Masa Muhammad Iqbal hidup (1877-1938) adalah era yang berat bagi bangsa Timur, khususnya umat Islam. Pasalnya, saat itu bangsa Timur sedang dijajah Barat. Saat itu, Barat, khususnya Eropa sedang berada pada masa emasnya, di mana ilmu pengetahuan berkembang sangat serius. Dalam kegelisahannya, Iqbal menyatakan bahwa selama lima ratus tahun terakhir pemikiran dalam Islam praktis terhenti, dan pada saat itu, Eropa terinspirasi dari dunia Islam. Iqbal mengakui kepesatan dan sejarah modern Barat telah menurunkan Islam. Meskipun demikian, menurut Iqbal tak bisa disalahkan, karena kebudayaan Eropa dan intelektualnya hanyalah lanjutan dari beberapa fase dari kebudayaan Islam.
Iqbal, mengingatkan kita pada al-Kindi, ulama pertama yang bersentuhan dengan filsafat Yunani, yang berusaha mendialogkan “pengetahuan baru” dengan imannya. Meski waktu, situasi, dan tempat berbeda, Iqbal dan al-Kindi berusaha sekuat tenaga menarik kembali makna agama (dalam hal ini metafisika) dan realitas. Al-Kindi seperti dikutip oleh Karen Amstrong adalah Muslim pertama yang menerapkan metode rasional al-Qur’an, seperti yang dikatakannya: “Kita tidak usah malu meyakini kebenaran dan mengambilnya dari sumber mana pun ia datang kepada kita, walaupun ia dihadirkan kepada kita oleh generasi terdahulu dan orang-orang asing. Bagi siapa saja yang mencari kebenaran, tak ada yang lebih tinggi nilainya kecuali kebenaran itu sendiri; kebenaran tidak pernah merendahkan atau menghinakan orang yang mecapainya, justru mengagungkan dan menghormatinya.”
Al-Kindi menyebut bahwa kebaikan bisa saja hadir dari mana pun. Dan bagi Iqbal kemajuan yang ada di Barat tidak bisa hanya dilihat sebagai kekaguman belaka, tanpa ada usaha agar lebih baik. Setidaknya ada tiga hal yang memberikan kesan mendalam bagi Iqbal tentang Eropa sebagaimana yang dikutip Majid Fakhri dari Wilfred C. Smith, yaitu: Pertama vitalitas dan dinamisme kehidupan orang-orang Eropa, kedua peluang yang terbentang luas bagi manusia, dan ketiga pengaruh yang mengancam harkat manusia yang dimiliki masyarakat kapitalis atas Eropa. Iqbal meyakini bahwa agama merupakan cita-cita moral dan spiritual, oleh karenanya, harus dipertahankan. Manusia tak bisa melepaskan diri dari tuntunan agama dan keberadaan Tuhan.
Iqbal mengambil hikmah di Barat untuk bangsa Timur, Ia mengajukan gagasan tentang khudi atau ego. Untuk mengawali gagasannya, Iqbal mulai bertanya tentang arti sebuah hidup: “Kalau kau mengetahui rahasia hidup jangan mencari atau menerima sebuah hati tanpa percikan keinginan”. Bagi Iqbal, hidup adalah gerak ke depan, proses asimilasi yang intinya terdapat pada kreasi ide dan keinginan yang terus ada. Ekspresi tertinggi kehidupan adalah bila seseorang menjadi pusat energi aktivitas dan menampilkan kesatuan penting dalam bentuk kemandirian konkret yang saling berkaitan. Sumber penting kehidupan manusia inilah yang disebut Iqbal sebagai ego.
Menjadi Autentik
Ego yang digagas Iqbal adalah ego yang autentik, meskipun pada praktiknya setiap ego pernah memiliki perasaan seperti bahagia, cinta, dan benci. Perasaan itu tetaplah unik untuk tiap individu, tidak pernah sama keunikan satu dengan lainnya, dan rasa setiap perasaan tidaklah sama. Apa yang dialami satu ego selalu unik dan tidak terulang keunikannya pada ego yang lain. Iqbal, lebih jauh mengatakan, Tuhan sendiri pun tidak dapat merasakan apa yang individu itu rasakan. Iqbal ataupun Kiekegaard beranggapan bahwa setiap manusia memiliki jalannya sendiri yang tak mungkin sama dengan manusia lainnya.
Karena ego unik, bagi Iqbal ego tidak mungkin memikul beban ego lain, manusia sebagai ego berhak atas hasil yang ia kerjakan. Setiap manusia memikul bebannya masing-masing, tidak ada menanggung beban yang lain. Konsep unik ini juga diaminkan oleh Kiekegaard serta Niestzsche, mereka bertiga berpendapat bahwa setiap manusia mendapatkan perjalanan spriritualnya masing-masing. Kiekegaard menyangkal kemungkinan solusi kolektif atau sosial bagi masalah-masalah spiritual kehidupan manusia. Keunikan tiap ego menekankan adanya keistimewaan setiap individu, aku tidak bisa menjadi kita. Karena masing-masing aku memiliki kekhasan, keunikan, dan keistimewaannya sendiri. Setiap kesadaran ego tidak pernah sama satu sama lain, oleh karena itu, aku tidak bisa disatukan dalam kita. Hal itu juga sejalan dengan apa yang diungkapkan Rumi dalam sajaknya:
Ini jalanmu,
Dan jalanmu saja.
Orang lain dapat bersamamu,
Tapi tak ada yang dapat menjalaninya untukmu.
Tujuh Makalah dalam Satu Buku
Gagasan Iqbal tentang metode intuisi, khudi atau ego, waktu murni, serta konsep-konsep filsafatnya terdapat di buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Sebuah buku yang berisi kumpulan tujuh makalah yang dibuat oleh Iqbal pada saat memberikan kuliah. Membaca buku ini, seolah membelah belantara pengetahuan, karena Iqbal bukan saja memaparkan pemikiran filosofisnya saja, melainkan juga mengajak pembaca untuk memahami lebih dalam gagasan-gagasan pemikir dari Timur dan Barat, baik yang ia terima gagasannya ataupun yang ia tolak. Iqbal tidak hanya mampu mengawinkan konsep filsafat Barat dan Timur, dia juga mampu merumuskan gagasan filsafatnya sendiri. Dalam sebuah pengantar di tesis doktoral Iqbal yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Haidar Bagir bahkan menyebut Iqbal telah melampaui apologetika kaum modernis, ia telah melampaui zamannya sendiri. Dan pada zaman sedini itu, ia telah menyadari perlunya penanaman kembali intelektualisme tanpa mengabaikan aktivisme.
Dalam buku ini kita bisa melihat jejak pemikiran Bergson tentang konsep waktu, intuisi, dan ego. Kita juga bisa melihat konsep manusia sempurna yang dibangun Iqbal, pada sisi lain kita juga bisa menemui konsep Ubermensch dari Nietzsche atau Kierkegaard. Di Indonesia, buku ini setidaknya pernah diterbitkan tiga kali oleh tiga penerbit yang berbeda, yaitu penerbit Bulan Bintang yang diterjemahkan oleh Osman Raliby, penerbit Jalasutra yang diterjemahkan oleh Gunawan Mohammad dkk, terakhir diterbitkan Mizan dengan penerjemah Hawasi dan Musa Kazim.
Penyunting: Achmad Fathurrohman