“…cara kita menyikapi pengalaman perempuan, baik secara biologis maupun sosial, akan menentukan keadilan jenis apa yang akan kita berikan pada perempuan.” (hlm.3)
Dalam buku Nalar Kritis Muslimah, karya Nur Rofiah yang meraih gelar doktor di bidang Tafsir dari Universitas Ankara Turki itu, menyebutkan ada beberapa jenis ketidakadilan yang dialami oleh perempuan karena ia menjadi perempuan.
Salah satu ketidakadilan itu ada dalam sistem patriarki. Sebuah sistem yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Tak jarang terjadi pelecehan, penindasan, penyiksaan, dan jenis ketidakadilan lain yang dialami oleh perempuan.
Dalam buku ini, Dosen PTIQ Jakarta itu menyebutkan dengan jelas pengalaman biologis dan pengalaman sosial yang dialami perempuan, yang jarang dipahami pihak lain dan seharusnya menjadi pemahaman bersama agar tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh alam. Baik bagi laki-laki juga bagi perempuan.
Adapun pengalaman biologis perempuan; mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Sedangkan pengalaman sosial perempuan meliputi stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. Jika dari kedua pengalaman perempuan ini mampu dipahami dan dijadikan pertimbangan dalam segala hal termasuk menentukan kebijakan, dll maka hal itu akan menciptakan keadilan hakiki. Keadilan yang tak sebatas legal, formal, dan tekstual.
Beberapa penjelasan di atas sebenarnya telah menunjukkan fakta pada kita, betapa ketidakadilan selama ini telah terjadi pada perempuan karena menjadi perempuan. Padahal, Allah telah dengan tegas dalam Al Quran membincang soal pengalaman perempuan ini tidak semata-mata sebagai topik saja, melainkan sebagai perspektif. Dimana menunjukkan dan memerintahkan pada seluruh umat untuk memanusiakan manusia. Termasuk memanusiakan perempuan.
“Setiap manusia punya status melekat sebagai hamba Allah, artinya dilarang keras menghamba pada apapun dan siapapun selain Allah…, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah, maka ketaatan kepada apa pun dan siapa pun selain-Nya adalah ketaatan kepada nilai kemaslahatan, bukan pada figur.” (hlm.75)
Ini menjadi bagian penting untuk disadari bersama, bahwa kita sebagai manusia yang hidup di dunia ini adalah sebagai makhluk Allah yang memiliki kewajiban menghamba pada Allah, tidak pada lainnya, termasuk pada laki-laki, harta, benda, atau figur lainnya.
Pada abad ketujuh Masehi, Islam menegaskan bahwa: pertama, perempuan adalah manusia. Kedua, setiap manusia hanyalah hamba Allah. Ketiga, setiap manusia adalah khalifah fil ardh, yang punya mandat mewujudkan kemaslahatan seluasnya di muka bumi.
Atas dasar pernyataan itu, maka jelas bahwa perempuan adalah manusia, bukan harta benda, bukan hamba laki-laki, bukan pula makhluk kedua setelah laki-laki. Sebab Al-Quran surat al-Hujurat [49]:13, dengan tegas menjelaskan bahwa semua makhluk di hadapan Allah itu sama, yang membedakan adalah takwa. Jika perempuan bertakwa maka dia adalah makhluk yang baik, pun dengan laki-laki yang bertakwa. Sebaliknya, bagi laki-laki atau perempuan yang tidak bertakwa, maka mereka adalah makhluk atau hamba yang tidak baik.
Jadi sekali lagi, perempuan dinilai tidak baik bukan karena dia adalah sebagai perempuan. Begitupun dengan laki-laki, laki-laki dianggap baik bukan karena secara fisik dia adalah laki-laki. Melainkan dari nilai sosial, spiritual, dan sikapnya sebagai manusia, khalifah fil ardh, dan khususnya sebagai hamba Allah SWT.
“Perkembangan kesadaran kemanusiaan perempuan, bahwa perempuan itu manusia seutuhnya ternyata berjalan sangat lambat.” (hlm.140)
Di zaman jahiliyah, sangat jelas, bahwa perempuan masih dinilai sebagai harta benda yang bisa diwariskan, ditukar, dijadikan hadiah, bahkan perempuan dijadikan hamba, yang kemudian oleh Nabi Muhammad dibebaskan dan dimuliakan. Tentu hal itu adalah bentuk teladan yang harusnya menjadikan kita sadar, bahwa perempuan adalah manusia yang harus dilihat dan dinilai secara utuh sebagai manusia, tidak dipandang rendah atau dianggap sebagai makhluk pelengkap.
