Oleh: Irza A. Syaddad
Apa yang tersisa dari haji—dan umrah—setelah seluruh situs sejarahnya digempur habis-habisan oleh renik-renik kapitalisme?
/1/
Saya datang ke Makkah pertama kali pada medio 2015. Niat umrah muncul begitu saja ketika iqamah (surat izin tinggal di Arab Saudi) baru saja jadi. Tak ada itinerary apa pun, semua terjadi secara mendadak. Mungkin kerinduan saya dan beberapa teman mahasiswa Indonesia pada tanah suci yang menggerakkannya.
Saya membayangkan Makkah seperti kota eksotis nan religius, yang tak tersentuh oleh cakar-cakar kemodernan. Kakbah yang dilingkupi Masjidil Haram dengan langit-langit terbuka, lalu dikelilingi oleh petak-petak rumah ahlul hijaz. Kurma-kurma juga lebat di berbagai pojok luar masjid. Dan beberapa unta ditambat di batang-batang pohon.
Namun, gambaran itu ternyata salah, tentu saja! Masjidil Haram bukan hanya masjid, namun juga bangunan amat megah dengan marmer terpacak di lantainya. Hotel-hotel dan waralaba makanan pun menjamah pelatarannya. Lalu, unta-unta hanya berada di stepa bersama para penggembala, yang beberapa masih nomaden.
Masjidil Haram yang sekarang agak jauh melenceng dari poster-poster besar berpigura yang dijual di Indonesia dengan variasi lampu-lampu kecil di belakangnya. Dengan dalih kemaslahatan peziarah, Haram Makkah saat ini akan diperluas hingga 1,5 juta meter persegi. Menurut pemerintah, revitalisasi masjid dalam rupa pembangunan yang akan menghabiskan dana sekitar $100 milyar lebih adalah salah satu manifestasi ru`yah 2030 yang telah dicanangkan Raja Salman bin Abdul Aziz Al-Saud.
Dampak perluasan itu sangat terasa. Bagi peziarah umum, ekspansi Haram memang bisa mengurangi kesesakan saat beribadah, khususnya pada jam-jam sebelum dan setelah pelaksanaan shalat fardu. Masalahnya perluasan itu telah menumbalkan situs-situs kuno yang berhubungan dengan kemunculan Islam dan kehidupan Nabi Muhammad Saw. Masjidil Haram yang sekarang tidaklah seperti yang dituturkan oleh Malcolm X pada 1964, ketika renovasi masih berlangsung di sebagian kecil masjid: “Akan melampaui keindahan arsitektural Taj Mahal di India.”
Perluasan Masjidil Haram yang dimulai pada pertengahan 1970an itu, telah menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah yang tak terhitung banyaknya. Masjid Bilal, sebuah masjid yang telah ada sejak zaman Nabi pun dibuldoser, dan kemudian dibangun ulang tanpa menyisakan sedikit pun jejak masa lampau. Sepertinya, sejak awal berkuasa, pemerintah monarki Arab Saudi mempunyai kebencian yang mendalam pada sejarah.
Ziauddin Sardar, cendekiawan asal Pakistan, mengatakan ikon Makkah kini tak lagi Kakbah, pusat kiblat bagi pemeluk Islam sedunia, melainkan sebuah monumen raksasa buruk–Zia melukiskannya dengan obnoxious–berupa hotel Abraj al-Bait Clock Tower atau Makkah Royal Clock Tower. Nama pertama yang tersemat padanya bermakna Menara Rumah, sebuah bangunan tinggi untuk menggapai pemilik rumah, Allah. Ia mengingatkan saya pada kecongkakan kaum ‘Aad dan menara Babel.
Dan sebagaimana pembangunan rakus lainnya, ekspansi dan pemodernan kawasan Masjidil Haram juga memunculkan kesenjangan kelas yang tajam. Jika Anda peziarah dengan uang berlebih, Anda bisa menginap di Abraj al-Bait, salah satu hotel produk imperium Fairmont. Selain dapat menikmati fasilitas luks, Anda juga bisa menghayati keagungan rumah Tuhan dari jendela hotel. Namun, jika Anda adalah peziarah papa, yang datang ke sana hanya berbekal niat dan beberapa potong baju, Anda hanya bisa menginap di hayy (semacam distrik kecil) satelit kumuh yang berjarak 3-4 km dari Haram.
