Janganlah berpikir bahwa jendela hati ke kerajaan langit hanya terbuka saat tidur dan mati. Bukan begitu. Alih-alih, bila seseorang mengamalkan latihan rohani (riyâdhâh) ketika terjaga dan melepaskan hati dari cengkeraman amarah, nafsu, akhlak buruk, dan kebutuhan dunia, lalu duduk di tempat sepi, menutup mata, menghentikan pekerjaan-pekerjaan inderawi, menghubungkan hati dengan alam langit dengan selalu menyebut ‘Allah, Allah’ di dalam hati (dil), tidak dengan lidah hingga ia kehilangan kesadaran akan dirinya dan tidak menyadari dunia luar kecuali Allah yang Mahatinggi. Bila ia melakukan hal ini, maka jendela hati akan terbuka meskipun ia dalam keadaan terjaga, dan ia akan menyaksikan hal-hal yang hanya bisa dilihat ketika tidur oleh orang lain. Ruh para malaikat akan tampak kepadanya dalam citra yang indah dan ia akan melihat para nabi dan menerima manfaat dan pertolongan dari mereka. Kerajaan bumi dan langit akan diperlihatkan kepadanya.
Hal-hal ajaib yang tak mungkin dilukiskan akan disaksikan oleh orang yang hatinya terbuka. Seperti yang disabdakan oleh Nabi, “Bumi dibuka gulungannya di hadapanku dan aku melihat wilayah timur maupun baratnya.”
Allah Swt. juga berfirman:
وَكَذَٰلِكَ نُرِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ مَلَكُوتَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلِيَكُونَ مِنَ ٱلۡمُوقِنِينَ
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kerajaan) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.” (QS. Al-An’am [6]: 75).
Mereka semua berada dalam kondisi ini, dan memang, semua pengetahuan para nabi diraih melalui cara ini, bukan melalui indera dan pengajaran. Semuanya dimulai dengan mujâhadah.
Allah berfirman:
وَٱذۡكُرِ ٱسۡمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلۡ إِلَيۡهِ تَبۡتِيلٗا
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (QS. Al-Muzzammil [73]: 8).
Maksudnya adalah melepaskan diri dari segala sesuatu dan memasrahkan diri secara total kepada-Nya. Jangan sibukkan dirimu dengan urusan dunia, karena Dia yang akan mengatur urusanmu,
رَّبُّ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَٱتَّخِذۡهُ وَكِيلٗا
“(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. Al-Muzzamil [73]: 9).
Ketika Engkau telah menjadikan Dia sebagai pelindung, tawakallah, dan jangan bergaul dengan manusia atau tenggelam bersama mereka,
وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَٱهۡجُرۡهُمۡ هَجۡرٗا جَمِيلٗا
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzzammil [73]: 10).
Semua ini merupakan pelajaran dalam latihan rohani dan mujâhadah. Jalan kaum Sufi adalah ini, dan ini adalah jalan para nabi.
Di sisi yang lain, memperoleh pengetahuan lewat pengajaran adalah jalan para ulama, dan ini pun adalah sesuatu yang baik. Namun, ia kecil bila dibandingkan dengan pengetahuan para nabi dan wali yang datang ke dalam hati dari Hadirat Ilahi tanpa perantaraan manusia. Kebenaran jalan ini telah dibuktikan oleh banyak orang, baik melalui pengalaman maupun bukti intelektual. Bila Engkau tidak dapat membuktikannya melalui pengalaman atau penalaran intelektual; setidak-tidaknya percayalah dan bertaklidlah! Karena kalau tidak, Engkau akan kehilangan ketiga martabat ini dan menjadi kafir. Dan ini adalah salah satu di antara sekian keajaiban dalam semesta hati yang melaluinya kemuliaan hati manusia diperlihatkan.
Mengenal Diri Kunci Mengenal Tuhan
Ketahuilah bahwa dalam kitab-kitab para nabi terdahulu ada tuturan termasyhur yang disampaikan kepada mereka, “Kenali dirimu, maka Engkau akan mengenal Tuhanmu.” Dalam khabar dan atsar juga dikenal tuturan, “Dia yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.” Semua ini merupakan bukti bahwa diri (nafs) manusia adalah seperti cermin, siapa pun yang melihat kepadanya akan melihat Tuhan di sana. Akan tetapi banyak orang tidak melihat ke dalam dirinya sehingga mereka tidak dapat melihat Tuhan.
Karena alasan bahwa diri merupakan cermin makrifat, mengenal diri menjadi kewajiban (bagi kita). Pengetahuan ini memiliki dua aspek: Pertama adalah aspek yang samar, yang tak mungkin dipahami oleh kebanyakan orang. Aspek ini tak boleh dijelaskan kepada orang-orang kebanyakan. Menceritakannya kepada mereka adalah terlarang. Aspek kedua bisa dipahami oleh semua orang. Intinya adalah orang dapat mengetahui keberadaan Tuhan dari keberadaan dirinya. Dari sifat-sifat yang ia miliki, ia bisa mengetahui sifat-sifat Tuhan. Dan dari kemampuannya untuk mengendalikan kerajaan dirinya, yaitu tubuh dan anggota badannya, ia memahami kendali Tuhan atas semesta alam.
Penjelasan mengenai hal ini adalah orang pertama-tama mengenal dirinya melalui keberadaan dirinya, dan ia tahu bahwa pada mulanya, ia tiada. Nama maupun jejak langkahnya masih belum ada. Seperti yang difirmankan oleh Allah,
هَلۡ أَتَىٰ عَلَى ٱلۡإِنسَٰنِ حِينٞ مِّنَ ٱلدَّهۡرِ لَمۡ يَكُن شَيۡٔٗا مَّذۡكُورًا
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu (apa pun) yang dapat disebut?” (QS. Al-Insan [76]: 1)
Wawasan yang ditemukan manusia mengenai penciptaannya adalah bahwa ia tahu bahwa sebelum ia ada, ia cuma setetes air mani, setitik air busuk yang tak punya kecerdasan, tak punya organ pendengaran dan penglihatan, tak punya kepala, tangan, kaki, mulut, atau mata. Tak punya pembuluh darah, otot, tulang, daging, atau kulit. Alih-alih, ia cuma cairan yang putih dan kental. Lalu tiba-tiba, semua keajaiban itu muncul dalam dirinya.
Secara disjungtif, orang bisa berpikir begini: Ia mungkin menciptakan sendiri semua (organ tubuh) tersebut atau sesuatu yang lain menciptakan untuknya. Karena ia tahu dengan pasti bahwa di masa dewasanya ia tidak akan mungkin menciptakan sehelai rambut pun, ia menyadari bahwa ketika ia cuma setetes air mani ia pasti lebih lemah dan lebih tak berdaya lagi. Maka, keberadaan Tuhan diketahui olehnya dari keberadaan dirinya sendiri. Ketika ia melihat tubuhnya, secara eksternal maupun internal, seperti yang dijelaskan oleh sejumlah pemikir, ia melihat kuasa sang Pencipta, dan ia tahu bahwa hanya kuasa yang sempurnalah yang akan bisa menciptakan apa pun yang diinginkannya. Kuasa apakah yang lebih sempurna daripada (Dia) yang menciptakan individu yang sempurna dan elok, penuh dengan keajaiban dan keistimewaan, dari setetes cairan yang hina dan menjijikkan?
Penyunting: Achmad Fathurrohman
Selama Ramadhan, Afkaruna.id akan menerbitkan serial Kimiya-yi Sa’adat karya Imam Al-Ghazali, diterjemahkan oleh Muhammad Ma’mun yang tayang tiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu.