Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik

oleh Zaprulkhan
212 views
perempuan bukan makhluk domestik

Apakah Perempuan Makhluk Domestik dan Laki-Laki Makhluk Publik?

Jika diajukan pertanyaan kepada kita: Apakah perempuan makhluk domestik dan laki-laki makhluk publik? Boleh jadi sebagian kita akan menjawab secara positif: Ya, perempuan merupakan makhluk domestik dan laki-laki merupakan makhluk publik. Barangkali kita masih cenderung menganggap perempuan sebagai makhluk domestik yang wilayah tugasnya harus lebih banyak di rumah daripada di ruang publik. Sebaliknya, kita menilai kaum lelaki sebagai makhluk publik yang wilayah tugasnya harus lebih banyak di ruang publik ketimbang urusan domestik rumah tangga.

Namun Kyai Faqihuddin Faqih Abdul Kodir , melalui buku terbarunya: Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik, menyuguhkan jawaban yang berbeda. Kang Faqih tidak memberikan jawaban yang bersifat hitam-putih: bahwa perempuan wilayah tugasnya domestik dan lelaki wilayah tugasnya publik. Bagi Kang Faqih, memang benar perempuan adalah makhluk domestik, yang terlibat dalam kerja-kerja layanan di ranah domestik. Ia berhak memperoleh kebaikan dari ranah tersebut dan menikmati kebahagiaan di dalamnya. Namun, ia juga makhluk publik yang berhak terlibat dalam segala kerja-kerja di ranah publik dan menikmati kebaikan di dalamnya. Pada saat yang sama, laki-laki juga berhak menjadi makhluk domestik, dengan menikmati kebaikan di dalamnya, serta berkewajiban mewujudkan kebaikan tersebut, bekerja sama dengan anggota keluarga perempuan.

Karena itu, “Dalam perspektif mubadalah”, tulis Kang Faqih, “ranah domestik adalah tempat ibadah bagi laki-laki dan perempuan dengan bekerja sama mewujudkan kebaikan di dalamnya dan menikmatinya.”

Secara umum, buku ini membahas hadis-hadis yang berhubungan dengan peran perempuan dalam ranah domestik dan publik dalam tiga aspek: Hadis-hadis tentang pernikahan, Hadis-hadis tentang pergaulan suami-istri, dan Hadis-hadis tentang pengasuhan. Ketiga macam aspek hadis-hadis tersebut, dielaborasi oleh Kang Faqih secara demonstratif dengan menggunakan perspektif mubadalah. Seperti biasa, dengan kepiawaian Kang Faqih dalam menggunakan perspektif mubadalah, peran perempuan yang selama ini dianggap hanya untuk wilayah domestik, menjadi jelas bahwa perempuan juga mempunyai peran publik yang besar dalam kehidupan sebuah bangsa.

Mari kita lihat contoh konkretnya secara langsung. Di sini saya cuma akan meringkas beberapa contoh dari masing-masing hadis dari tiga aspek hadis yang ada dalam buku ini. Saya akan lebih banyak mengutip uraian-uraian Kang Faqih apa adanya agar pembaca bisa merasakan langsung bagaimana perspektif mubadalah bekerja.

Hadis-Hadis Tentang Pernikahan


Ada sebuah Hadis yang sukup populer yang menyebutkan bahwa ketika seseorang menikah, ia telah menyempurnakan separuh agama. Hadis tersebut sebagai berikut:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدْ كَمُلَ نِصْفُ الدِّينِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي“
Apabila seorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agama dan bertakwalah kepada Allah dalam separuh sisanya”.Lazimnya, sebagian kita mengartikan separuh agama di sini adalah separuh keberagamaan kita yang mencakup berbagai bentuk ibadah ritual juga. Ketika menikah, maka kita menganggap sudah menjalankan separuh agama kita; separuh keberislaman kita.

