Jika mendengar kata seksualitas itu cair, apa yang ada di kepala? Sejujurnya, saya tak pernah benar-benar mengetahui maknanya sampai pada titik saya bertemu dengan tulisan Ester Pandiangan. Ada satu artikel di buku terbarunya yang membuat saya menyadari dan memahami apa makna cair dari seksualitas itu.
Setiap manusia dilahirkan di dunia ini hanya punya dua kemungkinan: (menjadi) laki-laki atau (menjadi) perempuan. Sebab, hanya ada dua alat vital (vagina dan penis) yang merujuk pada penyebutan jenis kelamin.
Nah, proses menjadi perempuan atau laki-laki inilah yang—menurut pemahaman saya—menyebabkan seksualitas itu cair. Dalam perjalanan menjadi perempuan dan laki-laki, ruang (bukan hanya soal bangunan tembok persegi empat, tetapi juga soal budaya) dan waktu (bukan hanya durasi, tetapi juga terkait dengan kesempatan) sangat menentukan seseorang dalam menghayati dirinya dan ketubuhannya.
Selama ini, kebanyakan dari kita merasa menjadi perempuan atau laki-laki karena masyarakat menduga kita sebagai laki-laki atau perempuan berdasarkan alat vital yang kita miliki. Padahal, alat vital bukanlah jaminan bahwa itu menunjukkan seksualitas manusia yang sesungguhnya.
Dalam ruang-ruang yang agak gelap dan tersamar, kita sering menemui seksualitas seseorang berubah. Misalnya, seorang waria yang kemudian tiba-tiba kembali pada “stelan pabrik” atau seseorang yang awalnya hetero tiba-tiba bisa mencintai sesama jenis dengan dalam. Permisalan pertama bukan karena ia sedang bertobat, dan permisalan kedua bukan karena ia dikerubungi setan. Kedua permisalan itu memperlihatkan bahwa ruang dan waktu memiliki pengaruh dalam proses kita menjadi laki-laki atau perempuan. Pertemuan-pertemuan realitas masuk dalam kesadaran manusia, membentuk identitasnya sendiri. Jika ia berani, bisa jadi ia lantang berkata: “Eh, aku bukan hetero atau homo, aku adalah biseksual.”
Namun, sekali lagi, seksualitas yang cair ini bukan hanya soal orientasi seksual. Ia menjangkau hal-hal subtil yang kadang baru bisa dibaca dalam ruang sunyi kontemplasi—dan baru bisa dibunyikan ketika ada nyali. Seperti bagaimana orang harus menampilkan ekspresi wajahnya: hendak maskulin atau feminin, hendak seperti laki-laki atau perempuan. Dan sekali lagi, hal itu tak pernah ada hubungannya dengan orientasi seksual seseorang.