak pembaca untuk melakukan refleksi kritis guna membangun kesadaran humanis dan transendental dalam menyikapi persoalan pandemi Corona dengan berbagai keganasan dan kebaruannya.
Saat ini, Indonesia sedang berduka karena banyaknya korban yang berjatuhan disebabkan Corona. Bukan itu saja, banyak tenaga medis yang menangani pasien menjadi korban keganasan virus ini. Meski demikian, faktanya, hal tersebut dianggap sepele bagi penganut teologi fatalis. Keyakinan fatalis memiliki argumen khas, menurut mereka, virus ini tidak dapat membunuh manusia karena yang berkuasa mematikan manusia hanya sang Pencipta. Sehingga, tidak ada yang perlu ditakuti dari virus ini, dan beraktivitas seperti biasa tanpa memedulikan bahaya virus Corona.
Dalam akidah Islam, hanya Tuhan yang berkuasa mematikan makhluk dan setiap kematian sudah ditentukan dalam ketetapan dan kehendak-Nya. Islam mengajarkan menjunjung tinggi keadilan, artinya Islam mengajarkan pemeluknya untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sehingga dapat diperoleh solusi yang tepat dalam menghadapi berbagai persoalan. Keadilan dalam hal ini bisa dengan mengajukan persoalan terkait tauhid kepada ahli tauhid, persoalan fikih kepada ahli fikih, pertanyaan yang lainnya juga demikian. Oleh karena itu, persoalanCorona sebagai virus yang ganas harus ditanyakan kepada ahlinya, yakni para pakar medis yang menanganinya. Sehingga terdapat kesesuaian antara persoalan dan jawaban yang diterima.
Hilangnya Kesadaran Humanis
Berkaitan dengan persoalan kemanusiaan di atas, manusia dibekali akal sebagai alat berpikir untuk menjalani aktivitas dengan berbagai persoalannya. Esksistensi akal sendiri dalam diri manusia untuk menemukan kebijaksanaan. Kita bisa belajar dari para filsuf seperti Aristoteles, Plato, dan Socrates bahwa fungsi akal untuk menuju kebahagiaan. Hal demikian juga disampaikan oleh Jeremy Bentham bahwa setiap manusia ingin mendapatkan kebahagiaan dan menjauhi penderitaan dan kesengsaraan. Berbeda dengan muridnya, John Stuart Mill, lebih mendalam dalam mengkaji humanisme. Pemikiran humanis Mill termaktub dalam etika teleologisnya, ia meletakkan standar kebahagian pada banyaknya objek dan kebahagiaan dirinya. Lebih jelasnya, jika seseorang melakukan kebaikan untuk sedikit orang, maka hal itu bukan suatu kebahagiaan meskipun dicapai dengan cara baik, kebaikan itu tentang berapa banyak orang yang dibahagiakan. Bagi Mill meskipun kebahagiaan itu dicapai dengan cara yang tidak baik, tetap digolongkan kebaikan selagi membahagiakan banyak orang. Titik pijaknya pada berapa banyak yang memperoleh kebahagiaan.
Virus Corona tidak boleh diremehkan karena memiliki dampak menyengsarakan banyak orang dan dapat menular dengan mudah kepada siapa saja. Sehingga, sikap humanis perlu dibangun dalam kesadaran kritis, kita perlu mempertimbangkan banyak hal untuk membahagiakan banyak orang. Bagi Mill wujud dari etika teleologis-utilitarianisme memfokuskan pada kebahagiaan orang banyak sebagai tujuan kebahagiaan dirinya. Kesadaran humanis perlu dibangun melalui nalar kritis untuk mengurangi tingkat penderitaan dan meningkatkan kebahagiaan untuk diri sendiri dan orang banyak.
