Hampir setiap hari media sosial kita disesaki berbagai informasi. Tak jarang, informasi yang dibawa berisi kabar bohong atau fake news.
Di era post truth ini, di mana kebenaran yang benar terlalu sulit dibedakan dengan kebenaran buatan, berita bohong diproduksi sebagai alat propoganda dan modal untuk membenarkan kebenaran buatan versi yang diinginkan. Banyak orang yang terkecoh, bahkan sulit lepas dari berita bohong dan menganggapnya kebenaran. Pun saat yang lain memberikan informasi atau fakta yang sesungguhnya akan tetap ditolaknya.
Berita-berita bohong dan kebenaran buatan adalah bom waktu kewarasan yang suatu saat siap meledak kapan saja. Menghantam mereka yang tak berani kritis pada informasi, dan pada mereka yang terlalu sayang mendekap imajinasi-imajinasi utopis tentang sesuatu, tentang jaminan surga, misalnya, atau tentang sesuatu yang dalam dan subtil, yaitu keimanan. Maka jangan heran, bila yang percaya kabar bohong bisa jadi adalah para sarjana yang gelarnya menterang.
Bagaimana kita bisa membentengi diri dari kabar bohong dan propoganda? Yang Pertama mesti dilakukan adalah bersikap skeptis pada semua informasi yang didapat. Tak terkecuali. Setiap kali mendapatkan informasi, tak perlu dengan mudah menelannya mentah-mentah. Kita harus memberikan jarak antara diri kita dan informasi tersebut dengan keragu-raguan dan tidak percaya. Hal ini penting. Supaya kita memiliki jeda untuk menimbang dan mengukur seberapa akurat informasi tersebut.
Skeptis jualah yang dipakai oleh para filsuf untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Kita pasti tahu ucapan terkenal milik Descartes, Cogito Ergo Sum (Aku berpikir, maka aku ada). Dari sini kita diajak untuk terus mempertanyakan sesuatu sebagai bentuk eksistensi diri. Bukan karena berpikir kita menjadi ada, tetapi karena kita ada-lah sehingga kita harus berpikir.
Kedua, setelah proses skeptis dilalui, kita harus masuk pada penelusuran mata rantai informasi atau di dalam ilmu hadis disebut dengan sanad. Siapakah orang yang membawa informasi tersebut atau siapa yang berbicara? Apakah dia bisa dipercaya? Bagaimana rekam jejaknya? Apakah dia pernah tersandung kasus berita bohong? Apakah dia pakar atau bukan?
Mengapa kita perlu melihat siapa pembawa berita atau siapa yang berbicara? Tentu saja supaya terhindar dari berita bohong. Kehati-hatian dalam melihat dan memilih pembawa berita macam ini dilakukan oleh para pengumpul hadis. Imam Bukhari, misalnya, harus memverifikasi satu hadis dan baru menuliskan dalam buku setelah menemui ribuan orang yang kredibilitasnya tak diragukan. Imam Bukhari dikenal sebagai ulama yang sangat ketat dalam seleksi hadis untuk menghindari hadis palsu atau hadis yang tingkat kebenarannya diragukan. Dengan melihat rekam jejak dan siapa yang bicara, kita akan mudah mengenali berita yang dibawanya, berita benar atau bohong.
Sekarang jika menerima berita tanpa kejelasan pembawa informasi atau penyampai informasi, yang harus dilakukan adalah meragukannya. Bukan menyebarkannya hanya karena ada perintah di akhir kalimat: viralkan!
Kalau urusan pembawa berita kredibel dan tak memiliki rekam jejak sebagai pembawa berita bohong, bukan berarti informasi bisa diterima tanpa skeptis. Kita akan masuk pada tahap ketiga yaitu mencermati dengan saksama kandungan teks atau isi beritanya. Apakah berita yang dibawa membawa manfaat ataukah mudarat? Apakah berita yang dibawa berpotensi membuat gaduh? Apakah informasi yang diberitakan berisi fitnah atau tidak? Dan seterusnya. Dalam ilmu hadis, ini dinamakan kritik matan (kandungan teks). Ada beberapa berita/informasi sesuai fakta dan keadaan, tapi tidak baik disebarluaskan demi kemaslahatan.
Bagaimana jika pembawa berita adalah orang yang kita anggap kredibel, dan apa yang disampaikan adalah tulisan/quote/ pernyataan oleh orang yang kita anggap kredibel, tetapi isinya meresahkan dan berpotensi membuat gaduh?
Yang harus dilakukan jika menemui hal di atas adalah tabayun. Bagaimana caranya? Sekarang ini hampir tak ada sekat. Dengan bantuan media sosial kita bisa mengkonfirmasi langsung atau dalam agama disebut dengan tabayun. Media sosial memungkinkan kita untuk berdialong secara virtual dengan berbagai kalangan, dari rakyat jelata sampai menteri, dari kiai sampai presiden.
Apakah tabayun di media sosial harus diposting di timeline sendiri dan diberi caption yang macam-macam tanpa men-tag orang yang dimaksud? Tidak seperti itu. Hal itu malah bisa membuat sesuatu yang diresahkan menjadi viral. Sebaiknya tabayun dilakukan via inbox/dm. Pastikan apakah benar itu tulisan/ucapan orang tersebut. Jika sudah, jangan buru-buru men-share ke orang lain. Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah, apakah memberi manfaat? Ataukah menimbulkan mudarat yang lebih besar?