Sepertinya, sudah menjadi kebudayaan dalam beberapa pola pikir manusia, bahwa perempuan masih dianggap fitnah. Sehingga perempuan masih didiskriminasi dan dibatasi ruang geraknya, baik dalam ranah domestik maupun publik.
Ada banyak narasi seperti perempuan tidak boleh memakai parfum, tidak boleh berpendidikan tinggi, lebih baik salat di rumah, suara perempuan adalah aurat, pekerjaan rumah hanya dilakukan perempuan, dan banyak lagi narasi yang mendiskriminasi perempuan.
Selain karena budaya patriarki yang lekat dengan masyarakat, hal ini juga berawal dari terbatasnya pemaknaan manusia terhadap nash al-Qur’an dan Hadis dengan pemaknaan hanya secara tekstual, tanpa kontekstual.
Jika pemaknaan ayat al-Qur’an dan Hadis berunsur diskriminasi terhadap perempuan, maka harus ditelaah lagi. Karena, adalah mustahil bagi Rasulullah mendiskriminasi perempuan, karena akan mencederai akhlak mulia Rasulullah yang santun dan agung. Juga mencederai tujuan/ visi besar Islam yang ‘rahmatan lil ‘alamin’.
Padahal ada yang tidak boleh terlepas dari pembacaan nash al-Qur’an dan Hadis, selain asbabun nuzul, asbabul wurud dan kualitas Hadis, yaitu maqasid syariah, tujuan, esensi dan pesan baik apa yang ingin disampaikan dari ayat al-Qur’an dan Hadis tersebut.
Mubadalah Sebagai Metode Baru Pembacaan Teks
Perlu ada pembacaan nash al-Qur’an dan Hadis dengan metode baru, salah satunya ialah pembacaan nash al-Qur’an dan Hadis dengan paradigma Trilogi KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), yakni “Mubadalah” (kesalingan), “Ma’ruf” (kebaikan), “Keadilan Hakiki” (memposisikan laki-laki dan perempuan sama-sama makhluk Allah). Tentu semua ini memerlukan perenungan yang mendalam, melihat konteks masyarakat sekitar, yang belum banyak memiliki cara berpikir kritis, dan konstruksi berpikir yang harus diperbaiki dan terarah.
Pada Tadarus Subuh yang ke-75 (Minggu, 06 Agustus 2023), Kang Faqih memberikan cara pandang baru yang penting, tentang bagaimana membaca nash al-Qur’an dan Hadis dengan metode “Mubadalah”, yakni kesalingan. Mubadalah menegaskan bahwa pesan yang ingin disampaikan oleh sebuah Hadis, adalah untuk laki-laki dan perempuan. Karena keduanya sama-sama khalifah di bumi.
Makna Fitnah
Kita tentu kerap mendengar pernyataan bahwa perempuan adalah sumber fitnah. Kang Faqih menyampaikan bahwa kita harus betul-betul mawas diri untuk memahami makna ‘fitnah’ itu sendiri. Dalam satu Hadis dari Sahih Bukhari, disebutkan bahwa kekayaan, kefakiran, dunia itu juga fitnah.
فِتنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ …..
Pada Hadis diatas, fitnah seseorang bisa menjadi fa’il atau maf’ul. Sebagian besar ulama mengartikannya sebagai maf’ul. Jadi fitnah seseorang itu datang dari apa? Bisa dari keluarganya, dari hartanya, dari anaknya, dari tetangganya. Atau jika kita katakan fitnah laki-laki sama seperti fitnah perempuan, berarti laki-laki juga fitnah, kepada siapa fitnahnya (fa’ilnya)?. Dia akan menjadi fitnah bagi keluarganya, bagi hartanya karena bisa jadi laki-laki justru merusak harta. Atau bisa menjadi fitnah bagi anaknya, juga menjadi fitnah bagi tetangganya. Tapi ulama mengatakan redaksi “rojul” dalam Hadis artinya seseorang maka bisa laki-laki atau perempuan. sehingga setiap orang berpotensi menjadi fitnah dan berpotensi terkena fitnah dari semuanya.
Kang Faqih mengatakan, fitnah dalam pemahaman beliau adalah tantangan dalam mengelola kehidupan yang kita hadapi. Lalu bagaimana kita menghadapi tantangan tersebut? Apakah akan menjadi baik atau buruk, kitalah yang menentukannya.
Kang Faqih menganggap bahwa bukan benda yang seharusnya dicap sebagai fitnah, tapi respon, cara pandang, perilaku, itulah yang “fatana”.
Dari Tadarus Subuh, pada akhirnya saya belajar untuk mencapai cita-cita bersama dalam menghapus stigma negatif yang melekat pada perempuan. Kita perlu memperbaiki bagaimana cara kita membaca nash dan cara berpikir kita. Sejatinya, hidup adalah proses, semoga kita semua istikamah untuk selalu berproses menuju kebaikan dan keadilan, bagi diri sendiri, keluarga dan sekitar.