Tapi dalam perspektif mubadalah, maknanya bukan itu. Menurut Kang Faqih, kata din dalam teks hadis tersebut bermakna ajaran-ajaran agama terkait akhlak mulia tentang relasi pernikahan.Secara etimologi, kata din memiliki arti utang dan tanggung jawab. Artinya, kata din pada teks hadis menikah sebagai separuh agama adalah tentang komitmen berelasi dalam pernikahan yang didasarkan pada ajaran Al-Qur’an, yaitu saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bi al-ma’ruf) (QS. Al-Nisa: 19). Apabila yang berkomitmen hanya satu pihak, maka disebut sebagai separuh agama atau separuh komitmen.

Menurut Kang Faqih, makna hadis di atas, akan lebih jelas maknanya jika dikaitkan dengan teks hadis dalam riwayat lain:

مَنْ رَزَقَهُ اللَّهُ امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ اللَّهُ عَلَى شَطْرِ دِينِهِ، فَلْيَتَّقِ اللَّهَ فِي الشَّطْرِ الثَّانِى

“Barang siapa yang diberi anugerah oleh Allah seorang istri salihah, maka ia telah tertolong separuh tanggung jawabnya (melalui komitmen istri), maka bertakwalah kepada Allah (agar ia juga memiliki komitmen) pada separuh (tanggung jawab) yang lain”.

Dianggap separuh karena baru dari satu pihak (dari istri terhadap suami), maka harus dilengkapi dengan separuh lagi dari pihak lain (suami terhadap istri) agar lengkap menjadi komitmen yang utuh.Teks hadis tersebut menegaskan jika pernikahan disebut sebagai komitmen untuk menerapkan prinsip saling berbuat baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf) dan akhlak mulia (makarim al-akhlaq), maka keberadaan istri salihah baru separuhnya saja. Separuh yang lain untuk menyatukan komitmen dan tanggung jawab ini ada dari pihak suami yang saleh. Dengan adanya komitmn suami saleh dan istri salihah ini, maka komitmen dan tanggung jawab beragama dalam pernikahan telah menjadi sempurna.

Menikah adalah sarana bagi seseorang untuk melakukan kebaikan, tetapi juga bisa berubah menjadi sarana melakukan keburukan. Dalam fikih, hukum menikah bisa haram jika tujuannya melakukan keburukan. Karena menikah adalah sarana, maka ia tidak disejajarkan dengan praktik ibadah agama seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.

Menikah bisa disebut sebagai ibadah, jika dimaknai sebagai sarana yang kondusif bagi suami atau istri untuk melakukan hal-hal baik yang diperintahkan agama. Oleh karenanya, menikah tidak bisa disebut sebagai separuh agama dalam arti ibadah ritual sebagaimana shalat dan puasa. Sebab, maksud din dalam teks hadis adalah komitmen, tanggung jawab dan amanah untuk mu’asyarah bi al-ma’ruf dengan pasangan yang dinikahi.

Seseorang yang menikah dan memperoleh pasangan yang saleh/salihah itu baru mendapatkan separuh modal untuk menjalankan komitmen tersebut, sehingga ia masih memerlukan separuh yang lain dari dirinya sendiri agar menjadi satu modal utuh untuk komitmen yang kokoh.“Perempuan salihah adalah separuh modal”, tegas Kang Faqih, “dan laki-laki saleh adalah separuh modal, yang jika keduanya digabungkan akan menjadi satu modal yang utuh dan sempurna dalam mengelola kehidupan rumah tangga.”

Bagi Kang Faqih, inilah yang disebut relasi yang timbal-balik atau mbuadalah antara suami-istri. Dengan relasi ini, suami dan istri sama-sama memiliki komitmen dan tanggung jawab untuk mengimplementasikan prinsip relasi mu’asyarah bi al-ma’ruf yang diharapkan oleh Al-Qur’an.

Selanjutnya ada hadis sahih populer yang menganjurkan ada empat hal yang biasanya dituju laki-laki saat menikahi perempuan.

“Seorang perempuan itu dinikahi karena empat hal: hartanya, status sosialnya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah perempuan yang memiliki agama, agar kehidupan (rumah tanggamu) lebih terpuji dan lestari.”

