Keimanan seseorang patut ekuivalen dengan amal shaleh. Layak ada jejak atas keimanan seorang hamba. Manusia beriman seyogyanya mampu menghadirkan kebaikan-kebaikan hidup. Beramal shaleh berarti mengiktiarkan yang terbaik dan memberikan potensi terbaik yang kita miliki untuk kemaslahatan diri dan orang lain.
Dalam catatan ini, Penulis ingin mengelaborasikan hal kecil yang bisa dimulai untuk beramal shalih yaitu dengan mendatangi “rumah Allah”. Terkadang banyak orang yang senang dengan tujuan yang besar, tetapi lalai dengan hal kecil yang perlu konsisten dilakukan. Kalau kita melihat sejarah, Rasulullah Saw. menjadikan masjid sebagai pusat segala. Masjid menjadi tempat berkumpul, belajar, merefresh diri, kaderisasi, mendekatkan diri kepada Allah, dll.
Allah Swt. memberikan penilaian bagi orang yang hadir di masjid Allah adalah orang-orang yang beriman:
إِنَّمَا يَعۡمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمۡ يَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَۖ فَعَسَىٰٓ أُوْلَٰٓئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُهۡتَدِينَ
“Hanya yang memakmurkan (meramaikan, mengisi, membangun) masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah [9]: 18)
Rasulullah Saw. memberikan warta gembira, bahwa ada tujuh golongan yang mendapatkan perlindungan Allah Swt. ketika tidak ada perlindungan yang bisa diandalkan kecuali proteksi dari Allah Swt. Bagi orang yang melekatkan hatinya ke masjid. Dalam Hadis Muttafaq Alaih yang diriwayatkan Abu Hurairah:
“Ada tujuh golongan yang akan Allah lindungi pada Hari Kiamat, di hari yang tidak ada perlindungan selain perlindungan-Nya…seseorang yang hatinya selalu melekat dengan masjid…”
Dalam sejarah Islam, ada salah satu tokoh besar yang menghabiskan seluruh hidupnya melekat dengan masjid. Bahkan dia dilahirkan di Masjid al-Haram, di dalam Kakbah. Sebelum melahirkan bayi tersebut, ibundanya yang bernama Fathimah binti Asad, thawaf mengelilingi Kakbah. Bayi mungil nan lucu tersebut diberi nama Ali bin Abi Thalib. Peristiwa ini terjadi di Bulan Rajab, direkam dengan sangat indah oleh Imam Hakim (321 H) dalam Kitab Al-Mustadrak. Setelah kanak-kanak, Ali bin Abi Thalib tumbuh dalam pengasuhan kakak sepupunya, yaitu Rasulullah Saw. seorang pengasuh, pendidik, pemberi tarbiyah, dan pencipta lingkungan terbaik.
Ketika Ali bin Abi Thalib berusia 20an tahun, Rasulullah Saw. diperintahkan untuk Hijrah ke Madinah. Rasulullah Saw. meminta Ali bin Abi Thalib untuk tidur di ranjangnya karena Nabi mengetahui akan ada 40 orang pembunuh bayaran terbaik dari 40 suku yang bersiap membunuh Nabi Saw. Mereka bersiap menunggu Nabi keluar rumah ketika fajar terbit. Dengan penuh keimanan, Ali bin Abi Thalib bersedia menggantikan Rasulullah Saw. dengan taruhan nyawa.
Lalu Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. Hijrah ke Madinah, menyusul Rasulullah Saw. Ketika sampai di Madinah yang pertama kali dibangun bersama Rasulullah Saw. adalah Masjid Nabawi. Dan beliau selalu dekat dengan Rasulullah Saw. bahkan rumahnya di sebelah rumah Nabi, lagi-lagi melekat dengan Masjid Nabawi. Dia selalu membersamai Nabi Saw. dalam segala aktifitas termasuk Perang Badar dan Khandaq. Saat pertempuran Badar yang sangat fenomenal, Ali menjadi salah satu sahabat yang diutus Nabi untuk memulai pertempuran dengan maju satu lawan satu melawan kafir Quraisy sebelum terjadi pertempuran terbuka.
Ketika Imam Ali r.a. memasuki usia matang, beliau diangkat menjadi khalifah. Dengan mengemban kepemimpinan umat dia memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah. Hal pertama yang dilakukan dalam perpindahannya yaitu mendirikan masjid. Dengan tangannya dia turut membangun masjid dan mengarsiteki rumahnya agar melekat dengan Masjid Kufah. Saat itu masjid menjadi pusat seluruh aktifitas komunitas persaudaraan Muslim.
Fase terakhir hidup Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pun di dalam masjid. Beliau syahid dibunuh Ibnu Muljam saat sujud. Pembunuh tahu bahwa tidak akan mampu membunuh Ali ketika berhadapan satu lawan satu. Dia tahu, ketika Sayyidina Ali sholat, terputus segala urusan duniawi, tidak memikirkan apa pun di luar shalatnya, hanya fokus kepada Allah Swt. Pedang yang tertancap di punggung tidak mengalihkan munajatnya. Ruhnya pergi meninggalkan jasad ketika Shalat Subuh bulan Ramadhan. Seluruh hidup Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. berawal dan berakhir di masjid.
Ini bukanlah kebetulan, ketika seseorang bisa melangkahkan kakinya ke masjid adalah suatu anugerah. Karena hanya hati yang diberi cahaya iman yang bisa melangkahkan kakinya dan hatinya masuk ke dalam masjid. Semoga kisah Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. ini menginspirasi kita semua. Pastikan diri kita mengunjungi masjid walau hanya beberapa kali dalam sepekan. Walau tidak bisa mengikuti seluruh aspek minimal bisa sedikit menirunya.
ان لم تكون مثلَهم فتشبهو
ان تشبُّهاَ بكِرامِ فلاَحُ
“Kalau kita tidak bisa sepertinya, maka tirulah.
Karena meniru orang mulia adalah mulia.”
Betul hari ini banyak masjid yang jauh dari cita ideal. Namun, bukan berarti menjadi alasan untuk meninggalkan, bukan? Dengan semangat amal shaleh, kita perkuat bangunan ruhani spiritual masjid tidak hanya bangunan fisik materiel saja. Kita kembalikan masjid sebagaimana fungsi awalnya sebagai tempat bersujud para hamba, berbisik di bumi dan didengar di langit. Sepertinya mudah diucapkan, tetapi sulit untuk direalisasikan bukan? []