Awal kedatangan di Makkah, kami disambut rumah-rumah susun kumuh yang dihuni oleh Muslim asal Afghanistan, Pakistan, India, Yaman, dan negara-negara kulit hitam. Misfalah adalah salah satu hayy yang memiliki banyak penginapan cukup murah. Karena hanya memiliki sedikit uang saku dan kontak teman, akhirnya kami bisa menempati rubath (rumah yang dijadikan tempat tinggal para santri kalong) yang ada di hayy Misfalah, secara gratis.
Kami bertetangga dengan kaum pendatang bersahaja yang sering berhaji koboi, sebutan bagi mereka yang berhaji tanpa tasrih, yaitu surat keterangan melakukan ibadah haji yang harganya begitu mahal untuk ditebus. Saking papanya, mereka bahkan berani kucing-kucingan dengan syurthah dan menyabung nyawa dengan duduk-duduk atau tidur tanpa pengaman di bukit terjal di sekitar Mina.
/2/
Ali Syariati, salah satu pemikir revolusioner dari Iran, mengeluhkan bagaimana musuh-musuh Islam menyebarkan doktrin berupa: “Ibadah haji sebagai perbuatan yang paling buruk dan yang paling tidak logis yang dilakukan kaum Muslimin setiap tahun”. Pendapat “musuh Islam” tersebut menemukan relevansinya ketika mereka hanya melihat tampilan luar manasik haji saja. Cemooh mereka juga mungkin benar ketika jemaah haji menganggap manasiknya hanya sebatas ritual fisik semata. Sedang napak tilasnya—meski banyak petilasannya yang sudah hilang—hanya sekadar kunjungan materi belaka.
Padahal, lanjut Ali Syariati, seharusnya haji mampu menjadi proses evolusi manusia menuju Tuhannya. Ia menganggap bahwa berhaji adalah perjalanan pulang kepada Allah Yang Mutlak. Karena itulah, seorang Muslim yang mau berhaji harus menanggalkan kemewahan, kesenangan, dan aksesori kehidupannya. Penanggalan ini disimbolkan dengan berihram, rukun haji, beserta aturan-aturan yang menyertainya.
Berhaji, dengan demikian, melakukan satu ritual pamungkas untuk menggenapi rangkaian rukun Islam. Pelakunya tentu saja akan disebut sebagai Muslim kafah. Namun, Ali Syariati pergi ke Makkah sebelum pemutakhiran Haram Makkah. Mereka masih bisa berbicara mengenai ide-ide luhung mengenai Masjidil Haram dan haji.
Terlepas demikian, apakah kualitas ideal haji hanya bisa dicapai jika Makkah berada dalam kondisi kunonya?
/3/
Suatu hari di bulan Dzulhijjah, ketika Rabi’ah Adawiyah, pemuka sufi perempuan, sedang menunaikan ibadah haji pertamanya—yang kemungkinan besar juga menjadi haji terakhirnya. Ia ditanya perihal Kakbah, beliau menjawab, “Ia tak lain hanyalah berhala yang disembah di muka bumi!” Kisah tersebut dituturkan oleh Abdur Rahman Badawi dalam bukunya yang berjudul Syathahât as-Shufiyyah. Syathahat (شطحات) adalah kondisi di mana seorang sufi merasakan ekstase ketuhanan sehingga seringkali tak mampu mengontrol ucapan atau perbuatannya. Salah satu contoh yang terkenal adalah ucapan Syaikh Mansur al-Hallaj, Ana al-Haqq, “Akulah Sang Kebenaran”.
Ucapan Rabiah dikatakan syathahat, sebab menurut Badawi, menyalahi kredo Islam: Meskipun menghadap Kakbah, dalam shalat maupun tawaf, pemeluk Islam sebenarnya menyembah Allah, Sang Pemilik Rumah. Meskipun demikian, tidak semua ulama mengamini pendapat Badawi. Menurut Syaikh Ibn Taimiyah, ungkapan yang bernada kufur tersebut bukanlah syathahat, melainkan hujatan dan warta bohong atas diri sang sufi. Sebab Rabiah Adawiyah, sebagaimana diketahui bersama, adalah hamba Allah yang taat.
Akan tetapi syathahat tidak bisa begitu saja dipahami dengan logika.