Pada hadis di atas, Nabi Saw memberitakan tentang kebiasaan orang dalam memilih calon dengan mempertimbangkan harta, status, kecantikan, dan agama. Nabi Saw memerintahkan untuk memilih pertimbangan utama, yaitu agama. Tidak salah jika mempertimbangkan juga faktor yang lain, sementara agama yang akan mengikat harta, rupa, dan strata sosial menjadi modal kebaikan bagi kelangsungan hidup berumah tangga.

Pertanyaannya: Apa yang dimaksud agama dalam hadis tersebut? Biasanya, kita memaknai agama dalam hadis terbut secara umum. Artinya ketika akan menikah, maka seorang pemuda perlu mengutamakan pilihannya pada pemudi yang beragama, yang salihah, yang taat perintah agama. Tapi maknanya bukan itu. Menurut Kang Faqih, agama yang dimaksud dalam teks hadis terbut adalah prinsip-prinsip yang diajarkan Islam sebagai fondasi moral dalam berumah tangga. Seseorang, karena komitmennya pada prinsip-prinsip ini, akan menggunakan seluruh modal dan potensi yang dimilikinya untuk mendatangkan kebaikan dalam rumah tangganya, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, melindunginya dari segala keburukan, dan membuatnya lestari sebagai ikatan penuh kebahagiaan satu sama lain, sebagaimana yang dianjurkan Al-Qur’an (QS. Al-Rum 30: 21).

Prinsip-prinsip agama yang dimaksud adalah lima pilar parnikahan dalam Islam, yaitu: pertama, pentingnya komitmen pada pernikahan sebagai ikatan yang kokoh (mitsaq ghaliz) (QS. Al-Nisa 4: 21). Kedua, prinsip berpasangan dan mitra antara suami dan istri (zawaj) (QS. Al-Baqarah 2: 187 dan QS. Al-Ru, 30: 21). Ketiga, saling memberi kenyamanan dan saling rida satu sama lain (taradh) (QS. Al-Baqarah 2: 233). Keempat, saling memperlakukan dengan baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf) (QS. Al-Nisa 4: 19). Kelima, kebiasaan pasangan suami istri untuk saling bermusyawarah (tasyawur) (QS. Al-Baqarah 2: 233).

Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim disebutkan bahwa agama adalah kehendak dan komitmen untuk mewujudkan kebaikan (Shahih Muslim, no. 205). Artinya yang harus dimiliki oleh calon mempelai laki-laki maupun perempuan adalah kehendak dan komitmen masing-masing untuk mewujudkan kebaikan dalam berumah tangga. Lima pilar pernikahan yang disebutkan Al-Qur’an di atas adalah kerangka yang dapat mengikat pasangan suami-istri untuk bisa mewujudkan agama (kebaikan) dalam kehidupan berumah tannga mereka.

Agama dengan maknanya yang fundamental ini akan menjadi fondasi utama dalam kehidupan rumah tangga yang bisa menghadirkan segala kebaikan untuk semua anggota keluarga dan melindungi dari segala keburukan. Tanpa lima pilar pernikahan ini, bisa jadi harta justru akan membuat kehidupan rumah tangga akan saling berebut kekayaan dan mudah menyakiti. Keindahan fisik juga sangat mungkin menipu diri, menjadikan sombong, dan mungkin mudah merendahkan orang lain, termasuk anggota keluarga sendiri. Begitu pun status sosial, sangat rentan untuk digunakan sebagai modal untuk menipu dan memanipulasi orang lain, sehingga berakibat buruk bagi kelangsungan rumah tangga.Jadi, bagi Kang Faqih, hadis ini juga berlaku secara mubadalah. Artinya, yang diharapkan memiliki prinsip-prinsip agama, berupa lima pilar rumah tangga, tidak hanya perempuan, namun juga laki-laki. Sebab, jika hanya salah satu yang berpijak pada prinsip agama, maka tidak akan terjadi kehidupan rumah tangga yang sama-sama bahagia dan membahagiakan.

Rumah tangga dianggap sakinah dan maslahat hanyalah jika kedua sayapnya (suami dan istri) benar-benar menerapkan kelima prinsip tersebut.Prinsip-prinsip agama ini menyasar laki-laki dan perempuan dengan penggunaan kata kesalingan dan kerja sama dalam semua aspek. Mulai dari memandang pernikahan sebagai ikatan kokoh yang harus dijaga bersama, karakteristik pernikahan sebagai kemitraan, kesalingan dalam bebuat baik, kesalingan dalam bermusyawarah dan dalam memenuhi kerelaan masing-masing.

