Dialog Al-Ma’mun dan Aristoteles yang Melahirkan Kejayaan Islam

oleh Rahmatullah Al-Barawi
1.8K views

Kisah tokoh merupakan salah satu sarana untuk menggali hikmah, terutama di era kecanggihan teknologi informasi, di mana orang lebih banyak menampilkan pencitraan agar ‘dianggap’ baik daripada menunjukkan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga akhir-akhir ini sering didengar bahwa kita sedang mengalami krisis keteladanan.

Kita membutuhkan sosok yang dapat dicontoh perilakunya. Kita rindu pemimpin yang dapat mengayomi semua golongan. Kita butuh ini dan itu, tanpa kita sadari, kita sedang menuntut. Entah apa dan siapa yang tertuntut dan dituntut, tak menjadi soal.

Pada titik inilah sebenarnya kita lupa bahwa tuntutan itu kembali pada diri kita sendiri. Ibda` binafsik (berawal dari dirimu sendiri). Kita menuntut pemimpin yang adil, padahal setiap dari kita adalah pemimpin. Sudahkah kita bersikap adil sejak dalam pikiran? Dengan demikian, keteladanan itu bukanlah dari orang lain, tetapi dari diri sendiri. Inilah semangat yang dibawa oleh Buya Husein Muhammad dalam bukunya yang berjudul “Lisanul Hal: Kisah-kisah Teladan dan Kearifan”.

Bahasanya yang sederhana tetapi kaya akan makna menjadi keunggulan dari buku yang ditulis oleh Buya Husein Muhammad, terutama bagi generasi muda ataupun masyarakat awam yang ingin belajar, tetapi tak mau berpayah-payah membaca buku tebal yang bahasanya menjenuhkan.

Keunggulan lain dari buku ini adalah mengangkat 73 kisah dari berbagai tokoh dari khazanah klasik umat Islam. Beberapa kisah yang terangkum dalam buku ini mungkin taka sing di telinga,  tetapi ada pula kisah baru yang menarik dan sedikit ‘nyeleneh’.

Salah satu kisah, misalnya, dialog Khalifah Al-Ma’mun dan Aristoteles. Sebentar, bukankah keduanya tidak hidup sezaman? Bagaimana mereka bisa berjumpa dan berdialog? Kisah ini direkam oleh Ibn Nadim dalam kitabnya, al-Fihrasat.  Singkat cerita, Al-Ma’mun bermimpi berjumpa dengan Aristoteles. Kemudian berdiskusi dan Sang Khalifah mendapat banyak pencerahan. Dialog imajinal ‘alam mimpi’ tersebut menginspirasi Al-Ma’mun untuk melakukan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Sehingga Islam pun mencapai puncak masa keemasannya (golden age).

Kisah tersebut memberikan pelajaran bahwa di balik kemajuan Islam pada masa lampau –yang  sering digaungkan oleh sebagian Muslim saat ini— merupakan hasil persilangan antar budaya. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, umat Muslim belajar ke orang-orang Yunani yang non Muslim. Hikmah dari bisa diambil dari kisah itu adalah, bahwa kemajuan dapat diraih bukan dengan menutup diri, tetapi mau terbuka dan berinteraksi.

Secara umum, melalui beragam kisah yang dituturkan dalam Lisanul Hal: Kisah-kisah Teladan dan Kearifan, Buya Husein memperlihatkan cara membangun dialog dan ruang perjumpaan dengan orang yang beragam.

Kisah tokoh  yang diangkat oleh Buya Husein Muahmmad pun beragaman, mulai dari Nabi, khalifah dan ulama yang bertemu dalam dimensi perdamaian dengan pendeta atau orang Yahudi, dll.

Pada kisah lain yang tak kalah menariknya tentang bagaimana merayakan keberagaman pendapat, Buya Husain menyodorkan kisah para Imam Mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) yang saling menghormati bahkan mengakomodir pendapat dari mazhab yang berbeda. Misalnya perkataan Imam Syafi’i: “Apabila argumen-argumenku kurang tepat menurut kalian, maka tidak perlu kalian terima, karena akal pikiran meniscayakan pikiran yang benar.”

Pernyataan tersebut sekaligus menegaskan legalitas akal dalam memahami kebenaran. Bahwa orang yang beragama, juga harus orang yang berakal. Sebab, tanpa daya nalar yang mendalam, maka spirit agama akan tenggelam. Agama tidak menjadi sumber kemajuan, tetapi justru kemunduran.

Ada banyak kisah dalam buku tersebut yang menunjukkan betapa seriusnya orang-orang dulu dalam menuntut ilmu. Membaca dan menulis menjadi rutinitas yang tak dapat dipisahkan. Bahkan, pad satu kisah ada yang sampai lupa makan karena asyiknya dalam membaca buku. Mungkin berbeda dengan sebagian orang saat ini yang hobinya hanya memotret buku di atas meja makan, kemudian menyantap hidangan dan lupa untuk membacanya.

Meski demikian, dimensi rasional hanyalah satu bagian dari bangunan besar pemikiran Islam. Dimensi lain yang juga dibutuhkan adalah sentuhan spiritual, mistisisme atau tasawuf. Sejumlah tokoh sufi juga dikisahkan oleh Buya Husein Muhammad  dalam buku tersebut, seperti Abdul Qadir Al-Jilani, Al-Qunawi, Maulana Rumi, hingga Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi.

Tentu tulisan ini tidak akan menceritakan semua isi buku, karena kisahnya bisa dibaca lengkap dalam buku yang masih ‘bau’ percetakan.

Kelihaian Buya Husein Muhammad dalam meramu kisah memiliki relasi dengan problem kemanusiaan saat ini. Ada kekerasan, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dll. Hal-hal itu dapat kita temukan uraiannya dalam kisah yang singkat dan padat. Sebagaimana kata Bung Karno, ‘Jas Merah’, “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.” Kita bisa belajar dari sejarah.

Melalui buku ini, kita bisa melihat karakter generasi salafus salih yang terbuka, berwawasan luas, menghormati perbedaan, toleran, dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Sehingga seharusnya semboyan untuk meneladani generasi salaf, akan membuat kita menjadi sosok yang lebih inklusif, bukan eksklusif, pribadi yang toleran, dan tidak menuntut keseragaman. Wallahu a’lam bish shawwab.

Editor: Nur Hayati Aida

Rahmatullah Al-Barawi

Rahmatullah Al-Barawi

Co-Founder Quranic Peace Study Club

You may also like

2 comments

Ahmad Kurniawan Al-abshori
Ahmad Kurniawan Al-abshori Maret 18, 2020 - 11:49 pm

Keren mas asli,,, pantengin terus deh di afkaruna

Reply
Achmad Fathurrohman
Achmad Fathurrohman Maret 19, 2020 - 2:25 am

Terima kasih, kak
Baca selalu Afkaruna.id

Reply

Leave a Comment