Keganasan virus Corona dan penyebarannya yang terlalu mudah bisa melalui batuk dan kontak fisik, kurang disadari oleh sebagian orang. Banyak orang yang menganggap dirinya sehat, ‘ngeyel’ seolah tidak akan terkena virus dan melakukan kegiatan seperti biasanya. Hal demikian salah satu sebab meningkatnya pasien Corona dan terus bertambah korban jiwa. Mereka tidak menyadari seandainya dirinya terjangkit Corona, yang terkena dampaknya banyak orang, termasuk keluarganya. Bukan itu saja, jika korban semakin banyak maka tugas tenaga medis semakin berat, berkurangnya waktu istirahat sehingga menyebabkan tubuh mereka kurang sehat bahkan bisa meninggal, karena kurangnya istirahat dan melakukan kontak fisik dengan pasien.
Kesadaran sebagai makhluk yang lemah dan bisa menyengsarakan orang lain telah hilang di pikiran orang tersebut. Sehingga menurut Mill, mereka ini layak untuk disingkirkan karena hanya akan menjadi sebab ketidakbahagiaan orang banyak. Bagi Mill, melakukan satu hal yang tidak baik untuk kebaikan orang banyak dan dirinya merupakan bentuk kebahagiaan. Hal ini didasarkan pada konsep etikanya yang fokus pada tujuan, yaitu kebahagiaan orang banyak (utilitarianisme) meskipun di dalamnya terdapat cara-cara ‘picik’.
Hilangnya Nalar Transendental
Selain hilangnya kesadaran humanis, korban virus Corona juga akan terus bertambah jika masih banyak yang menerapkan sikap fatalis, artinya mereka tidak menghiraukan bahayanya virus ini, dengan dasar tidak boleh takut kepada selain Pencipta. Berangkat dari pemahaman tersebut, hidup mereka tetap seperti biasanya tanpa mempedulikan bahayanya virus ini. Konsep teologi fatalis ini dapat menyebabkan banyak korban, jika salah satu di antara mereka ada yang positif Covid-19, maka yang lainnya bisa tertular. Kalau sudah menjadi pasien yang akan direpotkan juga orang lain, termasuk para petugas medis yang terbatas.
Dalam Islam kita diajarkan untuk berlaku adil, mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya, sebagai individu yang bertuhan manusia diberikan pilihan untuk berupaya menyelamatkan jiwa dan raganya dari berbagai penyakit. Bahkan Islam menganjurkan untuk menjaga kesehatan bagi pemeluknya, artinya ada peluang bagi Muslim untuk sakit jika tidak menerapkan hidup sehat, meskipun tidak dapat dipungkiri sakit itu merupakan ketetapan dan kuasa Allah Swt. Namun, manusia memiliki potensi untuk menjaga kesehatannya.
Islam mengajarkan pemeluknya untuk tidak menyengsarakan orang lain. Seseorang yang tertular Corona lalu meremehkannya, padahal menurut para pakar kesehatan virus ini mudah menyebar dan ganas, ia telah menjadi sebab kesengsaraan orang lain. Dalam keimanan, takdir memang sudah ditentukan, tetapi manusia juga terkena hukum adat (kebiasaan), ketika api didekatkan dengan kertas akan terbakar, yang menjadikan terbakar itu Pencipta. Namun, ada upaya manusia untuk mendekatkan api dengan kertas agar terbakar, begitupun perihal wabah penyakit, manusia bisa berupaya untuk tidak menyengsarakan orang lain dengan menjaga dirinya, walau pada akhirnya diserahkan kepada Tuhan.
Dari sini dapat dipahami, korban virus Corona bisa terus meningkat jika tidak ada kesadaran humanis dan kesadaran transendensi. Juga bisa menjadi permasalahan besar karena korban terus meningkat, sedangkan para dokter mulai kelelahan dan peralatan tempur mulai habis. Oleh karena itu, penulis mengajak siapa pun untuk menyadari bahayanya virus dan menjaga kesehatan. Tulisan ini merupakan ekspresi duka penulis karena banyak korban yang meninggal, terkhusus para dokter yang menjadi pahlawan dalam mengurangi korban, sebagian dari mereka harus gugur dalam perjuangan.
Editor: Achmad Fathurrohman