Hadis-Hadis Tentang Pergaulan Suami-Istri

Ungkapan “Istri adalah ladang bagi laki-laki” sangat populer di kalangan umat Islam. Ungkapan ini merujuk pada QS. Al-Baqarah 2: 223 yang berbunyi:“Istri-istri kalian adalah (bagaikan) ladang (untuk kebahagiaan) kalian, maka, saat kalian menginginkan (kebahagiaan itu), datangilah ladang kalian itu (bukan mendatangi ladang orang lain). Upayakan (agar) kalian memperoleh yang kalian inginkan (dari ladang tersebut). Namun tetaplah kalian bertakwa kepada Allah (dengan memegang teguh prinsip-prinsip yang diajarkan), dan ketahuilah bahwa kalian semua akan menemui-Nya (untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian). Bergembiralah mereka orang-orang yang beriman (yang sebagai pasangan suami istri bisa saling membahagiakan, dan dengan tetap pada ketakwaan).”

Menurut Kang Faqih, ungkapan ini benar, tetapi bersifat simbolik dan harus dibaca dengan perspektif mubadalah. Untuk suami (laki-laki), istilah ladang dalam diri istri bisa berarti rahim—tempat mengandung anak yang membahagiakan. Ladang juga bisa berarti ladang untuk kenikmatan seksual. Ladang bisa juga berarti ladang kebaikan—tempat menanam dan memanen berbagai kebaikan. Ladang juga bisa berarti ladang ibadah—tempat segala amal baik dilakukan dan bisa mengantarkan ke surga. Namun, perlu diingat bahwa suami akan menemui Allah untuk mempertanggungjawabkan hubungan dengan istrinya.

Ungkapan “ladang” juga berlaku mubadalah bagi istri (perempuan). Artinya laki-laki juga bagaikan ladang bagi perempuan. Laki-laki sebagai suami adalah juga ladang kebaikan atau jalan bagi perempuan ketika ia ingin memperoleh anak yang akan di kandung dan dilahirkannya. Anak yang juga akan membahagiakan hidupnya. Suami juga satu-satunya ladang kebaikan yang halal bagi istrinya untuk menikmati hubungan seksual dan memperoleh kenikmatan. Suami juga ladang kebaikan bagi istrinya untuk memperoleh kebaikan hidup yang bisa membuatnya senang, gembira, dan berbahagia. Suami juga menjadi ladang ibadah bagi istrinya untuk bisa menabung banyak pahala melaluinya.

Sebagaimana laki-laki, perempuan berhak atas semua kenikmatan, kesenangan, kebahagiaan, dan kebaikan surga melalui suami mereka. Para perempuan juga akan menemui Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan relasi dengan suami mereka.Karena itu, dalam interpretasi mubadalah, QS. Al-Baqarah 2: 223 juga memanggil keduanya, “Wahai laki-laki dan perempuan, para pasangan suami-istri, kalian bagaikan ladang kebaikan satu kepada yang lain. Untuk menanam dan menuai segala kebaikan, kenikmatan, dan kebahagiaan hidup, baik di sini, maupun di akhirat nanti”.

Laki-laki dan perempuan, sebagai pasangan suami-istri harus menjaga, memelihara, dan menumbuhkan relasi yang menyenangkan dan membahagiakan melalui ladang kebaikan ini. Laki-laki dan perempuan berhak atas semua kenikmatan, kesenangan, kebaikan, dan kebahagiaan dari pernikahan. Namun, keduanya harus tetap bertakwa, karena akan menemui Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan semua yang diperbuat.

Dan pasangan suami istri yang mengamalkan laku mubadalah demikian ini, dengan menebar benih di ladang kebaikan seperti ini, adalah mereka orang-orang yang beriman yang berhak memperoleh kabar gembira dari Allah SWT (wa basysyir al-mu’minin), baik kebahagiaan hidup di dunia, maupun surga akhirat.

