Islam Eropa pernah melahirkan tiga raksasa yang hidup pada satu masa; Ibn Thufail, Ibn Rusyd, dan Ibn Arabi. Ketiganya ulama yang memberikan kontribusi sangat besar bagi peradaban Islam. Dua dari tiga nama tersebut dikenal kontroversial, mungkin hanya Ibn Thufail saja yang “aman” dari kontroversi. Mereka saling memengaruhi, karena pemikiran tidaklah lahir dari ruang hampa. Hay ibn Yaqzhan adalah salah satu karya Ibn Thufail yang bisa kita nikmati sampai saat ini. Sebuah roman filsafat dan kisah alegori lelaki yang hidup sendiri di sebuah pulau tanpa berhubungan dengan manusia lainnya, menemukan kebenaran dengan pemikiran yang masuk akal.
Ibn Thufail (w. 1185M) memiliki reputasi intelektual yang menjulang. Ia pernah didaulat menjadi wazir dan dokter kerajaan, berkhidmat pada khalifah yang berkuasa. Di usia senjanya, ia dipertemukan dengan pemuda yang sangat brilian, Ibn Rusyd. Ketertarikan yang sama membuat mereka sering terlibat dalam percakapan serius. Ibn Rusyd menjadi kawan diskusi sekaligus murid kinasih Ibn Thufail. Karena kearifan laku, kedalaman ilmu, dan keluasan pandangan Ibn Rusyd, akhirnya ia dipilih langsung oleh Ibn Thufail untuk menggantikan dirinya sebagai wazir kekhalifahan ketika memasuki masa pensiun.
Ibn Rusyd (w. 1198M) dikenal sebagai ulama multi talenta. Beliau menguasai filsafat, akidah atau teologi Islam, kedokteran, astronomi, fisika, fikih, dan linguistik. Salah satu karyanya yang melegenda adalah Bidayah al-Mujtahid, kitab perbandingan mazhab fikih. Karier intelektualnya tidak selalu mulus, terutama pasca-wafatnya khalifah terdahulu, yang memiliki hubungan begitu dekat dengan Ibnu Rusyd. Setelah suksesi kepemimpinan, kerajaan mengalami sedikit goncangan, lazimnya dalam setiap pergantian rezim, selalu ada intrik dan politik yang mengelilinginya. Khalifah yang baru tidak dekat dengan Ibn Rusyd, ditambah hoax yang diviralkan oleh sebagian orang yang memiliki kepentingan, menambah segregasi semakin luas, perbedaan primordial ditonjolkan, kecenderungan mazhab, suku, dan golongan semakin diangkat, akhirnya pemikiran Ibn Rusyd yang brilian harus menyerah, dan dianggap menyimpang dan berbahaya. Ia akhirnya harus diasingkan. Ironi yang sangat menyakitkan. Ulama yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan harus terusir karena berita hoax yang terus didengungkan.
Pada usia senja Ibn Rusyd diasingkan karena pemikirannya dianggap berbahaya. Salah satu alasan kenapa karier intelektualnya “dihabisi”, konon karena telah menyerang legenda umat Islam pada saat itu, Imam Abu Hamid Al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut karya filosofis yang dimaksudkan untuk mengkritik Tahafut al-Falasifah karya Imam Al-Ghazali dianggap sebagai perang terbuka terhadap ajaran Ahlussunnah wal Jamaah dalam teologi Asy’ariyah. Seperti kita ketahui, Imam Al-Ghazali adalah ulama paripurna, karyanya Ihya Ulumiddin dianggap sebagai buku yang wajib dibaca setiap Muslim setelah Al-Qur’an. Menyerang Imam Al-Ghazali sama dengan bunuh diri. Ini dijadikan senjata oleh oposannya.
Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi (w. 1240M) dalam karyanya Futuhat al-Makkiyyah mengklaim telah bertemu Ibn Rusyd dua kali semasa hidupnya. Pada perjumpaan pertama Ibn Arabi masih remaja, yaitu dalam salah satu kesempatan yang dikenalkan oleh ayahnya, teman dekat Ibn Rusyd. Konon Ibn Rusyd yang meminta perjumpaan ini. Pemikiran Ibn Rusyd secara tidak langsung memengaruhi Ibn Arabi. Mereka saling kagum pada perjumpaan pertama. Ibn Rusyd melihat potensi besar dalam diri Ibn Arabi, juga sebaliknya, Ibn Arabi seperti melihat lautan tak bertepi dalam diri Ibn Rusyd. Ibn Arabi yang menyandang gelar Syaikh Al-Akbar (Guru Yang Agung), mengatakan bahwa Ibn Rusyd menjadi sufi setelah bertemu dengannya.
Dari sini semakin menyadarkan kita bahwa al-Ilmu Nurun, ilmu adalah cahaya, ia bisa menyinari orang-orang di sekitarnya. Ulama yang memiliki pancaran cahaya terang mampu menyinari manusia di sekelilingnya.
Semoga kita termasuk orang yang bisa mengambil manfaat dalam setiap perjumpaan dengan para guru di sekitar kita. Semoga kita mau mendekati sumber cahaya, agar terkena pancaran terangnya. Bukan kuantitatif perjumpaan yang kita butuhkan, tetapi kualitas kekariban spiritual. Semoga kita termasuk orang yang bisa memaknai setiap perjumpaan dengan orang-orang di sekitar kita. Wallahu A’lam
Editor: Irawan Fuadi