Dulu kala, berhala-berhala memang pernah terpacak di sekitar Kakbah dan konon jumlahnya mencapai 360 buah. Semuanya telah dihancurkan ketika Fath Makkah. Namun, yang dimaksud Rabiah sendiri bukanlah berhala sebagaimana Hubal, Latta, atau yang lain. Dengan pandangan kalbunya yang suci, beliau melihat tujuan ibadah tawaf dan ritual peribadatan di Masjidil Haram bukan kepada Sang Pemilik Rumah, namun rumah itu sendiri. Padahal Allah Swt. telah mewanti-wantinya:
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِ
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah).” (QS. Quraisy [106]: 3)
Persoalan siapa yang kita sembah memang krusial. Di satu sisi, seseorang dikatakan telah masuk Islam cukup mengucapkan syahadat. Di sisi lain, syahâdah atau penyaksian menuntut pembuktian secara indrawi agar bisa dikatakan penyaksian kafah. Jika syahadat, rukun Islam pertama saja belum bisa terpenuhi, apa sudah layak disebut Muslim?
Implikasi dari penyaksian palsu tentu saja serius. Rukun-rukun lanjutan dan ibadah-ibadah lain akan menjadi muspra, percuma. Bahkan dalam beberapa kasus, beribadah pada Yang Maha Kuasa bisa dikatakan sebagai laku syirik. Dalam shalat, misalnya. Ketika belum mengetahui siapa yang disembah, seseorang akan menciptakan imaji tuhan yang sesuai dengan persepsinya sendiri. Jika seharusnya ia menyembah Allah dalam shalat, ternyata ia malah menyembah tuhan bikinan imajinasinya sendiri, maka bukankah pengadaan tuhan yang demikian dan sekaligus menyembahnya adalah sikap menyekutukan Tuhan Yang Azali? Demikian pula bagi peziarah Kakbah, meskipun telah berada di halaman rumah-Nya, jika ia belum bertemu Pemiliknya, maka si peziarah tak lebih menyembah rumah-Nya yang mempunyai sifat kebendaan dan baru.
Perkara siapa yang sebenarnya kita sembah tidak berhenti di situ saja. Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَمَن كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا
“Dan barang siapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isra [17]: 72)
Dalam tafsir Al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur‘an al-Majid, Ibn Ajibah menerjemahkan “buta” dengan “tidak mempunyai bashirah dan tidak mendapat petunjuk pada kebenaran”.
Bashirah, sebagaimana yang tertulis dalam Mu’jam Ishthilahat ash-Shufiyyah, tidak sekadar penglihatan mata biasa, tetapi lebih dari itu. Ia mempunyai arti penyaksian seorang hamba pada Tuhannya dalam rupa asma-Nya yang agung. Ketika menggapai tahap akhir, bashirah mampu melihat segala peristiwa dari masa lampau sampai yang akan datang.
/4/
Dalam kitab Taj al-‘Arifin al-Junaid al-Bagdadi anggitan Su’ad al-Hakim, Syaikh Junaid bercakap-cakap dengan seorang pemuda.
“Dari mana engkau?” Tanya Syaikh Junaid.
“Saya dari menunaikan haji.” Jawab si pemuda.
“Apakah kau meninggalkan seluruh kemaksiatan sebagaimana kau bertolak dari rumahmu dan meninggalkan negerimu?”
“Tidak, wahai Syaikh.”
“Kalau begitu kau belum pergi (ke tanah suci)”
“Ketika kau berihram di miqat, apakah kau menanggalkan sifat-sifat kemanusiaanmu sebagaimana kau tanggalkan bajumu?”
“Tidak, wahai Syaikh.”
“Berarti kau belum berihram.”
“Ketika wukuf di Arafah, apakah kau habiskan waktumu dengan musyahadah Tuhanmu?”
“Tidak, Syaikh!”
“Kalau begitu kau belum wukuf.”
Dan seterusnya hingga rukun dan wajib haji “dikuliti” oleh Syaikh Junaid.
Percakapan tersebut diakhiri dengan hasil berupa pendapat Syaikh bahwa si pemuda tadi belum melaksanakan ibadah haji. Secara fikih, mungkin hajinya sudah bisa dikatakan sah, namun Syaikh Junaid tidak berhenti di tataran lahir. Beliau “mengorek” sejauh mana pemuda tadi mengikutsertakan rohaninya dalam melaksanakan ibadah haji.
