Seluruh umat Islam meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah Swt. sebagai sumber utama agama Islam. Tidak ada keraguan sedikit pun atasnya. Proses turunnya al-Qur’an hampir 23 tahun, selama masa kenabian Rasulullah Saw. Masa turunnya al-Qur’an sangat singkat, kurang dari seperempat abad, sedangkan al-Qur’an menjadi rujukan sampai Hari Kiamat. Sudah 14 abad al-Qur’an menjadi pedoman umat Islam. Ia yang diturunkan di Semenanjung Arab Saudi yang berbahasa Arab, sudah menyebar ke seluruh dunia. Awalnya tidak ada kesulitan bagi para sahabat dalam memahami al-Qur’an di masa Nabi, karena seluruh masalah umat dan agama bisa ditanyakan langsung kepada Nabi.
Islam berkembang, pemeluknya beraneka bangsa dan bahasa. Teks al-Qur’an tetap sedangkan masalah yang dihadapi umat berubah dan berkembang. Para sarjana al-Qur’an dibutuhkan untuk memahamkan pesan al-Qur’an ke berbagai kalangan. Para mufasir berusaha membumikan pesan al-Qur’an agar bisa dipahami seluruh umat Muslim. Salah satu tafsir modern yang ditulis Syaikh Nawawi—ulama Nusantara yang belajar dan hidup di Hijaz, Saudi Arabia—adalah Marāh Labīd. Salah satu keistimewaan kitab ini karena penulisnya memiliki memori dan memahami konteks Nusantara ditambah jelajah intelektualitasnya mendunia. Tafsir yang sangat cocok bagi para pembaca dari Nusantara. Sangat membantu pembaca dalam memahami Kalam Tuhannya.
Banyak pesantren di Indonesia yang menjadikan kitab tafsir ini sebagai wirid hariannya, dibaca sepanjang tahun, ketika khatam diulang untuk membacanya. Tuan Guru Sekumpul di Martapura biasa mengkaji kitab ini di majelisnya.
Syaikh Nawawi bin Umar Al-Bantani
Dikenal dengan Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi. Lahir di Tanara, Serang, Banten pada 1230 H/ 1813 M dan wafat di Ma’la, Makkah pada 25 Syawal 1314H/ 1897M dalam usia 84 tahun. Julukan yang biasa disematkan kepada beliau Sayyid Ulama Hijaz. Guru beliau yang paling terkenal Syaikh Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Nawawi, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, dan Syaikh Muhammad Khatib Hanbali. Beberapa muridnya yang paling berpengaruh adalah KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Kholil Bangkalan.
Syaikh Nawawi adalah ulama yang sangat produktif dan memiliki otoritas dalam beberapa cabang ilmu seperti tafsir, tasawuf, dan fikih. Banyak karyanya yang mendunia seperti Maraqi al-‘Ubudiyah syarh atas karya Imam Al-Ghazali Bidayah al-Hidayah, selain itu beliau menulis kita Qaami’ ath-Thughyaan, Qathr al-Ghaits, ‘Uquud al-Lujjain, Nihaayat al-Zain, Nuur al-Zhalaam, Kaasyifat as-Sajaa dan banyak lagi karyanya. Ini merupakan warisan ulama Nusantara untuk dunia.
Metode Tafsir yang Dikenalkan
Tafsir yang ditulis Syaikh Nawawi Banten Marâh Labîd li Kasyf ma’nâ Qur’ân Majîd pada 1305 H dan diterbitkan di Mesir. Pada cetakan kedua tahun 1355 berubah nama menjadi al-Tafsîr al-Munîr li Ma`alim al-Tanzîl, nama kedua ini lebih familiar di Indonesia. Ada kemungkinan judul kedua ini disematkan oleh penerbit. Secara bahasa Marāh berarti datang dan pergi di sore hari untuk berkemas dan persiapan berangkat lagi. Labīd berarti berkumpul mengitari sesuatu. Marāh Labīd bisa diartikan sarang burung, sebagai tempat tinggal yang nyaman.
Syaikh Nawawi seolah ingin menjadikan tafsirnya sebagai rujukan dan tempat kembali bagi para Muslim untuk memahami al-Qur’an. Dalam mukaddimah karyanya ia mengatakan bahwa tafsirnya merujuk pada tafsir otoritatif seperti al-Futûhât al-Ilâhiyyah karya Imam Sulaiman bin Umar, Mafâtîh al-Ghaib karya Imam Fakhruddin Ar-Razi, al-Sirâj al-Munîr karya Imam Muhammad As-Syarbini, Tanwîr al-Miqbâs karya Imam Al-Fairuzzabadi, dan Tafsir Abi Sau’ud. Sebagian peneliti seperti Mustamin meyakini ada pengaruh Tafsir Qurtubi, Tafsir Thabari, Tafsir Ibn Katsir, dan Dur al-Mastur li Suyuthi.[1]
Penulisan Tafsir Munir berawal dari permintaan para kolega. Secara umum ia menggunakan metode tafsir ijmali, yaitu menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dengan mengemukakan makna umum, menjelaskan dengan ringkas menggunakan bahasa yang lebih populer agar mudah dimengerti. Terkadang Syaikh Nawawi juga menggunakan metode tahlili, dengan mengupas makna ayat secara panjang lebar dan mendalam, metode ini sangat sedikit dipakai oleh Syaikh Nawawi.
Ia berusaha menafsirkan dengan bahasa yang ringkas tapi tetap mencakup banyak hal. Syaikh Nawawi Banten mengawali setiap surat dengan keterangan surat Makkiyah atau Madaniyah, menyebutkan jumlah ayat, kalimat, dan huruf seperti kitab Al-Siraj al-Munir. Diawali juga dengan asbāb al-nuzūl. Tapi pola seperti ini tidak selalu sama, terkadang ia memulai dengan mengupas i’rab-nya, kadang juga dengan mengutip Hadis untuk menjelaskan makna ayat. Sepertinya ia menggabungkan tafsir bil ra’yi dengan tafsir bil ma’tsur. Terkadang menjelaskan suatu ayat dengan ayat lainnya.
Syaikh Nawawi juga sering mengomentari perbedaan qiro’at. Teknik interpretasi yang dilakukan Syaikh Nawawi tidak hanya interpretasi tekstual, tapi juga interpretasi linguistik, sosio-historis, kultural, dan logis.
Marāh Labīd adalah karya putra terbaik Indonesia berbahasa Arab. Buku ini cocok untuk pembaca Nusantara, karena kedalaman keilmuan penulis yang menguasai disiplin ilmu fikih, kalam, bahasa, juga tasawuf yang memberikan warna baru dalam khazanah tafsir modern. Tafsir ini memudahkan pembaca, dengan analisis yang singkat, padat, dan jelas. Pengalaman penulisnya sebagai orang yang lahir dan tumbuh di Nusantara juga ilmu pengetahuan dan pengalamannya tinggal di Hijaz, menjadikan tafsir ini lebih kosmopolitan, dan memiliki kesamaan konteks bagi para pembaca di Indonesia.[]
[1] Aan Farhani, Metode Penafsiran Syekh Nawawi Al-Bantani Dalam Tafsir Marah Labid, Jurnal Tafsere UIN Alaudin Makassar, vol. 1 no. 1 Tahun 2013