Oleh: Abd. Hakim Abidin
Siapa yang tidak kenal dengan Ibn Hajar Al-Haitami (w. 973 H), seorang pengarang kitab prolifik yang sangat disegani. Ia telah mengarang puluhan kitab dalam pelbagi disiplin ilmu. Di antara kitabnya yang masyhur adalah kitab Al-Minhajul Qowim, Tuhfatul Muhtaj, dan kitab Ithaf Ahlil Islam bi Khususiyyatis Shiyam.
Secara khusus, tulisan ini akan membahas karya Ibn Hajar Al-Haitami yang berjudul Ithaf Ahlil Islam bi Khususiyyatis Shiyam (selanjutnya disebut Ithaf). Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kitab ini berbunyi Sajian Spesial Puasa untuk Orang Islam. Dianggap sajian spesial, sebab dalam puasa terdapat banyak sekali manfaat dan keutamaan yang tidak ditemukan dalam amalan lain. Puasa juga dianggap spesial, sebab secara langsung Allah sendiri yang akan menjadi jaminannya untuk memberikan balasan terbaik. Allah menegaskan bahwa puasa adalah ibadah yang khusus untuk-Nya.
Kitab Ithaf terdiri dari empat bab ini mengkaji dengan detail perihal puasa. Bab pertama membahas tentang keutamaan-keutamaan puasa secara umum, khususnya terkait dengan puasa Ramadan. Bab kedua menguraikan tentang hukum puasa dan semua hal yang terkait. Bab ketiga membahas tentang qadla’ dan fidyah terkait puasa. Bab keempat, Ibn Hajar menjelaskan tentang hukum puasa selain puasa Ramadan. Sedangkan dalam penutup, kitab ini memberikan uraian panjang tentang keutamaan nisfu Sya’ban.
Dalam setiap bab, Ibn Hajar selalu menyertai uraiannya dengan merujuk hadis yang otoritatif. Kitab ini dibuka dengan mengutip sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ: أَيْنَ الصَّائِمُوْنَ؟ فَيَقُوْمُوْنَ فَيَدْخُلُوْنَ، فَإِذَا دَخَلُوْا أُغْلِقَ عَلَيْهِمْ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat pintu yang disebut “Arrayyan” (kesegaran), kelak di hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melaluinya dan tidak ada seorang pun selain mereka. Saat itu dikatakan; “di manakah orang-orang yang berpuasa?” Lalu mereka berdiri dan memasukinya. Jika mereka telah masuk, maka pintu tersebut akan ditutup dan tak seorang pun bisa memasukinya.”
Selain hadis tersebut, Ibn hajar menyertakan hadis lain dalam pembahasan tentang keutamaan-keutamaan puasa. Salah satu hadis yang dikutip Ibn Hajar menerangkan bahwa bagi orang yang berpuasa mendapat jaminan pahala yang ada dalam kehendak Allah. Tidak ternilai bagaimana Allah membalas orang yang berpuasa. Sebab, Allah sendiri yang menjanjikan menanggung jaminannya.
Pada sebuah hadis Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan dicatat oleh Imam Thabrani, disebutkan bahwa:
إِنَّ اللهَ جَعَلَ حَسَنَاتِ ابْنِ أَدَمَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: إِلَّا الصَّوْمُ، وَالصَّوْمُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ، يَدْعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِيْ، وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ فَمِّ الصَّائِمِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَطْيَبُ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ
“Sesungguhnya Allah menjadikan semua kebaikan anak Adam dilipatgandakan sepuluh sampai tujuh ratus kali. Allah berfirman; “kecuali puasa. Puasa itu adalah untukku. Aku yang akan menjamin membalasnya. Sebab orang berpuasa telah meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku.” Demi Dzat, yang diriku berada dalam genggamannya, sungguh aroma mulut orang berpuasa di sisi Allah kelak di hari kiamat lebih wangi dari pada aroma misik.”
