Tarawih di Rumah, Kenapa Harus Buru-buru?

oleh Reza Fauzi Nazar
1.6K views

Pandemi covid-19 belum juga reda sampai Ramadan memasuki pekan kedua. Sejak diberlakukannya physical distancing untuk menekan laju kenaikan kasus covid-19, muncul perdebatan-perdebatan terkait dengan ibadah, mulai dari salat Jumat diganti dengan salat zuhur di rumah, salat tarawih berjamaah di rumah dengan keluarga, hingga wacana peniadaan salat idul fitri.

Salat tarawih berjamaah dengan keluarga di rumah, pada satu sisi dirasa aneh, karena biasanya salat tarawih lazimnya dilaksanakan secara berjamaah. Tetapi, pada sisi yang lain, keadaan langka ini memaksa kita mengambil hikmah untuk bisa beribadah bersama keluarga.

Salat tarawih berjamaah telah menjadi tradisi umat Islam di berbagai belahan dunia. Padahal salat tarawih merupakan salah satu salat (sunah) malam pada umumnya yang bisa dilakukan seorang diri, namun tarawih menjadi berbeda dan memiliki tempat istimewa. Sebab, salat tarawih hanya (bisa) dilakukan pada malam-malam di bulan Ramadan.

Bila merujuk berbagai hadis, tidak ada satu istilah yang secara eksplisit dari Rasulullah menyebutkan kata tarawih. Anjuran Rasulullah Saw yang ada hanya melakukan qiyamul lail,dan hal ini terlacak dari beberapa hadis di antaranya riwayat An-Nasa’i:

Inna Allah faradha shiyaama ramadhaana ‘alaikum, wa sanantu lakum qiyaamahu” (Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa Ramadan, dan menganjurkan menghidupkan malamnya).

Juga salah satu hadis diriwayatkan Abu Hurairah dalam Shahih Bukhari yang berbunyi:

Kaana Rasuulullah yuragghibu fii qiyaami ramadhaana min ghairi an ya’murahum fiihi bi’aziimah” (Rasulullah memberi motivasi kita untuk melaksanakan qiyam Ramadantanpa memerintahkan dengan kuat).

Bahkan istilah tarawih belum dikenal hingga zaman Abu Bakar r.a.. Konon istilah tarawih mendapat ketenarannya pada masa kepemimpinan Umar ibn Khattab r.a.. Dalam literatur Islam, istilah tarawih masih belum muncul pada kitab-kitab yang ditulis oleh ulama pada abad ke-2 Hijriyah, seperti kitab Al-Muwattha karya Imam Malik atau kitab Al-Umm karangan As-Syafi’i. Istilah tarawih baru terlacak dari karya-karya ulama abad ke-4 atau ke-5 Hijriyah, seperti pada kitab As-Sunan al-Kubra dari Imam Baihaqi –dari perkataan  Sayidah Aisyah r.a. dengan kata yatarawwah.

Pada penggalan hadis itu, Sayidah Aisyah r.a. berkata: “Kaana Rasulullah Saw yushalli arba’a raka’aatin fii al-laili tsumma yatarawwahu fa athaala hatta rahimtuhu…”.Rasulullah melaksanakan salat malam empat rakaat, kemudian yatarawwah (istirahat), kemudian melanjutkan lagi dengan rakaat yang panjang sampai aku merasa kasihan pada Rasulullah.

Tujuan menghadirkan beberapa riwayat di atas bukan untuk memunculkan kontroversi di tengah kontroversi, lebih lagi masuk pada pusaran ikhtilaf umat terhadap jumlah rakaat ibadah tarawih. Namun, semata hanya untuk mengajak berefleksi bersama agar bisa memahami makna tarawih, dan bisa beribadah secara khidmat di rumah masing-masing saat situasi pandemic seperti ini.

Secara bahasa, bila merujuk pada beberapa kamus, seperti Mu’jamul Wasith atau Lisanul ‘Arab, kata tarawih sebenarnya merupakan sebuah bentuk plural dari tarwihah, yang berarti mengistirahatkan atau duduk istirahat sejenak berhenti. Melaksanakan istirahat setelah melakukan salat sunah itulah yang disebut tarawih.

Dengan situasi ini, saya dan keluarga mencoba mengembalikan (salat) tarawih pada maknanya. Setiap dua kali salam, yang setiap salamnya dua rakaat (tentu ada sebagian kita yang melaksanakan satu kali salam empat rakaat), saya berhenti sejenak. Tetapi apa yang terjadi? Istri saya protes, “Ayo, ayah. Ini baru empat rakaat, mumpung si kecil masih tidur. Kenapa ayah berhenti.”  Saya kemudian menjawab: “Kita sedang salat tarawih, tarawih itu artinya istirahat, jadi bisa santai sejenak.”

Salat tarawih di rumah selain menjadi ranah ujian para suami untuk menjadi imam yang baik, juga mengajak dan mengajarkan keluarga untuk bisa menikmati salat tarawih dan qiyam al-lail lebih khidmat.

Mari bersama-sama menaati anjuran pemerintah untuk menghidupkan malam Ramadan di rumah. Man qaama ramadhaana iimaanan wa ihtisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzanbihi, barangsiapan melakukan qiyam Ramadan semata beriman dan mengharap pahala dari Allah Swt., maka dosanya yang sudah lalu akan diampuni. Wallahu A’lam.

Editor: Nur Hayati Aida

Reza Fauzi Nazar

Reza Fauzi Nazar

Penulis lepas, alumni Lirboyo.

You may also like

Leave a Comment