Hadis-Hadis Tentang Pengasuhan

Salah satu hak dasar anak yang harus dipenuhi oleh orang tua adalah pendidikan. Pendidikan anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, keluarga, dan negara. Sayangnya, masih ada orang tua yang memandang pemukulan terhadap anak sebagai metode untuk mendidik. Bahkan ada yang menganggap pemukulan sebagai satu-satunya metode efektif untuk mendisiplinkan anak.

Ada hadis yang sering dianggap melegitimasi pemukulan terhadap anak. Secara tekstual, hadis tersebut berbicara tentang cara mendidik anak-anak untuk shalat. Ada dua versi hadis dengan substansi yang sama. Pertama, menggunakan kata addibu (didiklah). Sementara versi kedua menggunakan kata idhribu (pukullah). Jika melihat dua kata yang digunakan dalam dua versi hadis tersebut, dharb (memukul) anak harus dalam konteks untuk ta’dib (mendidik). Jika tidak untuk mendidik, misalnya karena emosi atau ternyata memukul itu tidak bisa mendidik, seharusnya bisa beralih pada metode lain, selain memukul.

Rasulullah Saw bersabda:

“Ajari anak-anak kalian tentang shalat mulai usia tujuh tahun, didiklah mereka tentangnya pada saat usia sepuluh tahun, dan pisahkan ranjang mereka (pada usia sepuluh tahun).”

Rasulullah Saw bersabda,“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka karenanya pada saat sudah berusia sepuluh tahun, juga pisahkan ranjang mereka (pada usia sepuluh tahun).”

Secara literal, teks di atas tidak menyertakan kualifikasi dan syarat-syarat yang jelas tentang kebolehan memukul anak. Namun, fikih menjelaskan dalam syarat berjenjang, kualifikasi terukur, dan tanggung jawab dari orang tua atau wali ketika mempraktikkan hal tersebut dengan perspektif kasih sayang dan tujuan mendidik.Kalangan ulama kontemporer menjelaskan hadis ini memberikan nuansa yang lebih ketat tentang syarat-syarat ini. Intinya, memukul memang menjadi salah satu metode yang dipraktikkan dalam konteks mendidik pada saat anak tidak ada lagi metode lain yang efektif. Selama masih ada metode lain, memukul tidak boleh dipilih orang tua maupun wali.

“Penukulan yang dimaksud hadis adalah yang ringan, tidak menyakiti, tidak di muka, dan tidak menyebabkan luka fisik maupun psikis.” Karena teks ini hadir dalam konteks mendidik dan membiasakan anak berbuat kebaikan, ia sama sekali tidak boleh digunakan untuk melegitimasi kekerasan terhadap anak. Kekerasan domestik terhadap anak yang tidak terkait dengan konteks mendidik, apalagi semena-mena, adalah diharamkan Islam.

Menurut Kang Faqih, hadis tentang pendidikan anak tersebut bisa dibaca melalui pendekatan maqashid al-syariah. Usia anak adalah masa tumbuh kembang untuk menjadi manusia dewasa yang utuh dan bertanggung jawab. Dalam masa ini, kemaslahatan anak menjadi prioritas, karena itu perspektif kasih sayang menjadi landasan utama dalam semua fase pendidikan anak yang tumbuh kembang menjadi dewasa.Kemaslahatan anak ini bisa diwujudkan dengan kerangka maqâshid al-syarî’ah, yaitu untuk melindungi nyawa dan jiwa anak (hifzh al-nafs), melindungi akal dan pengetahuannya (hifzh al-‘aql), melindungi harta dan sumber daya ekonominya (hifzh al-mâl), melindungi fungsi reproduksinya (hifzh al-nas) dan melindungi nalar spiritualnya (hifzh al-din).

Teks Hadis pemukulan pada Sunan Abî Dâwûd di atas bisa diintepretasikan ulang dengan kerangka maqâshid al-syari’ah.Dalam kerangka maqâshid al-syari’ah, Hadis di atas bisa diinterpretasikan sebagai sanksi tegas yang mendidik atas pelanggaran yang dilakukan seorang anak. Sanksi ini harus disesuaikan dengan tujuan pendidikan dan diselaraskan dengan usia tumbuh kembang anak. Misalnya, bentuk sanksinya adalah dijauhkan dari mainan, atau dikurangi jam main yang biasa dimiliki sebelumnya, atau dengan melakukan kerja-kerja sosial untuk kepentingan keluarga dan masyarakat.

