Menemukan Kebaikan Relasi Keluarga, Relasi Sosial, dan Relasi Spiritual dalam Teks Hadis ‘Perempuan, Minyak Wangi, dan Salat’ (Sebuah Catatan Reflektif)

oleh Mustiqowati Ummul Fithriyyah
161 views

Kelas Tadarus Subuh hari ini sudah memasuki pertemuan yang 75. Sebuah acara yang luar biasa eksis dan bernas bisa bertahan hingga kesekian.

Pada tadarus kali ini, dibahas Hadis ke-21 dari kitab al-Sittin al-‘Adliyah, karya Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, berjudul Perempuan Sama Pentingnya dengan Salat.
“Dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah Saw. bersabda: “Saya senang kepada perempuan, parfum, dan mata saya selalu merasa teduh dengan sholat” (Sunan Nasa’i).” 

Tadarus ke-21 ini, selain guru kita, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, pengampu kelas Tadarus Subuh, hadir juga Dr. Muhammad Ikhwanuddin, M.H.I., Kaprodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Catatan kecil saya dari Tadarus Subuh ke-75 ini bahwa dalam menelaah Hadis, hal pertama yang harus dilihat adalah struktur sanadnya. Menurut penelusuran yang dilakukan oleh Ikhwanuddin, Hadis ini secara sanad tidak ada masalah. Sanadnya kuat, setiap perawi dijelaskan sebagai orang yang ‘abid (ahli ibadah), faqih (sangat alim dan menguasai), dan tsiqoh (terpercaya). 

Setelah melihat sanadnya, maka berikutnya yang harus dilihat adalah pemahaman Hadis (fahmul Hadis). Memahami Hadis dengan mengumpulkan Hadis-Hadis lain yang memiliki isi/pesan yang sama atau yang semakna, ini dapat membentuk struktur pemahaman yang dapat saling menguatkan. Dari teks Hadis ini bisa dipahami bahwa perempuan, minyak wangi, dan salat adalah sesuatu yang membuat Nabi senang dan rida.  Ikhwanuddin menyebutkan bahwa lafadz hubbiba pada teks Hadis ini bersifat majbur, yang bermakna menunjukkan karakter alami yang ada pada diri setiap manusia.

Faqihuddin Abdul Kodir, menambahkan bahwa dari struktur bahasa, hubbiba ilayya ini bermakna ‘dibuat cinta’ (pasif/ majhul).  Jika merujuk pada istilah majbur yang dikemukakan Ikhwanuddin, maka hal ini menunjukkan bahwa mencintai sesuatu yang alami itu memerlukan konteks, sehingga perlu dibentuk. Ada proses yang akhirnya terbentuk yaitu rasa cinta itu (hubb). Maka setiap manusia akan saling senang dengan pasangannya, dengan wewangian, dan juga senang untuk berdekatan diri dengan Allah dalam sholatnya.

Istilah ‘perempuan’ dalam teks Hadis ini memang seolah menjadikan perempuan sebagai objek, namun bagaimana kitab bisa menemukan kebaikan-kebaikan dalam setiap teks agama yang disabdakan dalam Hadis maupun yang diwahyukan melalui al-Qur’an. 

Jadi, kita harus menaikkan level kesadaran kritis kita. Bahwa perempuan bukan hanya sebagai objek, tapi juga bisa menjadi subjek. Dalam hal ini, penting menggunakan paradigma trilogi KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia); mubadalah (kesalingan), ma’ruf (kebaikan),  dan keadilan hakiki. 

Memosisikan perempuan dan laki-laki secara sama, bahwa dalam sebuah relasi, terkadang perempuan bisa menjadi subyek dan kadangkala menjadi objek. Demikian sebaliknya, suatu saat laki-laki menjadi subjek, lain kali bisa menjadi objek. 

Dalam konteks kebaikan, seseorang menjadi fa’il dan di saat lain bisa menjadi maf’ul. Hal terpenting dalam relasi, saat menjadi subjek maka harus bisa menjadi pelaku kebaikan dan dalam konteks objek adalah sebagai penerima hal kebaikan. Di sinilah terwujudnya kesalingan, kema’rufan dan keadilan hakiki dalam relasi tersebut. Makna idiom harta, tahta dan wanita ini juga bisa dibalik menjadi harta, tahta, pria, tergantung siapa yang menjadi mutakallimnya (pembicara) dan siapa yang menjadi mustami’nya (pendengar).

Dalam kebiasaan, hal-hal yang terkait dengan akhirat dan di dunia selalu dipisahkan, padahal idealnya tidak boleh ada dikotomi antara duniawi dan ukhrowi. Hal-hal yang terlihat bersifat duniawi bisa bernilai ukhrawi. Misal aktivitas berdagang. Berdagang itu secara sederhana akan terlihat sebagai aktivitas duniawi, namun bisa menjadi aktivitas ukhrawi manakala aktivitas berdagang itu dikemas dalam kerangka ukhrowi (dilaksanakan sesuai syariat jual beli, tidak ada unsur kecurangan, saling rela antara penjual dan pembeli, dll). 

Kembali pada teks Hadis ke-21 dalam kitab al-Sittin al-‘Adliyah, istilah perempuan berkonotasi pada konteks keluarga, parfum konteksnya adalah relasi sosial, dan salat adalah konteks spiritual. 

Sebagai perempuan/istri, maupun laki-laki/suami, dan harumnya parfum/wewangian, itu bisa menjadi satu paket dengan aktivitas salat. Artinya ini bisa menjadi suatu media untuk menghamba kepada Allah. Semua aktivitas harus diusahakan agar menghasilkan sesuatu yang bernilai ukhrawi. Dimensi dunia dan akhirat, harus mengedepankan cara pandang dan  kesadaran utama, yakni pada visi rahmatan lil alamin, kehambaan kepada Allah, khalifah fil ardh, dan tentu saja akhlakul karimah. 

Trilogi KUPI, yaitu mubadalah (kesalingan), ma’ruf (kebaikan), dan keadilan hakiki dapat digunakan menjadi spirit pada setiap aktivitas dalam kehidupan ini untuk dapat mendaratkan visi tersebut. Sebagaimana yang disampaikan oleh Faqihuddin Abdul Kodir, “Biasakanlah menemukan kebaikan dalam setiap teks (Hadis atau ayat)”. Maka masing-masing kita harus  memiliki slogan di setiap harinya: ”Mari temukan dan lakukan kebaikan-kebaikan yang bisa kita berikan kepada pasangan kita, anak-anak kita, keluarga, tetangga, murid-murid, teman sejawat, masyarakat kita dan kepada seluruh semesta alam.”

Mustiqowati Ummul Fithriyyah

Mustiqowati Ummul Fithriyyah

Ketua Pusat Studi Gender dan Anak di UIN Sultan Syarif Kasim Riau

You may also like

Leave a Comment