Pada abad pertama dan kedua hijriah, kristalisasi umat Islam telah terjadi. Sentralitas fikih begitu kuat, hampir semua ilmu disangkutkan dengan ilmu fikih bahkan mayoritas umat meyakini fikih sebagai induk dari segala ilmu. Hadis, kalam, tafsir, dan ilmu lainnya dianggap sekadar follower fikih.Imam Abu Haris Al-Muhasibi lahir di Bashrah pada 165 H / 781 M. Ayahnya seorang saudagar kaya sekaligus tokoh intelektual dan pendakwah Muktazilah yang sangat gigih. Al-Muhasibi hijrah ke Baghdad, saat masih kecil. Karena hobi Al-Muhasibi melakukan muhasabah atau introspeksi diri akhirnya ia diberi julukan Al-Muhasibi.
Imam Al-Muhasibi tumbuh pada rezim Khalifah Abbasiyah yang menjadi kekuatan baru yang sangat disegani dunia. Khalifah yang berkuasa saat itu sangat mencintai ilmu pengetahuan, ini menjadi salah satu sebab mengapa ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada era ini lahir para imam mazhab seperti Imam Abu Hanifah (w. 767 M), Imam Malik bin Anas (w. 795 M), Imam Ja’far Shodiq (w. 765 M), Imam Sufyan At-Tsauri (w. 780 M), Imam Syafi’i (w. 820 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 853 M). Hadirnya para imam fikih di blantika intelektualitas saat itu membuka pintu bagi lahirnya ilmu-ilmu lain dan salah satunya adalah tasawuf.
Muhyiddin Ibn Arabi sebagaimana dikutip Samsudin az-Zahabi dalam Tarikh Islam menyebut Al-Muhasibi sebagai ahli fikih, menghafal hadits, hingga mencapai derajat orang pintar. Orang pintar dalam konteks ini adalah orang yang pintar dalam bidang ilmu kalam dan filsafat juga ilmu-ilmu lainnya. Al-Muhasibi dianggap sebagai tokoh pertama yang membidani lahirnya tasawuf sebagai ilmu.
Imam Al-Muhasibi menulis kitab Fahm Al-Qur’an wa Ma’anih sebuah kitab yang mengajak pembacanya tidak hanya sekadar membaca Al-Qur’an tetapi juga memahami isi Al-Qur’an. Al-Muhasibi mengajak pembaca tidak hanya membaca menggunakan lisan tetapi juga membaca menggunakan hati dan pikiran. Ia banyak berbicara tentang pemahaman tentang agama. Ia senang dengan ilmu rasional yang mengedepankan akal daripada naql (teks atau wahyu).
Gagasan tasawuf Imam Al-Muhasibi dituangkan dalam beberapa karyanya seperti Risālah Al-Mustarsyidin, Al-Washoya, Al-Ri’ayah li Huquqillah, dan Mahiyat al-‘Aql. Imam Al-Muhasibi terkesan ingin mengurangi dimensi rasional dalam ilmu kalam dan filsafat dan ingin menggantinya dengan memasukkan nuansa spiritualitas ke dalam kedua ilmu tersebut.
Salah satu keistimewaan Imam Al-Muhasibi adalah bisa me-rebranding gagasan ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf dengan simbol fikih. Ia dengan piawai menggunakan istilah hukum fikih untuk menjelaskan persoalan teologis, filosofis, dan spiritualitas. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengakui bahwa Al-Muhasibi adalah guru terbaiknya sebagaimana dikutip Abdul Kadir Riyadi dalam Arkeologi Tasawuf.
Langkah berani Al-Muhasibi yang memiliki paradigma rasional membuat dia melihat fikih sebagai ilmu yang rasional, ia berusaha melahirkan ilmu baru yang dapat menjawab tantangan zaman. Gerakan menafsirkan ulang fikih dengan memperkenalkan paradigma keislaman yang bernuansa rasional dan sufistik. Langkah ini ditentang oleh para fukaha, khususnya Imam Ahmad bin hanbal yang hidup satu zaman karena dianggap penyelewengan terhadap akidah dan nilai-nilai keberagamaan. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal gagasan Al-Muhasibi dianggap sebagai bid’ah yang menyesatkan. Upaya melahirkan ilmu baru ini yang kita kenal sekarang menjadi ilmu tasawuf.
Imam Khotib Al-Baghdadi merekam tentang bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengatakan, “Jangan sekali-kali kalian membaca kitab karya Al-Muhasibi karena kitab-kitab itu adalah bid’ah dan menyesatkan, sibukkan diri kalian dengan ilmu atsar (periwayatan Hadis) karena di dalam ilmu ini kalian akan menemukan apa yang kalian cari.” Perbedaan pandangan seperti ini biasa terjadi. Namun, sejarah membuktikan keilmuan dan kepakaran Imam al-Muhasibi telah mewarnai sejarah peradaban Islam. Terkadang hal baru sering mendapat penentangan dari masyarakat sekitar karena ketidaktahuannya.
Kemunculan Tasawuf
Tidak ada otoritas mutlak yang dapat mendefinisikan tasawuf, karena tasawuf bersifat personal dan subjektif. Tasawuf sering kali tidak dapat dipahami oleh orang lain bahkan oleh diri sendiri. Berbeda dengan ilmu fikih, hadis, dan tafsir yang berbasis teks, ukurannya jelas, seberapa dalam pemahaman seseorang atas teks yang akan menentukan ia bisa disebut fakih, muhaddits, atau mufassir. Berbeda dengan tasawuf yang ukurannya sangat personal, tidak bisa diukur dengan standar ilmu fikih dan tafsir.
Banyak ulama meyakini peletak tasawuf sebagai ilmu adalah seorang tabiin bernama Imam Hasan Al-Basri. Klaim ini cukup berdasar karena banyak catatan sejarah yang mencatat kejuhudan Hasan Al-Basri. Namun, Abu al-Haris al-Muhasibi diyakini sebagian ulama sebagai peletak tasawuf sebagai ilmu, ia yang telah mengkodifikasi tasawuf menjadi ilmu yang mapan. Walau klaim ini diperdebatkan, kalau kita membaca kitab Risalah al-Mustarsyidin kepiawayan beliau dalam merumuskan ilmu tasawuf tidak diragukan lagi. Kehebatannya mempopulerkan ilmu ini dalam panggung intelektual akademik saat itu sangat mengagumkan.
Pandangan nyentrik Imam al-Muhasibi dalam membahas moral juga menarik perhatian banyak sarjana saat itu, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Muhasibi berusaha mereformasi konsep kezuhudan menjadi sebuah sistem pengetahuan yang utuh dan sistematis. Ia meninggal di Baghdad pada 234 H / 857 M.