Ketika peristiwa itu berlangsung, kemungkinan besar saya masih duduk di bangku sekolah di salah satu desa di Jawa Tengah. Pada saat itu, seorang profesor perempuan keturunan Afro-Amerika, yang juga merupakan guru besar di Virginia Commonwealth University, menjadi imam salat Jumat dengan makmum laki-laki dan perempuan. Peristiwa tersebut dilaksanakan di sebuah katedral di Amerika Serikat.
Kejadian ini menyedot perhatian umat Islam hampir di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Para pakar dan ulama menulis pandangannya, serta mengadakan diskusi dan simposium.
Salah satu ulama ahli hadis Indonesia, Kiai Ali Mustafa Yaqub, menulis sebuah buku untuk merespons peristiwa itu. Kiai Mustafa Yaqub, yang saat itu membimbing mahasiswi IIQ Jakarta dalam kajian hadis Ummu Waraqah, menemukan fakta menarik terkait salah satu perawi dalam hadis tersebut. Hadis Ummu Waraqah ini bagi sebagian ulama dan intelektual dijadikan pijakan diperbolehkannya seorang perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki maupun perempuan.
Meskipun hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibn Khuzaimah, Imam al-Tabrani, Imam al-Daruqutni, Imam Ibn al-Jarud, Imam al-Hakim, dan Imam al-Baihaqi, hadis Ummu Waraqah ini paling sering dikutip dari riwayat Imam Abu Dawud.
Imam Abu Dawud sendiri dalam kitabnya Sunan Abi Dawud hanya memberikan komentar pada hadis-hadis yang dianggap lemah. Hadis yang tidak diberi komentar atau catatan dianggap sebagai hadis yang derajatnya sahih. Dan pada hadis Ummu Waraqah ini, Imam Abu Dawud tidak memberikan komentar apa pun.
Dua perawi yang disorot oleh Kiai Mustafa Yaqub adalah Abdullah bin Khallad dan al-Walid bin Jumai’. Menurut Kiai Mustafa, merujuk pada Ibn al-Qattan, Abdullah bin Khallad adalah perawi yang majhul al-hal atau tidak diketahui identitasnya. Sedangkan al-Walid bin Jumai’ menurut Kiai Mustafa adalah perawi yang mendapatkan perhatian serius. Meski al-Walid bin Jumai’ dianggap tsiqah (kredibel), kekuatan mengingat dan kecakapan mencatatnya (kedhabitannya) diragukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Dawud. Beberapa ulama pengkaji kredibilitas perawi seperti Imam Yahya bin Ma’in, Imam al-Ijli, dan Imam Abu Zur’ah juga menganggap al-Walid bin Jumai’ tsiqah.
Ibn Hibban memasukkan nama al-Walid bin Jumai’ dalam dua kategori sekaligus. Ia mencantumkan al-Walid bin Jumai’ pada bukunya yang berjudul Kitab al-Tsiqah (Perawi yang kredibel), dan juga memasukkannya dalam al-Dhu’afa (Perawi-Perawi yang lemah periwayatannya). Ibn Hibban mengomentari bahwa periwayatan al-Walid tidak pernah dibarengi dengan periwayatan orang-orang yang tsiqah. Menurutnya, periwayatan dari perawi seperti ini sangat buruk. Oleh karena itu, periwayatan dari al-Walid tidak dapat dijadikan hujjah (dalil/petunjuk).
Lebih lanjut, Kiai Mustafa Yaqub menjelaskan bahwa dalam kajian ilmu hadis, apabila terdapat penilaian ta’dil (kredibel) dan jarh (tidak kredibel) pada perawi, maka yang harus didahulukan adalah jarh-nya. Mengacu pada kaidah ini, perawi bernama al-Walid bin Jumai’ dinyatakan dhaif (tidak kredibel) sehingga hadis yang diriwayatkannya dianggap dhaif. Oleh karena itu, menurut Kiai Mustafa Yaqub, hadis Ummu Waraqah tentang imam perempuan dinyatakan dhaif dan tidak bisa dijadikan dalil dalam agama.
Selain mengkaji hadis Ummu Waraqah, Kiai Mustafa Yaqub juga mengambil pendapat Imam al-Ghazali terkait imam perempuan untuk jamaah laki-laki (dan perempuan). Imam al-Ghazali dengan tegas menyatakan bahwa laki-laki yang salat dengan imam perempuan, maka salat laki-laki itu tidak sah (sedangkan salat perempuan yang menjadi imam sah).
Alasan yang digunakan oleh Imam al-Ghazali adalah karena laki-laki ditunjuk Tuhan sebagai pemimpin dan wali, sedangkan perempuan tidak. Pandangannya ini didasarkan pada Surah an-Nisa ayat 34, di mana ayat ini diyakini/ditafsirkan oleh sebagian ulama sebagai ayat kepemimpinan laki-laki karena kelebihan (di antaranya terkait dengan kemampuan memberi nafkah) yang diberikan Tuhan kepada laki-laki.
Dua argumen yang diajukan oleh Kiai Mustafa Yaqub ini menurut saya sangat menarik. Pertama, tentang hadis Ummu Waraqah yang, setelah dilakukan penelitian, dinyatakan dhaif, padahal sebelumnya diyakini oleh beberapa ulama berada di derajat sahih. Kedua, tentang ayat 34 Surah an-Nisa yang dijadikan dalil tidak dibolehkannya imam perempuan untuk jamaah laki-laki dengan alasan bahwa Tuhan tidak menunjuk perempuan sebagai pemimpin (dalam rumah tangga).
Argumen kedua ini, bagi saya pribadi yang ilmunya masih ala kadarnya, menarik untuk dikaji lebih dalam sebagaimana Kiai Mustafa Yaqub melakukan kajian sanad pada hadis Ummu Waraqah. Kata ar-Rijal pada Surah an-Nisa ayat 34 ternyata oleh sebagian ahli tafsir tidak diartikan sebagai laki-laki dalam arti literal, yaitu manusia yang berjenis kelamin laki-laki, melainkan potensi kelaki-lakian (potensi untuk bergerak dalam mencari rezeki, memimpin, mengayomi) yang bisa saja dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Lagi pula, ar-Rijal dalam ayat tersebut adalah definitif dengan indikasi al- sebelum kata rijal, yang berarti tidak semua laki-laki bisa menjadi pemimpin, dan tidak semua perempuan itu lemah/harus dipimpin. Perdebatan tentang ayat ini tentu terus muncul di setiap zaman, terutama jika masyarakatnya masih teguh memegang prinsip patriarki, di mana mereka meyakini bahwa setiap laki-laki (bagaimanapun keadaannya) harus menjadi pemimpin meskipun tidak memiliki kecukupan dan kecakapan dalam memimpin, pun dalam agama.
Argumen Kiai Mustafa Yaqub yang merujuk pada Imam al-Ghazali, menurut saya, dalam buku ini bisa didiskusikan lebih lanjut karena berada di wilayah perdebatan. Dan bisa jadi, malah menggugurkan kekokohan argumen itu sendiri.
Meski begitu, siapa yang bisa menjamin kebenaran mutlak atas tafsir sebuah ayat selain Pemilik-Nya? Tentu kita semua sepakat bahwa Tuhan lebih tahu akan maknanya. Namun, keberagaman tafsir atas ayat dan ketidaksetujuan kita pada tafsir tertentu tidak lantas membuat kita dianggap menolak/melawan Tuhan. Sebagaimana kita tahu, teks/ayat Al-Quran dan tafsir atas ayat Al-Quran adalah dua hal yang berbeda.