Dalam kerangka maqâshid al-syari’ah, sanksi diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran anak tentang pentingnya komitmen pada aturan main atau kesepakatan. Sanksi harus lebih tegas lagi jika berhadapan dengan anak-anak pelaku kejahatan yang merusak secara sosial. Sebagaimana banyak disiarkan dalam berbagai berita, anak-anak juga melakukan kejahatan seperti yang dilakukan oleh orang dewasa, seperti mencuri, berbuat cabul, pelecehan seksual, bahkan membunuh. Dalam konteks mendidik, anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan harus diberi sanksi yang tegas agar tidak mengulangi perbuatannya. Islam, sebagaimana ditegaskan hadis nomor 2484 Nabi Saw dalam kitab Shahîh al-Bukhâri, tidak hanya menganjurkan perlindungan manusia agar tidak menjadi korban kezaliman, tetapi juga dilindungi agar tidak menjadi pelaku.Pada konteks perlindungan seorang anak dari kemungkinan menjadi pelaku kejahatan, atau mengulangi kejahatan yang dilakukannya, hadis pemukulan anak bisa dirujuk dan dimaknai ulang yang lebih relevan dan kontekstual dalam hal mendisiplinkan dan mendidik mereka. Yaitu dalam bentuk yang mendidik anak sesuai dengan konteks masing-masing. Karena mereka yang di usia anak, juga perlu dididik dan dibiasakan untuk tidak menjadi pelaku kejahatan. Artinya, mereka harus ditolong dengan dididik secara baik agar tidak menjadi pelaku kejahatan.Lalu bagaimana cara pengasuhan atau mendidik anak dalam perspektif Islam? Kang Faqih menayangkan lima pilar pengasuhan dan pendidikan anak yang berangkat dari semangat kemaslahatan terbaik bagi si anak.

Pertama, pilar rahmah.

Dalam berelasi dengan anak, kedua orang tua harus mendasarkan pada prinsip kasih sayang yang muaranya pada kepentingan anak. Ketika berbicara dan berperilaku yang dimaksudkan untuk mendidik anak, pastikan sang anak yang akan memperoleh manfaat. Pilar ini merujuk Hadis-hadis tentang prinsip utama relasi dengan anak adalah dasar kasih sayang. Di antaranya termuat dalam kitab Shahîh al-Bukhârî Hadis no. 6063 dan Sunan al-Tirmidzî Hadis no. 2046.Dari az-Zuhri: diceritakan kepada kami, oleh Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW. mencium sang cucu, Hasan bin Ali, dengan penuh kasih sayang. Di samping beliau ada Aqra bin Habis al-Tamimi r.a. menimpali: “Aku punya anak sepuluh, tidak ada satu pun yang aku cium. Nabi SAW memandangnya (penuh heran) lalu berkata: “Orang yang tidak menyayangi (anak, atau orang lain) akan sulit disayangi (Tuhan dan atau manusia)” (Shahih Al-Bukhari, no. 6063).Dari Ibn Abbas r.a. berkata: Rasulullah Saw. Bersabda “Bukan dari kelompok kami orang yang tidak menyayangi anak-anak kecil kami dan tidak menghormati orang-orang tua kami, tidak memerintahkan kebaikan dan tidak mencegah kemungkaran. (Sunan al-Tirmidzî, no. 2046).

Kedua, pilar fitrah atau dasar.

Dalam melakukan kerja pengasuhan (mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak) harus memahami bahwa anak memiliki fitrah dasarnya sendiri dan dunia perkembangannya sendiri. Anak bukan orang dewasa yang dalam bentuk mini. Bayi usia 0-1 tahun, lalu usia 1-3 tahun, kanak-kanak, dan remaja, dan seterusnya memiliki fitrah dasarnya masing-masing, baik secara biologis, psikis, maupun mental. Pilar ini merujuk pada teks Hadis di kitab Shahîh al-Bukhârî no. 1401 tentang fitrah tersebut.

