Belajar Cinta Kasih dari Rumi

oleh Fathur Roziqin
22 views
Belajar Cinta Kasih Dari Rumi

Pernahkah kau bertanya: ke manakah cinta dan rindu berkelana dan bermuara? Mengapa ia begitu menarik perhatian segala jenis umat manusia? Aku tak tahu, dan kita tak pernah tahu jawaban pasti atas pertanyaan itu. Segalanya tentang cinta kita adalah anak-anak. Mungkin Rumi termasuk bagian dari anak-anak, jika hal itu menyangkut cinta dan rindu yang terdalam pada Sang Kekasih. Pun juga kita.

Kita adalah Rumi. Soal cinta, kita patut belajar mengalami cinta pada sang pujangga. Sebab ialah guru yang patut kita tiru. Tapi, aku ingin menitip pesan, Kisanak: jangan tanyakan cinta pada negara, sebab mereka banyak bacot. Tapi, tanyakanlah cinta pada para penyair seperti Rumi.

Di Kitab Cinta dan Ayat-Ayat Sufistik, kita belajar bagaimana cinta dan rindu berkelana dan bermuara pada tindakan-tindakan cinta kasih, pada arti musim semi bagi masa-masa muda yang mulai menguncup dan mengenal cinta, pada penghormatan antarsesama manusia, pada perwujudan etika sosial, toleransi, dan perdamaian, dengan uraian memikat dari sajak-sajak cinta sang pujangga.

Dengan perwujudan semua itu, kata Afifah Ahmad, penulis buku ini, kita dapat hidup dan beribadah dengan bahagia.

Penulis buku meletakkan topik konsep cinta dan manusia menurut Rumi sebagai fondasi, benih, dan esensi kemanusiaan pada bagian pertama. Ia menguraikan secara jernih bagaimana sang pujangga seperti Rumi merasakan dan mengalami cinta yang memancarkan keindahan pada sekian banyak sajaknya.

“Tuhan, Engkaulah yang menyalakan api cinta di dunia
Hingga semestaku menjadi manusia dan penuh sukacita.”

“Menyalakan” mungkin berarti lain: menghidupkan api cinta yang mewujud dalam tindakan-tindakan selayaknya menjadi manusia. Bukti bahwa kita layak dianggap manusia adalah ketika tindakan kita mencerminkan sifat-sifat cinta kasih Tuhan dalam tindak-tanduk kehidupan. Dan kehidupan Rumi adalah perwujudan tindakan cinta kasih itu.

Bagaimanakah cara kita mengetahui dan meninjau kedirian kita sehingga layak dianggap manusia? Adalah ketika kita mampu dan dapat menghubungkan kemanusiaan kita kepada Tuhan. Sebagai bukti nyatanya, ialah ketika kita dapat menghargai dan memperlakukan manusia selayaknya manusia.

Ini penting kita bicarakan, seperti topik pada bagian kedua buku ini: bagaimana memperlakukan manusia selayaknya manusia. Ibu Afifah mengangkat isu menarik dan kerap menjadi perbincangan di kalangan feminis: perempuan dan kesetaraan.

Sebetulnya aku agak bingung memulai dan mengurai kedua isu ini. Mungkin sebab aku lahir dan besar dari seorang ibu dan bapak di lingkungan keluarga yang terbiasa dengan prinsip kesalingan (mubādalah). Tapi, tidak dengan lingkaran kehidupan dunia luar rumah keluarga orang lain; bahwa ternyata di luar rumah itu aku menemukan pola keluarga yang berbeda dengan pola keluarga sepantasnya.

Kita mudah menyaksikan di luar sana bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami seorang istri. Kau mungkin pernah menyaksikan seorang suami ongkang-ongkang kaki di atas kursi di waktu pagi yang santai, sementara sang istri sibuk menyiapkan masakan di dapur, alih-alih sang suami membantu dan membersihkan rumput liar di pekarangan depan rumah.

Di lain waktu mungkin kau pernah menemui juga sang suami yang gampang saja meletakkan baju kotornya di sembarang tempat atau menelantarkannya begitu saja—tanpa upaya mencuci dan menjemur pakaiannya sendiri.