Terkhusus dalam perkara wukuf di Arafah, Nabi Muhamamd Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, “Haji adalah Arafah”. Selain mengandung makna mengetahui manasik haji, pengakuan atas dosa, dan pertemuan Muslim antar bangsa, Arafah adalah tonggak awal pertemuan hamba dengan Tuhannya. Ketika ia tanggalkan seluruh atribut duniawinya pada waktu berihram. Bagi Arif Billah, meskipun seseorang telah berada di Arafah dan melakukan wukuf, hajinya bisa batal ketika ia tidak ber-musyahadah dengan Tuhannya.
/5/
Alkisah, seorang pemuda datang sowan ke rumah Syaikh Abu Hasan al-Syadzili. Ia bermaksud mengutarakan kegelisahannya seputar kemewahan dunia yang dimiliki oleh Syaikh al-Syadzili. Sebab, menurut pemuda tersebut, menjadi wali Allah itu harus zuhud. Dan zuhud berasosiasi dengan kemiskinan dan hidup berkekurangan. Syaikh al-Syadzili memang dianugerahi Allah kekayaan yang tiada tara. Konon, beliau memiliki perkebunan yang luas, beberapa ekor kuda lengkap dengan kereta mewah, dan rumah yang seperti istana.
Syaikh lalu mempersilakan pemuda tersebut naik kereta kudanya, mengajaknya berkeliling kebun dan rumah. Sebelum roda berputar jauh, Syaikh memberikan segelas anggur pilihan kepada pemuda. Karena sangat nikmat, ia sampai tak sadar ada banyak keindahan pemadangan di luar kereta. Si pemuda tadi hanya fokus pada gelasnya, menjaga anggur agar tak tumpah.
Usai tur singkat tadi, Syaikh bertanya kepada si pemuda, apakah ia melihat kepermaian kebun anggur dan keelokan rumah Syaikh. Pemuda tadi tak bisa berkata-kata, seraya menunjukkan wajah bingungnya. Dengan bijak Syaikh menjawab, “Antara aku dan Allah adalah sebagaimana perhatianmu pada anggur. Jika hatiku sudah tertuju pada Allah, aku tak peduli lagi apakah pemandangan itu indah atau tidak.”
/6/
Kisah-kisah di atas bertautan dengan beribadah di Rumah Allah. Allah Swt. menunjukkan untuk menyembah “Pemilik Rumah”, bukan menyembah “rumah-Nya”. Dengan demikian, kualitas ibadah haji tidak ditentukan oleh kapan ia berhaji, Makkah dalam kondisi lamanya atau tidak; di mana ia menginap, apakah di hotel mewah Fairmont, di Darut Tauhid Intercontinental atau di penginapan murah; namun ditentukan oleh jawaban dari pertanyaan dasar, “Siapa yang Anda sembah di sana? Apakah Kakbah atau Pemiliknya? Yang kemudian memengaruhi mutu manasik sebagaimana yang dituturkan oleh Syaikh Junaid.
Suatu
ketika, dengan bermaksud guyon, seorang
kawan melemparkan pertanyaan nakal, “Jika kualitas haji ditentukan oleh siapa
yang kita sembah, apa masih perlu kita ke Makkah? Selain itu, bukankah qalbul mu`min baitullah?”
Mendengar pertanyaannya, saya hanya bisa diam, tidak mengafirmasinya juga tidak
menyangkalnya. Menilai keimanan seseorang itu perbuatan musykil dan sia-sia.
Dan pertanyaan itu mempunyai jawaban yang menjebak, sebab subjektivitas yang
terkandung di dalamnya. Tapi saya ingat, Syaikh Mansur al-Hallaj dalam suatu
kesempatan pernah berkata, “Manusia umum diwajibkan haji (ke Makkah), sedang
aku sendiri (cukup) berhaji di rumah. Mereka menyembelih kurban, sedang
aku mempersembahkan jiwa dan ragaku. Ada orang yang tawaf di dalam bilik(qalb)nya, maka demi
Allah, sungguh mereka telah bertawaf yang sebenar-benarnya, (karena itulah)
Allah mencukupkan ia dari (pergi haji ke) Haram”.
[1] Mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, yang pernah mukim di Riyadh, Arab Saudi.
2 comments
Sampek sekarang masih mahasiswa ji
Para pencari ilmu memang tidak pernah berhenti belajar ya.hihi