Perempuan tak pernah benar-benar memiliki tubuhnya sendiri. Semenjak lahir, tubuhnya adalah kehendak mutlak orangtuanya, terutama ayahnya. Dengan kehendak itu, pada usia yang masih sangat belia itu bagian tubuhnya harus dimutilasi dengan sunat. Sunat bagi perempuan datang dengan asumsi bahwa nafsu perempuan sangatlah besar. Ia harus dikontrol melalui sunat. Meski dalam dunia medis, sunat perempuan tak memiliki manfaat sedikitpun. Bahkan sebaliknya, sunat bagi perempuan melahirkan kemudaratan karena merusak jaringan-jaringan saraf sensitif perempuan.
Kehendak ini pula yang digunakan orangtua untuk memaksa perempuan untuk menikah, bahkan dengan laki-laki tak pernah dicintai. Apakah itu halal? Ya, tentu saja. Kita memiliki kajian secara khusus tentang ini yang disebut dengan wali mujbir. Meskipun belakangan banyak kritik tentang konsep ini atau setidaknya memberikan perspektif yang cukup ramah bagaimana wali mujbir diperbolehkan.
Selepas menikah. Tubuh perempuan kemudian berpindah kepemilikan kepada suami. Lazimnya di masyarakat patriarki, seluruh hidup istri ada di tangan laki-laki yang menjadi suaminya. Bahkan untuk sesuatu yang paling privat, soal keputusan tentang berapa anak yang harus lahir dari rahimnya. Ia tak pernah benar-benar menjadi penentu atas tubuhnya. Sampai keputusan untuk melahirkan secara normal atau operasi, tubuh perempuan diharuskan mengikuti tafsir bias atas pahala yang didapat.
Atau sebelum keputusan kehamilan, soal hubungan seksual. Di dunia patriarki, hanya laki-laki yang diperbolehkan memiliki hasrat dan kehendak. Perempuan yang memiliki hasrat dan kehendak adalah perempuan binal. Sedari kecil perempuan dididik untuk menjadi “pelayan”, sehingga dalam relasi seksual dengan pasangannya, perempuan berkewajiban untuk melayani dan memuaskan. Hubungan seksual bagi (sebagian) perempuan adalah kerja dengan kewajiban.
Apakah berhenti di sana? Tidak! Tubuh perempuan juga adalah komoditas. Standar kecantikan dibentuk sedemikian rupa, sehingga perempuan lupa apa sesungguhnya cantik itu. Karena konstruksi kecantikan dibuat seragam: putih, langsing, tinggi, dan berambut lurus. Maka perempuan dengan badan berisi tak patut dianggap cantik. Perempuan dengan rambut bergelombang dan kulit gelap adalah jelek. Serbuan produk-produk kecantikan menjamur di mana-mana demi untuk memuaskan hasrat standar kecantikan ideal. Perempuan dibuat bertanya-tanya akan dirinya sendiri, apakah dirinya bagian dari yang dianggap cantik oleh komoditas pasar sembari terus menerus mematutkan diri dengan menelan segala produk-produk kecantikan yang dijejalkan setiap saat lewat berbagai media.
Selain komoditas, tubuh perempuan juga dikontrol oleh berbagai macam norma. Perempuan diwajibkan oleh norma untuk berperilaku sopan kepada siapa pun, bahkan kepada mereka yang melakukan kekerasan seksual. Jika ada kasus kekerasan seksual yang pertama-tama diinterogasi adalah moral perempuan. Apakah perempuan menutup tubuhnya dengan penuh? Ataukah perempuan itu bertindak genit dan menggoda?
Dengan begitu banyak “kontrol” itu, akankah perempuan memiliki tubuhnya sendiri?
Bersambung.