Semua itu tanggung jawab istri, pikirnya. Tanggung jawab kata lain beban istri: mencuci pakaian suami, menyiapkan masakan, menyapu rumah, dan segala jenis pekerjaan domestik keluarga.

Atau mungkin hal lainnya, kau pernah mendengar cerita seorang pasangan yang menjerat dan membelenggu pilihan hidup kekasihnya?

Sebulan lalu, aku kedatangan teman lama. Ia bertandang ke rumah dan menceritakan potongan bumbu hubungan asmaranya. “Aku dicekam badai tiga bulan lalu,” katanya. “Calon istriku lebih memilih kuliahnya ketimbang saran dan nasihatku untuk menikah.”

Aku hanya diam saja: memerhatikan, mencoba memahami cara berpikirnya tanpa menghakimi dan mengadili. Kemudian, ketika giliran waktuku, aku berbicara dengan nada memuji. “Kau beruntung punya calon istri yang gemar belajar,” kataku. “Itu menunjukkan suatu hari nanti ada kesempatan baik di masa depan yang cerah.”

Tampaknya, ia bingung mendengar aku memuji calon istrinya. Lalu aku bertanya, “Bukankah dulu, waktu SMA, kita sering bolos sekolah?”

Karena ia meminta pandanganku, maka aku mengatakan sesuatu yang ringan saja. “Barangkali itu jalan terbaik kalau kau melepaskan—atau kalau kau ingin tetap bersama dan bertahan, menemani dia dalam proses pertumbuhan dan perkembangan belajarnya adalah hal yang bijak. Barangkali, dengan dia belajar di kampus, tanpa keharusan mengikuti saran atau nasihatmu, pintu jalan kebaikan akan terbuka lebar.”

Dan ia tampaknya mulai sadar ketika aku mengatakan, “Mungkin suatu saat kau akan punya anak dari rahim seorang ibu yang berpendidikan; yang melahirkan anak cerdas dan cemerlang di masa depan.”

Percakapan sore itu mungkin membekas dan sedikit mengubah cara berpikir kawanku itu. Aku tak ingin mengatakan bahwa dia teman lelaki patriarki atau apalah itu. Tidak. Sebab teman aku itu tidak punya kesempatan mengenyam pendidikan lebih tinggi. Bagaimanapun, dia adalah korban sistem sosial dan budaya yang ada.

Sebisa mungkin, sebagai teman, aku patut membersamai dan menuntun cara berpikirnya lebih tepat dalam memandang suatu hubungan—tanpa harus ada belenggu antara kedua pihak. Tapi, ini tidak berarti aku membenarkan, menyetujui, dan mendukung cara berpikir kawanku itu.

Sebaliknya, aku justru setuju dan sepakat dengan pesan puisi Rumi ini:

“Nabi pernah berpesan: Perempuan akan berjaya (mulia) di hadapan lelaki cerdas
Sebaliknya, lelaki pandir akan mendominasi perempuan dengan watak dogma.”
(Rumi, Matsnawi Jilid 1, bait 2433 dan 2434)

Pada akhirnya, dalam cinta, lebih-lebih memilih pasangan, kita memang patut belajar kepada Rumi. Untuk mengetahui dan menyelami sajak-sajak Rumi, soal cinta dan tema lainnya, kita patut belajar lewat karya-karya sufistiknya. Dan Afifah Ahmad, melalui buku ini, menguraikannya secara baik dan memikat.

Izinkan aku mengutip kalimat Ibu Afifah yang menarik dan memikat ini:

“Para lelaki keren akan memberikan kesempatan dan ruang kepada perempuan di sekitarnya, terutama pasangan, untuk terus bertumbuh, melakukan me time, dan mencerdaskan diri. Sebaliknya, lelaki terbelakang hanya melihat pasangannya sebagai barang kepemilikan; ia merasa berhak mendominasinya.”

Fathur Roziqin

Fathur Roziqin

Suka Menulis Resensi Buku dan Pembaca Buku Bagus

You may also like

Leave a Comment