Nabi dan Perut Yang Lapar

oleh Nur Hayati Aida
961 views

Pada malam itu para sahabat berbaris rapi di belakang Nabi Muhammad Saw. masuk di antaranya adalah Umar bin Khattab. Tapi, ada yang tidak biasa pada salat isya berjamaah itu, terdengar suara gesekan tulang sendi yang terdengar sangat memilukan; krek, krek, krek saat rukuk dan sujud dari arah depan, arah imam, arah Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Selesai salat para sahabat saling pandang, dari tatapan matanya seolah mereka punya firasat yang sama; Nabi sedang sakit. Maka, selesai salat mereka bergerombol mengelilingi Nabi. Umar waktu itu memberanikan diri bertanya pada beliau;

Wahai Nabi, “Apakah engkau sedang sakit?”

“Tidak,”  Jawab Nabi.

Sekali lagi Umar bertanya, “Wahai Nabi apakah engkau sedang sakit?”

“Tidak,”  Tukas Nabi.

“Tapi, wahai Rasulullah,” Umar melanjutkan, “Saat salat tadi kami mendengar ada bunyi sendi yang saling bergesekan dari badanmu.”

“Tidak, aku tidak sedang sakit”, Nabi meyakinkan.

Para sahabat, termasuk Umar terus memastikan Nabi dalam keadaan sehat dengan bertanya kondisi beliau, tetapi jawaban Nabi tetaplah sama; tidak, beliau tidak sakit. Para sahabat juga penasaran, mereka terus bertanya pada Nabi, untuk memastikan apakah beliau sedang sakit atau tidak, karena telinga mereka telah menjadi saksi atas suara gemeratak tulang ketika Nabi menggerakkan badan saat salat tadi. Mereka khawatir sekali terjadi sesuatu pada Nabi, pada Rasulullah yang mereka cintai.

Terdesak oleh pertanyaan sahabat yang tak berkesudahan itu, akhirnya dalam keadaan yang sangat terpaksa Nabi mau “mengaku” dengan membuka bajunya. Perlahan Nabi membuka kain yang membalut perutnya. Dan para sahabat melihat ada batu-batu kecil dalam kain itu. Umar pun sontak bertanya:

“Wahai Nabi, untuk apakah engkau membalut perutmu dengan batu?”

“Aku lapar, dan aku tak memiliki apa pun untuk dimakan.”

Dengan suara bergetar karena sedih, Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sehina itukah engkau memandang kami? Apakah engkau mengira jika engkau berkata lapar, kami tidak akan memberikan makanan yang paling lezat, wahai Rasulullah.” Umar kembali merendahkan suaranya, “Kami semua ya Rasullah, sahabatmu ini, hidup dalam kemakmuran.”

“Tidak Umar” Nabi menjawab pertanyaan Umar yang beruntun itu, “Karena aku tahu bahwa kalian tidak hanya akan memberikan makanan lezat padaku, tapi juga harta, bahkan nyawa kalian untukku sebagai rasa cinta. Tapi Umar, bagaimanakah nantinya aku akan menghadap Tuhan dan menyembunyikan rasa malu, jika sebagai pemimpin aku hanya menjadi beban pada orang yang aku pimpin.”

Mendengar jawaban Nabi tersebut, Umar dan para sahabat terdiam, segala macam kecintaan yang diberikan pada junjungan Nabi Muhammad memang sudah selayaknya, dan itulah mengapa risalah yang ia bawa bisa sampai pada kita hingga saat ini. Akhlaknya yang mulia.

Dengan segala kekuatan yang dimiliki Nabi, sebagai seorang kepala negara, panglima tertinggi, pemegang otoritas agama, jika ingin memenuhi perutnya dengan makanan lezat, Nabi Muhammad hanya cukup berucap satu kata, apa yang diinginkan pasti akan tersedia. Namun tidak, Nabi Muhammad tidak melakukan itu. Nabi Muhammad sedang mengajarkan kita cara untuk berpuasa, imsak, menahan “nafsu” diri. Nabi yang agung itu mengajarkan cara menahan diri untuk tidak menyalahgunakan sedikit pun dari kekuasaan yang dimilikinya hanya untuk kepentingan dirinya. Nabi mengajarkan tentang bagaimana berpuasa yang indah, yaitu menahan diri untuk tidak memanfaatkan apa yang menjadi amanah hanya untuk kelangsungan hidupnya.

Salam bagimu Wahai Rasulullah. Kami telah melewati bulan Ramadhan ini untuk kesekian kalinya, namun Wahai Rasulullah, kami masih juga tertatih-tatih untuk bisa mencintai dengan sungguh-sungguh meneladani akhlakmu.

Nur Hayati Aida

Nur Hayati Aida

Santri yang tak kunjung khatam membaca al-Quran

You may also like

Leave a Comment