Bagaimana Cara Rasulullah Memperlakukan Para Pembencinya?

oleh Nur Hayati Aida
1.2K views

Pagi masih seperti biasa, orang berlalu lalang bertransaksi jual beli dengan sedikit tawar menawar. Di sudut keramaian, duduk tertunduk seorang buta yang sedang bertanya pada orang yang memberikannya makanan, siapakah engkau?

Ia selalu memperingatkan setiap orang yang lewat di hadapannya tentang seorang laki-laki yang mengaku menerima wahyu. Ia selalu berkata bahwa laki-laki itu adalah pendusta, pembual, dan penyihir. Ia mengingatkan pada siapa saja, sesekali sambil mengumpat laki-laki penerima wahyu itu.

Setiap pagi pula ia bercerita tentang laki-laki yang mengaku menerima wahyu pada seorang misterius tapi baik hati. Tiap pagi sembari menelan makanan yang diberikan laki-laki misterius nan baik hati itu, ia tak lupa menyelipkan nasihat untuk berhati-hati dan menjauhi pria yang mengaku menerima wahyu. Ia kagum benar dengan orang misterius itu. Ia merasa dirinya diperlakukan dengan tulus dan penuh kasih sayang. Sayangnya, ia selalu gagal untuk mendapatkan nama orang misterius itu. Orang itu tak pernah bicara sedikit pun, ia hanya menyuapi pria buta dengan tangannya.

Berkalang duka juga rindu, laki-laki disudut pasar itu bertanya pada seseorang yang pagi itu datang padanya:

“Siapakah engkau?”

Yang ditanya pun menjawab “Aku orang yang biasa mendatangimu.”

Pria buta itu menolak keras dengan berkata,

“Bukan, kau bukan orang yang biasa datang padaku. Ia yang datang padaku tak pernah berkata-kata dan ia tak pernah membuatku kesusahan untuk menelan makanan.”

“Aku memang bukan orang yang biasa mengunjungimu. Aku adalah salah satu temannya. Ia telah tiada, namanya Muhammad. Muhammad sang utusan.”

Mendengar itu laki-laki buta menangis sesenggukan, ternyata pria misterius nan baik hati yang tiap pagi datang kepadanya sembari membawa makanan yang telah dilembutkan adalah laki-laki yang tiap hari ia tuduh sebagai pendusta dan ia maki.

Abu Bakar Shiddiq tak kuasa menahan air matanya, ia sungguh jatuh hati pada akhlak kekasihnya itu, Nabi Muhammad Rasulullah. Abu Bakar sengaja datang ke salah satu sudut pasar Madinah setelah ia datang pada putrinya yang juga istri sahabatnya itu, Aisyah. Ia datang dengan pertanyaan:

“Duhai anakku, adakah amalan kekasihku yang belum aku amalkan?”

Aisyah pun menjawab, “Wahai Ayah, engkau telah melakukan semua yang suamiku—Muhammad Rasulullah—lakukan. Tapi ayah, ada satu hal yang ayah belum lakukan, Muhammad sang kekasih itu setiap pagi selalu mengunjungi sudut pasar kota Madinah untuk bertamu dengan seorang Yahudi buta.”

Dan kini, dua orang sedang menahan tangisnya masing-masing. Yang satu rindu pada kekasihnya yang berakhlak al-Qur’an, yang satu menyesali betapa ia telah melakukan tindakan bodoh dengan mengumpat dan menyumpahi Muhammad sang utusan yang akhlaknya telah membuat ia jatuh cinta.

Kisah di atas membuat hati selalu meleleh. Junjungan kita yang mulia Nabi Muhammad Saw. yang agung itu membalas keburukan dengan kebaikan. Nabi Muhammad tidak membalas segala hal buruk yang ditimpakan padanya dengan keburukan. Akhlak beliaulah yang membuat laki-laki di sudut pasar itu luluh. Akhlaknya adalah al-Qur’an.

Menjadi makhluk berdaging dan harus bersinggungan dengan banyak orang tak jarang mendapati kecewa atas tindakan atau ucapan yang tidak sesuai dengan hati. Namun, sebagai manusia yang bertuhan dan meyakini akhlak Nabi Muhammaad Saw. memaafkan adalah keharusan. Karena memang tidak pernah berguna membalas keburukan dengan keburukan.

Hati orang yang sedang membenci itu selalu terasa jauh. Ketika marah, bicara jadi lebih keras, seringkali berteriak dan berkata kasar. Tidak ada jalan yang lebih baik kecuali saling memaafkan pada setiap kesalahan dan kesalahpahaman. Memaafkan tidak berarti menghapus kesalahan. Memaafkan artinya adalah meneguhkan adanya kesalahan itu sendiri, untuk kemudian dijadikan dasar sebagai perbaikan atas diri untuk lebih baik lagi.

Nur Hayati Aida

Nur Hayati Aida

Santri yang tak kunjung khatam membaca al-Quran

You may also like

Leave a Comment