Berpuluh tahun lalu ada seorang perempuan memilih untuk menyerahkan diri kepada Tuhan sebagai “pelayan”. Sebagai pelayan Tuhan, ia bekerja di area-area yang seolah-olah Tuhan tidak pernah hadir. Ia mendatangi pemukiman kumuh, merawat penderita kusta, memberi makan yatim-piatu, memandikan orang-orang terlantar, dan memberikan perlindungan kepada mereka yang tertindas.
Tak hanya itu, ia juga sangat keras pada dirinya sendiri. Ia hanya punya dua helai baju. Satu yang menempel pada tubuhnya, dan satu lagi baju yang bertengger di jemuran–yang keesokan harinya ia akan pakai. Begitu terus berulang ia lakukan. Cuci-Kering-Pakai. Dan, itupun hanya satu warna baju saja. Putih.
Pun, ketika dunia ramai memberitakan kerja-kerja pelayanannya, sehingga ia menerima penghargaan prestius kelas dunia, Nobel. Ia tetap memilih jalan sunyi. Ia memilih menghadiri acara itu dengan menggunakan pintu belakang. Memilih untuk tak tersorot lampu kamera. Dan tentu saja, para pewarta berita kecewa tak bisa menemukan sosok yang ditunggu.
Di perhelatan itu, ia duduk di kursi paling depan bersama para petinggi lainnya. Saat hendak minum, ia mengamati dengan seksama botol yang ada di hadapannya. Ia kemudian bertanya pada panitia, berapakah harga sebotol minuman yang tersaji di ruang acara? Panitia menjawabnya, tetapi ia malah tak jadi minum. Tahu kenapa? Karena angka yang disebutkan oleh panitia terlalu fantastis untuk harga sebuah minuman. Dengan harga itu seharusnya ia bisa memberi makan banyak perut, bukan hanya satu mulut.
Baginya, mungkin, selebrasi penghargaan Nobel Perdamaian tak boleh mencederai perjuangan itu sendiri. Bagaimana mungkin ia tega membicarakan kaum papa yang tertindas di tempat yang bahkan tak mungkin mereka ada? Terlalu jauh dari realitasnya.
Dan tahukah siapa engkau gerangan manusia langka itu? Tak lain tak bukan adalah Bunda Teresa–ibu dari kaum melarat.
Pilihan-pilihan (sulit) yang diambil oleh Bunda Teresa bukan semata-mata pelayanan ritual pada Tuhan. Ia menjawab panggilan Tuhan itu dengan ibadah pengabdian dan sensitivitas atas kemanusiaan.
Bunda Teresa mengajarkan pada kita tentang bagaimana bersetia pada nilai dan terus menerus memeriksa sensitivitas pada kemanusiaan.
Tentu masih segar dalam ingatan kita nilai program pengentasan kemiskinan yang nilainya fantastis itu ternyata lebih banyak digunakan untuk rapat dan studi banding. Kenyataan macam ini melukai nurani. Berbicara tentang kemiskinan tanpa orang miskin itu sendiri. Kemiskinan dibicarakan sebagai “isu” bukan sebagai realitas untuk segera diselesaikan. Orang miskin yang terus didengungkan dalam rapat itu bahkan tidak ditanya, mereka butuh kemampuan/kapasitas apa untuk bisa keluar dari jeratan kemiskinan? Bukan hanya soal berapa uang bulanan yang mereka terima sebagai bentuk welas asih. Suara mereka bahkan tak tampak, dan lebih sering digunakan untuk kepentingan, mohon maaf, proyek semata.
Pun sama, bagi mereka pengemban program masyarakat di swasta. Seberapa sering lalai atas suara dan hak atas mereka yang–sering dibilang–diperjuangankan. Kerja-kerja pemberdayaan lebih sering dilakukan di ruang-ruang pertemuan hotel–cenderung eksklusif–daripada di balai rakyat atau lapangan desa yang lebih mudah dijangkau oleh masyarakat luas.
Catatan kecil ini tak hendak bicara apa-apa kecuali sebagai pengingat penulisnya yang sering lupa.
Selamat menunaikan ibadah puasa!