Islam datang memuliakan perempuan, meski sampai saat ini masih banyak manusia yang tidak utuh memahami pesan Al Quran tentang betapa Allah memuliakan perempuan. Meski sudah banyak perjuangan untuk memanusiakan perempuan, namun sampai saat ini ketidakadilan pada perempuan masih saja terjadi. Baik itu dalam rumah tangga, media, lingkungan, hingga di ranah publik.
Pertanyaan yang mungkin sepele tapi ini kenyataan, “Siapa yang pernah kesulitan kencing atau berak karena harus memangku anaknya?” “Masih adakah perempuan yang bekerja di publik namun urusan rumah tangga menjadi tanggung jawab sepenuhnya?” “Masih musim pemaksaan pernikahan perempuan usia anak? Dan banyak pertanyaan lainnya.”
Masih tak mungkin kah dalam keluarga menerapkan sistem kesalingan? Saling membantu, saling memahami, saling mengasuh anak dan mengerjakan urusan rumah tangga? Jadi tak hanya menjadi kewajiban perempuan. Tak juga hanya menjadi beban ganda bagi perempuan yang notabenenya telah mengalami pengalaman biologis yang begitu menyita kekuatan. Ditambah dengan pengalaman sosial yang dikonstruk oleh lingkungan pada perempuan, betapa terganggunya psikologis perempuan, betapa kebahagiaan menjadi cita-cita yang begitu besar bagi mereka? Ironisnya, masih banyak ketidakadilan terjadi di lingkungan kita.
Bagi kamu yang membaca beberapa fakta di atas, dan merasa tidak mengalaminya, bersyukurlah mungkin kamu telah menikmati keadilan hakiki, keadilan yang dinikmati oleh laki-laki juga perempuan. Namun, kita perlu menyadari dan tetap peduli, agar keadilan itu juga terjadi pada orang lain atau lingkungan lain, sehingga semakin tersebar keadilan dan kesejahteraan bersama seluruh alam, tidak hanya cukup pada satu kelompok saja.
“Pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang menistakan kemanusiaan adalah pelecehan terberat atas agama.” (hlm.151)
Termasuk pelecehan kepada perempuan dan tidak memanusiakan perempuan. Mari buka mata lebih lebar, dan membaca secara utuh pesan Tuhan Yang Maha Adil, yang tentunya adil terhadap perempuan sebagai manusia.
Cita-cita keadilan ini bisa kita ciptakan dimulai dari kelompok masyarakat terkecil, yaitu keluarga. Salah satunya adalah dengan menerapkan kesalingan antara suami-istri, baik dalam perkerjaan rumah hingga dalam mengasuh anak.
Untuk memahami lebih detail tentang keperempuanan, kemanusiaan, dan keislaman, silakan baca buku “Nalar Kritis Muslimah”. Di dalam buku ini terdiri dari beberapa esai dengan 4 bagian. Pertama, agama untuk perempuan. Kedua, memahami yang transenden. Ketiga, kemanusiaan sebelum keberagaman. Keempat, serpihan renungan.
Buku ini adalah buku refleksi sekaligus buku yang sedang ikut memperjuangkan keadilan hakiki dalam kehidupan ini. Sehingga buku ini saya rekomendasikan untuk semua kalangan, tidak hanya untuk perempuan namun untuk laki-laki, untuk saling memperjuangkan, dan tidak terjadi ketimpangan pemahaman. Mari baca buku keren dan menakjubkan ini! Ingat, membaca adalah salah satu kunci untuk mendapatkan kebahagiaan.
Judul Buku: Nalar Kritis Muslimah (Refleksi atas Keperempuanan, Kemanusiaan, dan Keislaman)
Penulis: Dr. Nur Rofiah, Bil.Uzm.
Penerbit: Afkaruna.id
Kota Terbit: Bandung
Tahun Terbit: Agustus 2020
Tebal Buku: xiii + 225 hlm