Ibn Hajar menjelaskan betapa istimewanya puasa yang secara langsung disandarkan kepada Allah. Dalam penjelasannya, Ibn Hajar mengatakan bahwa pahala puasa secara langsung disandarkan kepada Allah. Sebab, pada hakikatnya tidak mungkin orang berpuasa itu karena selain Allah. Oleh karena itulah, lanjut Ibn Hajar, Allah tidak menepis atau menolak puasa yang dilakukan oleh para ahli nujum atau orang-orang pertapa. Sebab, mereka itu tidak meyakini sepenuhnya perbuatan tersebut berpengaruh sendiri mengenai dirinya. Puasa itu pada hakikatnya kembali karena Allah. Atau dalam arti lain, bahwa di dalam puasa terdapat sebuah isyarat pada rahasia keagungan Allah, berbeda dengan amal ibadah lainya. Demikian pula bisa dianggap bahwa tidak makan dan terlepas dari berbagai keinginan merupakan bagian dari sifat Allah. Dan puasa merupakan manifestasi hal itu. Karena itu Allah menyandarkan puasa kepada-Nya (Ithhaf, hal. 29).
Dengan mengutip pernyataan Al-Qurtubi, Ibn Hajar menegaskan bahwa makna yang terkandung dalam hadis di atas adalah sebab semua amal ibadah setiap hamba itu selaras dengannya, kecuali puasa. Sebab, puasa hakikatnya selaras dengan sifat Allah SWT yang tidak makan dan tidak minum. Dengan demikian Allah menyandarkan puasa kepada-Nya dan menegaskan menjamin pahalanya yang tak ternilai besarnya dibanding yang lainnya (Ithhaf, hal. 29).
Penjelasan tersebut tentu tidak menutup perbedaan pandangan. Namun, setidaknya Ibn Hajar telah berhasil melihat sisi logis kenapa puasa itu sangat istimewa. Orang yang berpuasa dan orang yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan pahala yang sama.
Segala bentuk kebaikan, meski berupa hal mubah akan dianggap sebagai sebuah amal yang tinggi nilainya jika dilakukan saat berpuasa. Dengan berpuasa seseorang mampu memenangkan peperangan melawan setan yang mengalir di dalam darah. Sebab puasa dapat mempersempit jalan setan, dan menjadi perisai yang menghindarkan seseorang dari godaan setan.
Mengenai puasa Ramadan, sebagaimana umum diserukan bahwa siapa yang berpuasa dengan sepenuh iman dan harapan mendapatkan ampunan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa lampaunya. Demikian pula Ibn Hajar menjelaskan dalam dalam Ithhaf. Tak terhitung hadis yang menjelaskan keutamaan puasa di bulan suci Ramadan. Tidak ada celah bagi seorang yang berpuasa dalam bulan suci Ramadan untuk tidak mendapatkan keutamaannya. Bagimana tidak, pada saat Ramadan, semua pintu surga terbuka, pintu neraka ditutup dan para setan dibelenggu, tak bisa menggoda orang yang berpuasa.
Kita akan menemukan banyak informasi yang sangat mendetail terkait dengan puasa di dalam kitab ini. Mulai dari keistimewaan puasa sebagaimana di atas, perkara yang mewajibkan puasa, perkara yang membatalkan dan perincian denda atau kafarat bagi yang meninggalkannya, sampai zakat fitrah dan uraian seputar hari raya. Pada bagian penutup, Ibn Hajar menyisipkan pembahasan seputar nisfu Sya’ban setelah menjelaskan hari-hari yang di-sunah-kan berpuasa. Uraian panjang tentang keistimewaan nisfu Sya’ban seakan mengisyaratkan bahwa puasa Ramadan memang semestinya disiapkan sejak sebelum memasukinya.
Di bulan Sya’ban, khususnya di malam nisfu Sya’ban itulah rahmat dan pengampunan Allah dilimpahkan kepada setiap orang yang mengharapkannya. Menyiratkan makna agar dalam menyambut bulan suci Ramadan seorang Muslim telah siap menjalani ibadah puasa dengan hati yang bersih dan suci.[]
Editor: Nur Hayati Aida