Ketiga, pilar mas’uliyyah atau tanggung jawab.

Pengasuhan harus mengembangkan anak menjadi pribadi yang bertanggung jawab, disiplin, memiliki rencana, dan mandiri. Merumuskan nilai utama keluarga, menyepakati aturan bersama adalah bagian dari pilar mas’üliyyah ini. Pilar ini bisa mengambil inspirasi dari kisah anak berumur 7 tahun, pada masa Nabi Saw sudah dipercaya untuk menjadi imam shalat dengan jemaah orang dewasa. Dengan dipercaya menjadi imam shalat, seseorang dilatih untuk menjadi orang yang bertanggung jawab tentang bacaan dan kepemimpinan terhadap orang lain.Dari Amr bin Salamah r.a. berkata: Ayahku masuk Islam lebih dahulu dari kaumku, ketika ayahku datang menemui mereka, dia berkata: “Aku baru saja datang dari pertemuan bersama Nabi Saw beliau meminta kalian (yang sudah masuk Islam) untuk shalat dengan cara demikian, pada waktu demikian. Jika waktu shalat tiba, maka salah satu ada yang azan, dan yang paling pandai membaca al-Qur’an akan menjadi imam.” Lalu orang-orang kaumku mencari-cari dan tidak menemukan orang yang paling pandai al-Qur’an selain diriku, karena aku yang pertama kali belajar dari kafilah yang datang (dan sudah pergi). Mereka memintaku menjadi imam, padahal usiaku saat itu enam atau tujuh tahun”. (Shahih al-Bukhâri, no. 4347).

Keempat, pilar mashlahah atau kontributif.

Pengasuh harus mengembangkan anak menjadi pribadi yang saleh, kontributif, memberi manfaat, dan mendatangkan kebaikan bagi diri, keluarga, masyarakat, lingkungan, dan semesta. Pilar ini yang memaksimalkan daya dorong anak untuk kerja kebaikan (amar makruf), sekaligus daya tahan menolak segala keburukan (nahi mungkar). Pilar ini mengambil inspirasi dari peran setiap orang ketika dewasa untuk menjadi khalifah Allah SWT yang memakmurkan bumi dan menghadirkan kebaikan, kemaslahatan, dan keadilan. Hal ini perlu dilatihkan kepada anak sejak kecil agar tumbuh dewasa sebagai orang yang bersikap dan berperilaku mashlahah atau memberikan kontribusi kebaikan kepada masyarakat, umat, dan bangsa.

Kelima, pilar uswah hasanah atau teladan.

Untuk memuluskan empat pilar di atas, kedua orangtua harus selalu berusaha menjadi teladan yang mengawali semua nilai yang dianggap baik, kebaikan yang diajarkan, dan kesepakatan yang dibuat bersama. Jika merujuk kepada Nabi Saw, pilar ini tentu saja terinspirasi dari pribadi Nabi Saw yang menjadi teladan kebaikan bagi umat manusia, terutama bagì mereka yang masih di usia anak-anak. Kisah-kisah relasi Nabi Saw dengan Sahabat Anas bin Malik r.a. yang berusia sepuluh tahun saat menjadi pelayan beliau adalah di antara rujukan inspirasi keteladanan ini.

Itulah sebagian kecil wacana tentang peran perempuan baik dalam ruang domestik maupun publik melalui perspektif mubadalah. Tentu saja masih banyak topik-topik lain tentang peran perempuan dalam pernikahan, pergaulan suami-istri dan pengasuhan anak. Yag menarik, dalam setiap pembahasan selalu berangkat dari sebuah hadis yang relevan, lalu Kang Faqih membahasnya melalui pendekatan mubadalah yang membuka perspektif-perspektif baru yang belum kita ketahui selama ini. Karena itu, buku ini amat layak dibaca oleh siapa pun yang peduli dengan segala hal yang berhubungan dengan peran perempuan dalam ruang domestik dan publik secara harmonis.

Tulisan ini pertama kali di muat di sini.

Zaprulkhan

Zaprulkhan

You may also like

Leave a Comment